Bagi Luna, Senja hanyalah adik tiri yang pantas disakiti.
Tapi di mata Samudra, Senja adalah cahaya yang tak bisa ia abaikan.
Lalu, siapa yang akan memenangkan hati sang suami? istri sahnya, atau adik tiri yang seharusnya ia benci.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bunda SB, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 34 - Setuju
Pagi ini, Senja sedang menyiapkan sarapan di dapur ketika Samudra turun dari lantai dua. Pria itu mengenakan kemeja putih dengan celana kain hitam, sudah bersiap untuk berangkat kerja. Tapi langkahnya terhenti ketika melihat Senja yang berdiri di depan kompor dengan wajah yang terlihat lelah.
"Pagi," sapa Samudra sambil menghampiri. "Kamu tidak tidur nyenyak semalam?"
Senja menoleh dan tersenyum tipis. "Pagi, Mas. Aku tidur kok, cuma... banyak yang dipikirkan."
Samudra berdiri di samping Senja, suaranya rendah agar tidak terdengar kalau-kalau Luna atau Bi Ipah ada di sekitar. "Tentang... lamaranku?"
Senja mengangguk pelan sambil terus mengaduk telur dadar di wajan. "Iya, Mas."
"Kamu sudah dapat jawabannya?" tanya Samudra dengan hati yang berdebar.
Senja mematikan kompor dan berbalik menghadap Samudra. Mereka berdiri sangat dekat, tapi posisi mereka tersembunyi dari pandangan kalau ada orang yang masuk ke ruang makan.
"Aku sudah dapat jawaban, Mas," bisiknya dengan suara bergetar.
Senja menatap mata Samudra dalam-dalam. Mata yang penuh cinta, harapan, dan sedikit ketakutan akan penolakan.
"Aku..." Senja mengambil napas dalam-dalam. "Aku mau, Mas."
Untuk beberapa detik, Samudra hanya terdiam menatap Senja dengan mata yang membelalak. Seolah tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.
"Kamu... serius?" bisiknya dengan suara yang bergetar.
"Sangat serius," jawab Senja sambil tersenyum. "Aku mau jadi istri kedua Mas."
Samudra langsung menarik Senja ke dalam pelukannya yang erat, sangat erat seolah takut gadis itu akan menghilang. "Terima kasih, sudah menerima aku."
Senja membalas pelukan Samudra dengan erat, merasakan kehangatan dan kelegaan yang luar biasa. Keputusan sudah dibuat. Tidak ada jalan kembali lagi.
Setelah beberapa menit berpelukan, Samudra melepaskan dan menatap wajah Senja dengan mata yang berbinar bahagia. "Aku janji akan buat kamu bahagia. Aku akan usahakan untuk ceraikan Luna secepatnya supaya kamu jadi istri satu-satunya."
"Aku percaya sama Mas," kata Senja dengan tulus. "Tapi Mas, aku punya syarat."
"Syarat apa?" tanya Samudra dengan serius. "Apapun yang kamu mau, aku akan usahakan."
Senja menarik napas dalam-dalam sebelum melanjutkan. "Aku tidak mau lagi kerja jadi pembantu di rumah ini. Aku tidak mau lagi diperlakukan kayak budak sama Kak Luna."
Samudra mengangguk dengan cepat. "Tentu saja! Kamu tidak perlu kerja lagi disini. Bahkan aku tidak akan biarkan kamu kerja lagi sama sekali. Kamu akan jadi istriku, bukan pembantu."
"Terima kasih, Mas," bisik Senja dengan lega.
"Dan satu lagi," kata Samudra sambil memegang wajah Senja dengan kedua tangannya. "Mulai hari ini, kamu pindah dari rumah ini."
"Pindah kemana?" Senja menatap Samudra dengan bingung.
"Aku punya apartemen di kota, dekat dengan kantor," jelas Samudra. "Apartemen itu tidak pernah kutempati karena aku selalu pulang ke rumah. Tapi sekarang, apartemen itu akan jadi rumah kita."
"Sekarang?" tanya Senja dengan terkejut. "Maksud Mas, aku pindah hari ini?"
"Iya, sekarang," jawab Samudra dengan tegas. "Aku tidak mau kamu satu detik pun lagi tinggal di rumah ini dan diperlakukan tidak layak. Kita ambil barang-barang kamu sekarang, dan kamu pindah hari ini juga."
Senja terdiam, mencerna semua yang baru saja dikatakan Samudra. Ini terjadi sangat cepat dari keputusan menerima lamaran hingga pindah rumah, semuanya dalam hitungan jam.
"Tapi... Kak Luna gimana? Bi Ipah gimana? Mereka pasti akan curiga," kata Senja dengan cemas.
"Biar aku yang urus," jawab Samudra dengan tenang. "Yang penting sekarang, kita ambil barang-barang kamu dan kamu pindah ke tempat yang aman. Nanti aku akan bilang ke Luna kalau kamu sudah tidak kerja lagi."
Senja menatap mata Samudra yang penuh dengan tekad dan perlindungan. Hatinya menghangat merasakan betapa Samudra sangat ingin melindunginya.
