NovelToon NovelToon
Ayo, Menikah!

Ayo, Menikah!

Status: sedang berlangsung
Genre:Nikahmuda / Romantis / Cinta pada Pandangan Pertama / Cinta Seiring Waktu / Office Romance / Cintapertama
Popularitas:918
Nilai: 5
Nama Author: QueenBwi

Arkan itu cowok baik—terlalu baik malah. Polos, sopan, dan sering jadi sasaran empuk godaan Elira, si gadis centil dengan energi tak terbatas.

Bagi Elira, membuat Arkan salah tingkah adalah hiburan utama.
Bagi Arkan, Elira adalah sumber stres… sekaligus alasan dia tersenyum tiap hari.

Antara rayuan iseng dan kehebohan yang mereka ciptakan sendiri, siapa sangka hubungan “teman konyol” ini bisa berubah jadi sesuatu yang jauh lebih manis (dan bikin deg-degan)?

Cinta kadang datang bukan karena cocok—tapi karena satu pihak nggak bisa berhenti gangguin yang lain.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon QueenBwi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Dua Puluh Satu

Arkan menatap Elira yang masih terlelap diranjangnya. Masih bisa terlihat sisa-sisa airmata diwajah sicantik karena semalam. Mengingatnya lagi membuat Arkan semakin merasa jantungnya kembali teremat kuat.

Pria itu menghela nafas dan mengecup kepala Elira lembut sebelum ia berdiri dan merapikan setelan kantornya. Setelah dua hari membolos tanpa ijin, setidaknya ia harus menampakkan wajahnya dikantor hari ini.

Kaki panjangnya melangkah keluar kamar dengan hati-hati, berusaha tak membuat suara agar tidak mengganggu tidur Elira. Disana ia mendapati Farhan yang tengah menyiapkan sarapan dimeja makan.

"Selamat pagi, Tuan Arkan," sapa Farhan dengan sopan.

"Pagi juga. Jangan bangunkan Elira ya— dia baru tertidur pukul 4 pagi tadi,"

"Baik. Dan—sarapan anda Tuan?"

Arkan melihat atas meja yang sudah penuh oleh makanan dengan perasaan tak enak. Pasalnya dirinya hampir terlambat tapi tidak sarapan juga rasanya tidak sopan. Farhan sudah dengan baik hati membuatkan sarapan untuknya.

"Aku hampir terlambat jika harus sarapan. Bisa tolong bungkuskan saja untukku? Biar aku memakannya di kantor.."

Farhan mengangguk lalu mulai mencari beberapa kotak bekal dan memasukkan nasi beserta lauk-pauknya.

"Farhan."

Pria itu menoleh ke arah Arkan, "Ya, Tuan?"

"Boleh aku tahu sudah sejak kapan kau menjaga Elira?"

"Sejak Nona berusia 7 tahun, Tuan.."

Kening Taehyung mengernyit— sejak 7 tahun, itu berarti tepat saat Elira mengalami tragedi itu.

—atau malah sebaliknya?

"Sebenarnya saya sudah mengabdi pada keluarga Pradipta sejak dari Ayah saya. Bisa dibilang saya hanya meneruskan pekerjaan Ayah saya. Sebelum menjaga Nona, saya bekerja penuh pada Tuan Besar Hans.." Jelas Farhan sambil memasukkan kotak-kotak bekal itu pada sebuah tas berukuran sedang.

"Jadi, kau tahu perihal yang menimpa Elira?"

"Iya, Tuan."

"Itu berarti kau juga tahu alasan dibalik semua kejadian itu?"

"Ya—tapi saya tak bisa menjelaskan lebih jauh perihal itu. Karena itu bukanlah tugas saya."

Arkan mengangguk membenarkan, jadi ia hanya mengambil tas itu dan tersenyum.

"Baiklah.. Terimakasih Farhan—dan aku tahu ini memang tugasmu tapi, tolong jaga Elira sampai aku pulang,"

"Baik Tuan."

***

Selama perjalanan menuju kantornya, Arkan lebih sering melamun. Akibatnya beberapa kali ia hampir mencelakai seseorang atau bahkan hampir saja menabrak batas jalan.

Perkara Elira serta masalahnya sendiri, membuatnya jadi sering kehilangan fokus. Tapi untung saja ia bisa sampai dengan selamat ke kantornya.

Berjalan memasuki perusahaan raksasa itu dengan wajah datar. Sama sekali tak membalas sapaan karyawan yang lain, sekedar tersenyum saja tidak.

Bukan Arkan sekali yang terkenal ramah.

"Wajahmu mengerikan," Ayana muncul tiba-tiba disamping Arkan yang baru saja mau memasuki lift.

Arkan hanya menghela nafas sebagai respon.

"Kak, Wanita kemarin yang mengganggu Elira. Bagaimana dengannya?"

Ayana menyender santai didinding lift, "Sudah ku urus. Wanita itu penggemarmu, omong-omong."

Keningnya mengerut lalu menoleh bingung," Penggemar? Aku bahkan bukan Artis."

"Yah.. Mau bagaimana lagi, dia menyukaimu dan tak terima setelah tahu kau sudah bertunangan dengan Elira."

