“Fiona, maaf, tapi pembayaran ujian semester ini belum masuk. Tanpa itu, kamu tidak bisa mengikuti ujian minggu depan.”
“Tapi Pak… saya… saya sedang menunggu kiriman uang dari ayah saya. Pasti akan segera sampai.”
“Maaf, aturan sudah jelas. Tidak ada toleransi. Kalau belum dibayar, ya tidak bisa ikut ujian. Saya tidak bisa membuat pengecualian.”
‐‐‐---------
Fiona Aldya Vasha, biasa dipanggil Fio, mahasiswa biasa yang sedang berjuang menabung untuk kuliahnya, tak pernah menyangka hidupnya akan berubah karena satu kecelakaan—dan satu perjodohan yang tak diinginkan.
Terdesak untuk membayar kuliah, Fio terpaksa menerima tawaran menikah dengan CEO duda yang dingin. Hatinya tak boleh berharap… tapi apakah hati sang CEO juga akan tetap beku?
"Jangan berharap cinta dari saya."
"Maaf, Tuan Duda. Saya tidak mau mengharapkan cinta dari kamu. Masih ada Zhang Ling He yang bersemayam di hati saya."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ijah hodijah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 34
Jantung Fio berdebar aneh. Napasnya tercekat.
“Katanya jangan waktu itu…” suaranya nyaris seperti bisikan.
“Aku tarik ucapanku,” jawab Darrel singkat.
“Enggak ah… aku gak mau,” elak Fio cepat, tapi pelukannya tak ia lepaskan.
“Mau juga gak papa,” Darrel menimpali lembut.
“Ish… Darrel…”
“Fio dengar…” Darrel menatapnya lurus, nada suaranya datar tapi dalam. “Kamu berhak untuk mencintaiku.”
Fio terbelalak. Beberapa detik ia hanya menatap Darrel tanpa suara. Lalu bibirnya melengkung membentuk senyum kecil yang penuh sarkas tapi juga sendu.
“Eh, cie…” katanya pelan, menepuk dada Darrel. “Udah jatuh cinta nih, kayaknya.”
Darrel tidak menjawab. Ia hanya menatap mata Fio yang penuh luka — dan entah sejak kapan, dalam diam, hatinya benar-benar sudah jatuh ke sana.
Malam ini hujan turun tanpa jeda. Butirnya menabrak kaca jendela, menimbulkan bunyi ritmis yang menenangkan tapi juga sepi. Fio masih duduk di ambang jendela, lututnya dipeluk, pandangannya kosong menatap gelap di luar sana. Cahaya lampu kamar yang redup membuat siluet wajahnya tampak sendu.
Darrel yang baru saja dari kamar mandi datang tanpa suara, lalu duduk di sampingnya. Hanya hembusan napas yang terdengar.
“Darrel…” suara Fio pelan, nyaris tenggelam oleh rintik hujan. “Kita ke sini ibu tahu gak? Nanti nyariin lagi.”
“Kita sudah suami istri,” jawab Darrel datar, menatap keluar jendela juga.
“Ish…” Fio mendecak kecil, bibirnya mengerucut.
“Kamu jangan panggil ibu terus. Panggil mama,” ucap Darrel lagi, nadanya lembut. “Anggap mama sama papa orang tuamu juga.”
“Gak…”
“Kenapa?”
“Gak papa.”
Darrel menatapnya lama, tapi Fio tetap menatap hujan, enggan membuka isi hatinya.
“Apa kamu menikah denganku…” Darrel berhenti sejenak, menelan kalimat itu dengan berat.
“Iya Darrel… kamu udah dengar, kan?” jawab Fio cepat, suaranya dingin tapi matanya meredup.
Darrel menatapnya lekat.
“Bisa kita ulang?” tanyanya pelan. “Kita menikah bukan karena hal itu… tapi karena ingin berumah tangga. Karena ingin saling mengenal, bukan karena terpaksa.”
Fio mengerutkan kening. “Apa sih maksudnya?”
“Fio… maaf juga atas ucapanku di awal pernikahan,” lanjut Darrel dengan suara dalam. “Saat itu hatiku masih belum terbuka. Tapi setelah beberapa hari bersama kamu… aku merasa nyaman. Bahkan aku khawatir waktu kamu gak pulang-pulang.”