"Baiklah," jawabnya akhirnya. "Aku ikut Mas."
Samudra tersenyum lebar, senyuman paling bahagia yang pernah dilihat Senja. "Ayo, kita berangkat sekarang."
***
Samudra membantu Senja mengepak barang-barang. Sebenarnya tidak banyak, beberapa helai baju, sepatu, buku-buku kesayangan, foto-foto almarhum ayahnya, dan beberapa perhiasan sederhana pemberian ayahnya dulu.
"Ini aja?" tanya Samudra sambil menatap koper yang sudah penuh. "Tidak ada lagi yang mau dibawa?"
"Ini aja, Mas," jawab Senja sambil menatap sekeliling kamar kecil itu untuk terakhir kalinya. "Yang lain bukan milik aku."
Samudra merasakan dadanya sesak mendengar itu. Selama Senja tinggal di rumah ini, ternyata dia hampir tidak punya apa-apa.
"Nanti kita beli baju-baju baru," kata Samudra sambil memeluk Senja dari belakang. "Kamu berhak punya apapun yang kamu mau."
"Aku tidak butuh banyak barang, Mas," bisik Senja. "Yang aku butuh cuma Mas."
Samudra memutar tubuh Senja agar menghadap ke arahnya, kemudian menciumnya dengan lembut. "Kamu akan selalu punya aku."
Setelah memastikan semua barang sudah terbawa, Senja menuliskan sebuah surat singkat dan meletakkannya di atas meja kamar.
"Bi Ipah, aku sudah memutuskan untuk berhenti bekerja di rumah ini. Terima kasih sudah baik sama aku selama ini. Tolong jaga kesehatan."
Mereka membawa koper itu dan memasukkannya ke bagasi mobil. Sebelum masuk mobil, Senja menatap rumah besar itu untuk terakhir kalinya.
"Goodbye," bisiknya pelan. "Terima kasih untuk semua pelajaran pahit yang sudah kamu berikan."
Samudra memegang tangan Senja dengan erat. "Kamu tidak akan kembali ke sini lagi. Aku janji."
Mobil itu melaju meninggalkan rumah menuju apartemen. Senja menatap keluar jendela dengan perasaan yang campur aduk, lega, takut, excited.
Apartemen Samudra berada di lantai tiga puluh lima sebuah gedung mewah. Penthouse dengan dua kamar tidur, ruang tamu yang luas, dapur modern, dan jendela kaca besar yang menghadap langsung ke pemandangan kota yang memukau.
"Ini... apartemen Mas?" tanya Senja dengan mata yang membelalak melihat kemewahan apartemen itu.
"Iya," jawab Samudra sambil meletakkan koper di lantai. "Sekarang ini juga apartemen kamu. Ini rumah kita."
Senja berjalan mengelilingi apartemen dengan takjub. Semuanya sangat bersih, modern, dan mewah. Sangat berbeda dengan kamar kecil yang selama ini ditempatinya.
"Kamar utama di sana," kata Samudra sambil menunjuk pintu di ujung koridor. "Kamu bisa pakai kamar itu. Atau kalau kamu mau, kita bisa tidur bareng di kamar itu."
Pipi Senja memerah mendengar kalimat terakhir. "Mas..."
Samudra tertawa melihat ekspresi Senja yang malu. "Aku becanda. Kamu istirahat dulu, atur-atur barang. Nanti sore kita keluar makan untuk celebrate."
"Celebrate apa, Mas?"
"Celebrate awal hidup baru kita," jawab Samudra sambil memeluk Senja dari belakang. "Awal dari hubungan kita yang resmi. Awal dari kebahagiaan kita."
Senja berbalik dalam pelukan Samudra dan memeluk pinggang pria itu dengan erat. "Terima kasih, Mas. Terima kasih sudah mau terima aku apa adanya."
"Aku yang harusnya berterima kasih," bisik Samudra sambil mengcup puncak kepala Senja. "Terima kasih sudah mau jadi bagian dari hidupku meski dengan status yang tidak sempurna."
Mereka berpelukan cukup lama di tengah apartemen yang akan menjadi rumah baru mereka. Rumah yang penuh dengan harapan, cinta, dan janji untuk masa depan yang lebih baik.
Yang tidak mereka ketahui adalah bahwa di rumah besar yang baru saja ditinggalkan, Bi Ipah sudah pulang dari pasar dan menemukan surat dari Senja. Wanita tua itu langsung menelepon Luna yang sedang di apartemen Arjuna.
"Nyonya Luna, Senja sudah pergi! Dia ninggalin surat bilang sudah berhenti kerja!"
Luna yang sedang berbaring di ranjang Arjuna langsung duduk dengan mata yang membelalak. "Apa! Dia pergi kemana?"
"Tidak tahu, Nyonya. Suratnya cuma bilang dia berhenti kerja. Barang-barangnya juga sudah tidak ada semua."
Luna merasakan amarah yang mendidih. Tangannya terkepal erat hingga buku jarinya memutih. Hubungannya dengan Samudra saja belum membaik, sekarang Senja malah kabur entah kemana.