"Tch.. Apa-apaan itu?!"

Pintu lift terbuka diikuti Ayana yang merapikan pakaian serta rambutnya, tangan kanannya terangkat dan menepuk pundak Arkan pelan.

"Seperti yang kubilang—sudah ku urus," Ucapnya lagi lalu melangkah keluar bersamaan dengan Arkan.

Tapi langkah Ayana berhenti seperti mengingat sesuatu, ia berbalik dan menatap Arkan.

"Bagaimana denganmu? Kau baik?"

"Tidak sepenuhnya tapi lebih baik dari semalam."

"Lalu Salva?"

Arkan hanya diam.

Fakta baru yang ia dapatkan tadi malam dan rasanya terlalu menyakitkan untuk diingat lagi. Jika ibu Salva adalah ibunya juga, itu berarti mereka saudara beda Ayah.

Dan kalau bisa jujur, Arkan benci fakta itu. Ia benci kenyataan bahwa ternyata ibunya memiliki anak yang lain selain dirinya dan Arfan.

"Arkan?"

"Entahlah kak, belum kupikirkan."

Gadis itu hanya mengangguk saja, tidak berniat bertanya lagi dan lebih memilih kembali berjalan menuju ruangan mereka.

***

Arkan bekerja seperti biasa, tapi sesekali ia akan terfokus pada layar ponselnya untuk membalas pesan Elira. Kemudian tersenyum seperti orang bodoh.

Padahal semalam ia menangis tanpa henti dan sekarang malah bertingkah manja dan menggemaskan—oh jangan lupakan perangai binal gadis itu.

Bisa-bisanya ia mengirimi Arkan gambar dirinya yang setengah bugil alias hanya memakai atasan piyama tanpa celananya. Dengan isi pesan :

Daddy~~can u touch me now~? I want u so bad~~

Ya, Tuhan!

"Kak Arkan," Panggil sebuah suara.

Arkan mendongak setelah menyimpan lagi ponselnya. Mendapati Salva yang berdiri dihadapannya dengan wajah cemas.

"I-itu.."

"Pekerjaanmu sudah selesai? Kalau sudah serahkan padaku biar ku periksa" Kata Arkan, ia mencoba bersikap profesional disini tanpa mengikutsertakan perasaan pribadinya.

"Kak.. I-ibu.. Ibu ingin bertemu denganmu."

Arkan tak memberikan reaksi apapun, ia masih dengan gaya biasa menggerakkan jemarinya di atas keyboard.

"Kalau belum selesai, silahkan lanjutkan. Kutunggu sampai makan siang."

Salva menggigit sudut bibirnya takut, kejadian kemarin membuat sikap Arkan jadi berubah padanya.

Tidak, bukan menjahatinya tapi lebih ke raut wajah dingin tak bersahabat. Auranya pun jadi lebih mencekam ketimbang biasanya.

"Kak, Ibu—"

BRAK..!

Arkan memukul meja kerjanya kuat lalu menatap Salva nyalang, "Selesaikan pekerjaanmu, Salva. Jika tak bisa, berhenti saja. Jangan merepotkanku!" geramnya.

Benar-benar bukan Arkan sekali.

Bahkan Ayana dan Raka beserta pegawai lain yang disitu menatap Arkan bingung. Selama bekerja disini, tak pernah Arkan menggunakan nada tinggi seperti itu. Tapi kali ini beda, senyum saja tidak ada sama sekali.

Salva berjengit kaget dengan tubuh gemetar, kedua matanya sudah basah tapi ia berusaha untuk tidak menangis. Jadi ia hendak pergi sebelum kakinya kembali berhenti.

"Kak, Ibu sekarat, beliau sudah tak punya banyak waktu dan keinginan terakhir ibu adalah ingin bertemu denganmu. Kamarnya masih yang sama—kalau-kalau Kakak berubah pikiran," katanya lalu pergi.

Kalau boleh Salva mengakui, bukan hanya Arkan yang merasa kecewa disini tapi dirinya juga. Ia tak pernah tahu jika ibunya ternyata pernah menikah dan memiliki anak yang lain.

Dirinya juga marah tapi ia tak bisa mengabaikan sang ibu demi egonya.

Ibunya—atau ibu mereka kini sedang sekarat, penyakit kanker otak stadium akhir yang diderita sang ibu sudah semakin parah. Bahkan Dokter memberitahu bahwa sisa waktu yang dimiliki ibu mereka hanyalah beberapa hari saja.

Jadi, bagaimana bisa ia bersikap egois?

Kakinya melangkah tak pasti, ia hanya mengikuti kemana kedua tungkainya itu membawanya. Arkan hanya butuh tempat untuk menangis saja. Hingga pada akhirnya ia tiba di atap gedung perusahaan dan terduduk disana.

Menangis sesenggukan, mencoba menenangkan dirinya sendiri. Tapi setiap kali mencoba berhenti, air matanya akan terus mengalir tanpa henti.

Seharusnya ia juga marah, karena biar bagaimanapun dirinya juga merupakan korban disini.

Tapi kenapa malah dirinya yang disalahkan?