Fio tiba-tiba melotot, menatap Darrel dengan mata melebar. “Hah? Serius lo? Kok kayak—”
Darrel cepat-cepat menutup wajah Fio dengan telapak tangannya. “Gak gitu juga, Fio…” katanya buru-buru, tapi bibirnya menahan tawa kecil.
“Ish…” Fio menepis tangannya, memalingkan wajah ke arah jendela lagi. Pipinya merona, tapi ia berusaha keras menyembunyikannya.
Hening beberapa detik. Hanya suara hujan dan detak jantung yang entah kenapa terasa terlalu dekat.
Di dalam hati, Fio bergumam lirih, “Gue gak boleh begini. Gue takut kecewa…”
Namun entah kenapa, untuk pertama kalinya sejak lama… ia ingin percaya, setidaknya malam ini.
Darrel tak berkata apa-apa lagi. Ia hanya diam di samping Fio, membiarkan suara hujan yang berbicara untuk mereka berdua.
Suasana terasa aneh—tenang tapi berat, seperti ada banyak hal yang tak sempat diucapkan.
Fio menarik napas panjang, lalu perlahan bersandar ke kaca jendela. Tapi tubuhnya goyah, entah karena lelah atau karena perasaannya sendiri.
Tanpa berpikir panjang, Darrel menggeser posisi duduknya, memberikan bahunya untuk Fio bersandar.
“Udah… sandar aja. Aku gak gigit.”
Nada suaranya tenang, tapi ada senyum samar di ujung bibirnya.
Fio melirik, ragu. "Kalau aku bersandar, kamu gak pergi lagi kan?” tanyanya lirih.
“Enggak,” jawab Darrel cepat. “Aku gak akan pergi kalau kamu masih butuh aku di sini.”
Fio diam.
Pelan-pelan, ia menunduk dan akhirnya menyandarkan kepalanya di bahu Darrel.
Hujan semakin deras, tapi di antara bunyinya yang monoton, napas Fio terdengar tersengal.
“Fio?” Darrel menoleh sedikit, tapi Fio menutup matanya rapat-rapat.
Air matanya menetes begitu saja, membasahi bahu kemeja Darrel.
“Kenapa nangis lagi?” Darrel bertanya pelan, suaranya hampir seperti bisikan.
“Capek, Darrel…” ucap Fio pelan, nyaris tak terdengar. “Capek nyalahin diri sendiri terus. Capek pura-pura kuat.”
Darrel menatapnya lama. Ia menahan napas, lalu mengangkat tangan dan menyentuh rambut Fio dengan hati-hati.
“Udah… gak usah pura-pura kuat kalau lagi sama aku.”
Fio tersenyum samar di sela isakannya, tapi suaranya masih gemetar. “Lo gak tahu rasanya jadi gue…”
Darrel memiringkan wajahnya sedikit. “Mungkin gak tahu. Tapi aku mau tahu, kalau kamu izinin.”
Kata-kata itu membuat dada Fio terasa hangat sekaligus nyeri. Ia terdiam lama, lalu hanya bergumam pelan, “Jangan baik-baik banget ke aku. Aku bisa jatuh.”
Darrel tersenyum kecil. “Kalau jatuh, aku tangkap.”
Fio tertawa kecil di antara air matanya, tapi tidak menolak pelukan yang akhirnya melingkari bahunya.
Di luar, hujan masih turun, tapi untuk pertama kalinya malam itu… Fio merasa tidak sendirian.
Suara hujan makin pelan, hanya menetes di atap villa dan menyisakan hawa dingin menusuk.
Fio menatap ke luar jendela yang berkabut, matanya sayu tapi bicaranya terus mengalir. Mungkin karena untuk pertama kalinya… ada seseorang yang benar-benar mau mendengarkan tanpa menyela.
“Darrel…” panggilnya pelan.
“Hm?”
“Bagaimana rasanya punya orang tua utuh?”
Darrel menatap wajah Fio yang samar diterpa cahaya lampu. Ada getar di nada Fio — bukan sekadar tanya, tapi juga rindu yang lama terkubur.
“Alhamdulillah…” jawab Darrel lembut. “Aku bersyukur banget, Fio. Tapi itu bukan berarti semuanya sempurna. Kadang tetap ada salah paham, tetap ada luka, cuma… tidak sampai meninggalkan. Selalu ada solusi dan yang penting adalah menurunkan ego masing-masing.”
