Christian Edward, seorang yatim piatu yang baru saja menginjak usia 18 tahun, dia harus keluar dari panti asuhan tempat ia di besarkan dengan bekal Rp 10 juta. Dia bukan anak biasa; di balik sikapnya yang pendiam, tersimpan kejeniusan, kemandirian, dan hati yang tulus. Saat harapannya mulai tampak menipis, sebuah sistem misterius bernama 'Hidup Sempurna' terbangun, dan menawarkannya kekuatan untuk melipatgandakan setiap uang yang dibelanjakan.
Namun, Edward tidak terbuai oleh kekayaan instan. Baginya, sistem adalah alat, bukan tujuan. Dengan integritas yang tinggi dan kecerdasan di atas rata-rata, dia menggunakan kemampuan barunya secara strategis untuk membangun fondasi hidup yang kokoh, bukan hanya pamer kekayaan. Di tengah kehidupan barunya di SMA elit, dia harus menavigasi persahabatan dan persaingan.sambil tetap setia pada prinsipnya bahwa kehidupan sempurna bukanlah tentang seberapa banyak yang kamu miliki, tetapi tentang siapa kamu di balik semua itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BlueFlame, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 30. Perang
Pagi itu, suasana di kantor Catalyst AI bukan lagi semangat membangun, tapi kepanikan memadamkan api. Telepon di meja Sarah berdering tidak henti. Dina dan Rizki, yang bertugas media sosial, wajahnya pucat sambil menatap monitor mereka.
"Edward, ini gawat!" seru Sarah, memegang teleponnya dengan erat. "Ada tiga blog besar dan dua akun gosip yang rilis artikel bersamaan. Mereka menuduh kita adalah penipuan! Katanya, data kita mencuri privasi pengguna, dan kita adalah perusahaan abal-abal yang dibuat oleh anak SMA untuk iseng!"
Hendra, yang sedang memeriksa server, datang dengan wajah muram. "Itu baru permulaan. Server kita sedang diserang DDoS. Lalu lintasnya tidak wajar, sengaja dibuat lambat untuk para beta tester. Aku sudah mencoba mengalihkannya, tapi serangannya berasal dari berbagai IP, sangat terorganisir."
Sebelum Edward bisa merespons, Bima masuk dengan wajah merah padam. "Yang lebih parah lagi! Tadi pagi, ada orang dari Setiawan Group yang menghubungiku. Mereka menawariku gaji tiga kali lipat, posisi Lead Architect, dan saham. Mereka melakukan hal yang sama pada Pak Hendra!"
Pukulan itu datang dari segala arah. Serangan PR, serangan teknis, dan serangan langsung kepada aset paling berharga mereka. Tim itu yang tadi penuh semangat kini terlihat seperti kapal yang akan karam.
Edward berdiri di tengah kekacauan itu, wajahnya tenang seperti es. "Tenang," katanya, suaranya rendah tapi berhasil memotong kepanikan itu. Semua mata tertuju padanya.
"Mereka ingin kita panik. Mereka ingin kita saling menyalahkan," kata Edward, matanya menyapu wajah setiap anggota timnya. "Mereka menyerang kita karena mereka takut pada apa yang kita bangun. Jika kita tidak berharga, mereka tidak akan repot-repot."
Dia mengambil ponselnya, mengetik sebuah pesan singkat, lalu mengirimnya. "Mulai sekarang, aku ambil cuti seminggu dari sekolah. Aku akan di sini 24/7 bersama kalian."
Keputusan itu mengejutkan semua orang. Tapi itu juga memberi mereka kekuatan. Jika CEO mereka, seorang siswa SMA, bersedia mengorbankan studinya untuk perusahaan ini, siapa mereka untuk menyerah?
"Bima, Pak Hendra, tolak tawaran mereka. Uang mereka tidak bisa membeli visi kita," kata Edward. "Sarah, Dina, Rizki, siapkan pernyataan resmi. Kita akan tanggapi tuduhan itu, tapi tidak dengan emosi. Kita akan tanggapi dengan data. Reza, aku butuh kamu untuk sesuatu yang lain."
Mereka terus bekerja tanpa henti selama 48 jam. Kantor itu berubah kembali menjadi markas perang. Edward mengambil cuti sekolahnya, mengirimkan tugas-tugasnya via email, dan memusatkan seluruh energinya di kantor. Dia tidur di sofa, makan mie instan, dan minum kopi tanpa henti.
Di malam kedua, saat tim lain sudah kelelahan, Edward mengumpulkan Hendra, Bima, dan Reza di ruang meeting.
"Mereka menyerang kita dengan cara kotor," kata Edward, menatap papan whiteboard yang kosong. "Jadi, kita akan membalas dengan cara yang lebih cerdas. Kita tidak akan menyerang mereka secara langsung. Kita akan menggunakan kekuatan mereka sendiri untuk melawan mereka."