Jika dari awal Salva tahu perihal Arkan, maka ia akan dengan sukarela meminta ibunya untuk kembali pada Arkan.

Tidak apa.

Tidak masalah dia yang sendirian, dia tahu dirinya akan terbiasa nantinya. Jadi bukan masalah.

"Akh sial! Kenapa berisik sekali? Aku kesini untuk mencari ketenangan tahu!"

Arkan tersentak kaget dan menoleh, mendapati seorang pria yang menggunakan setelan kantor juga sama seperti dirinya bangun dari tidurnya.

Pria itu menatap Salva sejenak sebelum mendengus, "Hey.. Aku yang disini duluan. Jadi bisakah kau pergi dan mencari tempat lain untuk menangis? Seperti anak kecil saja."

Ha?

Apa-apaan itu?

Ada yang sedang bersedih disini, bukannya dihibur malah diusir. Menyebalkan.

"Ya, ampun Stefan, seperti biasa.. Mulutmu itu benar-benar tajam," ucap pria lainnya lagi yang baru datang entah darimana.

Duh, Salva jadi pusing. Padahal dia hanya ingin menangis dengan tenang tapi malah jadi begini.

"Dia menggangguku, Kak. Tolong usir, dong," kata pria yang dipanggil Stefan itu dengan cuek.

"Sialan.. Berani sekali menyuruhku, aku lebih tua darimu, bangsat!"

"Tidak perduli."

"KAU—" kata-kata pria itu terhenti saat melihat Salva yang langsung berdiri dari tempatnya duduk untuk pergi.

"Hey tunggu!" Panggilnya.

Salva menoleh dengan wajah cemberut, ekspresinya sudah seperti ingin memutilasi orang lain saja. Tapi dimata yang lain itu ekspresi menggemaskan.

"Apa?! Tadi menyuruhku pergi kan?!"

Pria itu meringis dan tersenyum meminta maaf, "Ey,Jangan dimasukkan kehati. Stefan memang begitu tapi pada dasarnya hatinya lembut, loh. Dia bahkan penyuka Hello kitty~"

"Kak Jo!" Teriak Stefan tak terima tapi wajahnya memerah, antara kesal dan malu rahasianya dibocorkan.

Kini giliran Salva yang memasang tampang mengejek, bersedekap dihadapan dua orang pria berbeda bentuk dan tinggi badan.

"Jadi.. Siapa yang anak kecil disini? Tch!" Balasnya lalu melenggang pergi mengabaikan ekspresi Stefan yang menganga seperti orang bodoh serta Jo atau Jordi yang terbahak puas.

"Ngomong-ngomong aku Jordi dan pria tinggi disampingku ini Stefan..!!!" Teriak Jordi sambil melambai-lambaikan tangannya dengan senyuman lebar.

"Aku tidak tanya dan tidak perduli.. Weeeeekkk!" Salva menjulurkan lidahnya mengejek lalu kembali melangkah memasuki lift.

Sementara kedua pria itu terdiam sejenak.

"Dia.. Menarik, ya.."

"Tch.. Dia menyebalkan!"

***

Arkan menatap kartu nama ditangannya dan papan nama disebuah tempat bergantian.

Tanpa basa basi lagi ia melangkah masuk, udara dingin karena AC langsung menghantam kulitnya. Arkan mendekati seorang wanita yang sepertinya menjadi penerima tamu.

"Permisi.. Saya mau bertemu dengan Dokter Rasya."

"Ah.. Apakah sudah ada janji sebelumnya, Tuan?" tanya wanita itu ramah.

"Tidak."

Wanita itu mengangguk dan mengangkat gagang telepon, "Biar saya tanyakan dahulu. Dengan siapa kalau saya boleh tahu?"

"Arkan."

Si wanita menganggu lagi lalu menekan tombol hingga tersambung.

"Maaf mengganggu anda Dokter. Tuan Arkan ingin bertemu dengan anda."

"Baiklah, biarkan dia masuk"

Lalu panggilan diakhiri, si wanita itu tersenyum dan menuntun Arkan hingga ke ruangan Rasya.

"Silahkan.."

Saat ia masuk, ia mendapati Rasya tengah terduduk santai dikursi kebesarannya dengan kedua kaki yang terangkat diatas meja. Kepalanya ia senderkan disandaran kursi dengan kedua mata terpejam.

"Ternyata kau benar-benar datang, Tuan Arkan," katanya diikuti kedua mata yang terbuka lalu menurunkan kedua kakinya.

"Beritahu aku semuanya tentang Elira."

"Wow, tanpa basa basi dulu?"

"Katakan saja!"

Wanita cantik cenderung manis itu tersenyum tipis, "Kau yakin..? Karena ini bukanlah kisah yang menyenangkan untuk didengar."

"Ya."

"Nah, kalau begitu.. Silahkan nyamankan dirimu. Pertama-tama, tidak keberatan dengan secangkir teh, kan?"

Arkan tak menjawab, ia hanya duduk dan menatap Rasya tajam.

Kali ini ia akan mengetahui apapun dan dia berjanji akan mencoba membantu Elira untuk menyembuhkan traumanya.

1
QueenBwi
💜
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!