Fio mengangguk pelan. Bibirnya menipis, suaranya nyaris bergetar. “Boleh gak sih iri?”
Ia tertawa getir. “Aku tuh, sejak ayah sama ibu pisah, kesepian banget. Mau banget punya sosok ayah. Tapi ayah gue tuh, kayak... dikuasai anak tirinya. Gila, ya?”
Darrel tidak langsung menjawab. Ia hanya menatap Fio dalam-dalam, matanya lembut namun penuh empati. “Sekarang anggap aja aku ayah, kakak, atau apa pun yang membuat kamu nyaman,” katanya pelan.
“Ish…” Fio menoleh, matanya memanas tapi bibirnya justru tersenyum kecil. “Gue kayak dibucinin Zang Ling He.”
Darrel mengerutkan dahi. “Siapa lagi tuh?”
Fio menahan tawa di sela air matanya. “Aduh, pipi gue sampe pegel nahan ketawa…”
Darrel hanya menggeleng, tapi hatinya hangat. Fio memang selalu punya cara aneh untuk menutupi luka — bercanda di tengah air mata.
“Jujur, Darrel…” lanjut Fio lirih. “Gue tuh kadang kesepian banget. Biasanya gue manja-manja sama Bang Kevin, sama Bang Farhan. Tapi beberapa hari ini gue gak ketemu mereka. Mereka tuh kayak… rumah kecil gue. Sama Linda juga. Mereka selalu ada.”
“Sekarang ada aku,” potong Darrel lembut.
“Ah, gak mau…” Fio memalingkan wajah. “Sebenarnya aku tuh cuma takut kecewa. Karena ayahku juga selalu buat kecewa. Tapi gue sayang…”
Darrel menunduk. “Kalau udah gak kuat, besok lagi ceritanya.”
“Enggak, Darrel.” Suaranya mulai bergetar lagi. “Kemarin itu si Lira kutukupret nyamperin gue ke kampus coba. Dia bilang kalau ayah itu bukan ayahku.”
Darrel menajamkan pandangannya. “Apa?”
Fio menarik napas berat, matanya mulai basah.
“Udah jelas-jelas sebelum ada wewe gombel masuk ke kehidupan ayah gue, ayah tuh ayah yang bertanggung jawab dan sayang sama gue. Tapi ayah udah dicuci otaknya sama wewe gombel sama tuh anak tiri sialan…”
“Siapa?” suara Darrel mulai menegang.
“Lira…”
Fio menatap kosong ke luar jendela. “Dia anak tiri ayah yang udah meracuni otak ayah. Setiap gue minta uang, pasti ujung-ujungnya buat Lira juga banyak kebutuhan. Coba, siapa yang jadi anaknya di sini, hah?” Nada Fio meninggi, matanya berair tapi suaranya tajam.
“Ayah gue masih ikutin kemauan tuh anak tirinya. Sebenarnya Ayah bukan orang miskin… tapi dia dimiskinkan sama dua wanita itu. Sama-sama rakvs.”
Darrel terdiam. Ia hanya mengulurkan tangan, menarik tubuh Fio ke dalam pelukannya.
Fio sempat menolak, tapi kemudian diam — bahunya bergetar menahan tangis.
Darrel menutup matanya, menahan sesak di dadanya sendiri. Ia sadar, malam ini Fio tidak sedang butuh jawaban. Dia cuma butuh tempat untuk menangis.
Pelukannya menguat, menenangkan.
Ia tidak menyela, tidak memotong.
Hanya diam… mendengarkan.
Karena di antara setiap kata dan isak Fio, Darrel tahu —hilangnya Fio kemarin bukan sekadar karena ketakutan, tapi karena dia bertemu dengan luka yang paling dalam di masa lalunya.
Flashback
Sore hari kemarin, langit sudah mulai jingga ketika kelas terakhir berakhir. Fio baru saja keluar dari ruangan, masih menggenggam laptopnya saat ponselnya berbunyi. Nomor baru.
“Halo, Fio. Ini gue Lira. Gue lagi main di kota lo. Sama teman-teman gue juga. Ayah titip uang buat lo, bisa gak kita bertemu?.”
Fio yang sedang berjalan menuruni tangga langsung berhenti. Alisnya terangkat, wajahnya berubah antara kaget dan senang.