Dia menggambar logo Setiawan Group. "Mereka sedang membangun citra sebagai penyelamat UMKM dengan 'Nusantara Digital Hub'. Itu adalah senjata PR terbesar mereka. Kita akan hancurkan citra itu."
"Bukankah itu mustahil?" kata Bima. "Mereka punya dana tak terbatas untuk pemasaran."
"Tidak," kata Edward, matanya berkilat. "Setiap benteng punya titik lemah. Aku butuh kalian untuk mencarinya. Reza, aku mau kau menganalisis semua materi promosi, semua video, dan semua demo publik dari Nusantara Digital Hub. Cari sesuatu yang tidak konsisten. Sesuatu yang terasa terlalu bagus untuk menjadi kenyataan."
"Bima," lanjut Edward. "Aku mendengar kabar bahwa platform mereka menggunakan beberapa library open-source. Aku mau kau menyelidiki kode sumber dari library-library itu. Cari tahu apakah mereka mematuhi lisensinya. karena kebanyakan perusahaan besar ceroboh dengan hal ini."
Ini adalah serangan balik yang sangat spesifik dan berisiko. Tapi tim itu setuju. Mereka mulai bekerja, menggali informasi dari domain publik, mencari celah di armor raksasa itu..
***
Tiga hari kemudian, dini hari, Reza memanggil mereka. "Aku menemukan sesuatu!"
Mereka berkumpul di depan monitor Reza. Di layar ada sebuah video demo dari Nusantara Digital Hub. Di video itu, mereka menunjukkan fitur "prediksi penjualan otomatis" yang sangat mengesankan.
"Lihat ini," kata Reza, mempercepat video. "Prediksinya terlalu sempurna. Akurasinya 99%. Itu tidak mungkin di dunia nyata dengan data yang berantakan seperti yang dimiliki UKM."
"Lalu?" tanya Hendra.
"Aku meng-cross-check prediksi mereka dengan data historis harga komoditas publik yang ada di internet. Ternyata, model prediksi mereka tidak memprediksi masa depan.. Mereka mencuri data dari beberapa sumber, lalu mempresentasikannya sebagai prediksi. Ini penipuan!"
"Tapi itu belum cukup. Itu bisa dibilang sebagai "kesalahan teknis".
Tepat saat itu, Bima yang sedang menyelidiki kode library, berseru. "Gila! Aku menemukannya! Aku menemukan bomnya!"
Bima menunjukkan layarnya. Di sana ada sebuah potongan kode dari sebuah library open-source yang sangat populer untuk visualisasi data. Library itu menggunakan lisensi GPL, yang mewajibkan siapa pun yang menggunakannya untuk membuat kode sumber turunannya juga terbuka untuk publik.
"Platform Nusantara Digital Hub menggunakan library ini secara internal, tapi mereka tidak pernah merilis kode modifikasi mereka ke publik," jelas Bima. "Mereka melanggar lisensi. Ini bukan hanya kesalahan, ini pelanggaran hak cipta. Jika ini terbuka, citra mereka sebagai perusahaan teknologi inovatif akan hancur. Mereka akan terlihat seperti pencuri."
Edward menatap kedua temannya itu. Senyum tipis, penuh kemenangan, muncul di wajahnya. "Ini senjatanya."
Dia mengambil alih keyboard. "Sarah, siapkan siaran pers. Bima, siapkan laporan teknis yang detail dan mudah dimengerti oleh media. Reza, siapkan infografis yang membandingkan klaim mereka dengan kenyataan. Kita akan rilis semuanya secara bersamaan dalam 24 jam."
Malam itu, saat seluruh tim sibuk mempersiapkan "serangan" mereka, Edward duduk sebentar di sofa. Dia merasa lelah, tapi juga puas. Dia mengambil ponselnya, tanpa sadar membuka chat dengan Aurora.
Layar itu masih kosong. Senyap.
Rasa frustrasi itu kembali muncul, tapi kali ini berbeda. Ini bukan lagi kekosongan yang membingungkan. Ini adalah... kesepian. Di tengah perang besar yang ia perjuangkan, ada satu bagian kecil dari dirinya yang berharap ada satu orang yang bisa dia ajak bicara, yang bisa mengerti tekanan ini tanpa harus dia jelaskan.
Edward mengetik sebuah pesan. `Kita akan menang.`
Dia menatap pesan itu lama.
Lalu menghapusnya. Dia tidak bisa mengganggunya. Aurora mungkin sedang marah, atau mungkin sudah tidak peduli.
Dia tidak punya waktu untuk drama remaja.
Edward menarik napas dalam-dalam, lalu kembali fokus pada pekerjaan. Perang harus dimenangkan dulu. Baru setelah itu, dia bisa berpikir tentang hal lain.