“Ayah? Titip uang? Masa sih…” gumamnya pelan.
Sudah sangat lama Fio tidak pernah ayahnya berinisiatif sendiri untuk memberi uang kepadanya, bahkan saat diminta pun ayahnya selalu memberikan beribu alasan. Dan sekarang tiba-tiba Lira—anak tiri ayahnya—menghubungi dan membawa titipan uang.
“Oke. lo di mana?” tanya Fio
“Belakang kampus lo. Dekat taman kecil itu, tahu kan? Gue tunggu di sana.”
Tanpa pikir panjang, Fio berjalan cepat menuju taman di belakang kampus. Ia memesan minuman dingin di warung kecil dekat situ, menunggu dengan senyum kecil yang tak bisa disembunyikan.
“Akhirnya, ayah ingat juga sama aku.”
Tapi waktu berjalan lama. Minuman Fio sudah tandas, matahari mulai merendah, dan belum ada tanda-tanda Lira datang.
Baru ketika warna langit berubah ungu, suara langkah tergesa terdengar di belakangnya.
“Fio!” suara itu terdengar agak nyaring, dengan nada sombong yang khas.
Lira datang dengan dandanan mencolok dan wajah sinis. Dua temannya menunggu tak jauh di belakang. “Lama banget sih, nungguin lo bikin capek,” ujarnya langsung duduk tanpa permisi.
“Katanya ada titipan uang dari Ayah,” Fio mencoba tersenyum. “Mana?”
Lira malah tertawa pendek. “Uang memang ada. Tapi buat gue.”
Fio mengerutkan kening. “Hah? Bukannya lo bilang—”
“Ayah tuh nyuruh gue kasih, tapi gue butuh banget buat jalan. Jadi kasih gue uangmu lo aja sekarang tambahan. Gak usah banyak alasan.”
“Gue gak bawa uang cash, Lira. Ngapain lo malah minta uang sama gue...”
“Bohong!” Lira menatap tajam, lalu tangannya tiba-tiba menyambar laptop Fio yang ada di atas bangku. “Ini aja dijual, pasti laku!”
“Lira, jangan!” Fio berdiri dan menahan laptopnya, tapi Lira menepis kasar. Laptop itu jatuh ke tanah, membentur batu, menyusul ponsel Fio yang ikut terlempar dengan kencang.
“Liraaa! Lo gila!”
“Gila? Yang gila tuh kamu!” Lira membentak. “Masih aja berharap ayah bakal peduli sama lo? Denger ya, Fi—ayah itu udah gak anggap lo anaknya lagi!”
Fio membeku. Nafasnya tercekat. “Apa maksud lo…”
“Ayah udah muak! Dia bilang lo anak yang bikin malu, selalu nyusahin. Sekarang ayah cuma punya gue! Anak yang dia pilih, bukan lo, anak dari perempuan gagal!”
“Diam, Lira…” suara Fio bergetar, tapi Lira malah menatap dengan senyum penuh kemenangan.
“Terima aja kenyataan. Ayah lo udah gak sayang lagi sama lo. Gak akan pernah lagi.”
Fio menggertakkan gigi, air matanya sudah menetes tapi nadanya tegas. “Dia tetap ayahku, Lira. A-y-a-h-ku! Dan lo gak akan pernah bisa rebut itu!”
Lira mendengus dan mendorong Fio keras hingga hampir jatuh. Tapi Fio melawan, menendang kaki Lira hingga gadis itu kehilangan keseimbangan.
“Argh!” jerit Lira, lalu buru-buru kabur bersama teman-temannya.
Fio berdiri di tempat, dadanya naik turun, napasnya berat. Ponselnya retak, laptopnya rusak, dan hatinya hancur lebih parah dari keduanya.
Air matanya jatuh deras saat ia berbisik pelan, hampir tanpa suara...
“Dia ayahku... cuma gue yang boleh panggil dia begitu…”
Kemudian Fio berjongkok lemas di antara serpihan kaca layar laptopnya yang pecah. Suara napasnya tersendat, matanya memerah, dan tubuhnya mulai bergetar.
Tangannya berusaha menyentuh laptop itu, tapi ujung jarinya hanya menelusuri pinggiran yang tajam, membuat perih kecil di kulitnya.
“Kenapa harus kayak gini, sih…,” gumamnya parau.
Bersambung
ditunggu up nya