“Setiap mata menyimpan kisah…
tapi matanya menyimpan jeritan yang tak pernah terdengar.”
Yang Xia memiliki anugerah sekaligus kutukan, ia bisa melihat masa lalu seseorang hanya dengan menatap mata mereka.
Namun kemampuan itu tak pernah memberinya kebahagiaan, hanya luka, ketakutan, dan rahasia yang tak bisa ia bagi pada siapa pun.
Hingga suatu hari, ia bertemu Yu Liang, aktor terkenal yang dicintai jutaan penggemar.
Namun di balik senyum hangat dan sorot matanya yang menenangkan, Yang Xia melihat dunia kelam yang berdarah. Dunia penuh pengkhianatan, pelecehan, dan permainan kotor yang dijaga ketat oleh para elite.
Tapi semakin ia mencoba menyembuhkan masa lalu Yu Liang, semakin banyak rahasia gelap yang bangkit dan mengancam mereka berdua.
Karena ada hal-hal yang seharusnya tidak pernah terlihat, dan Yang Xia baru menyadari, mata bisa menyelamatkan, tapi juga membunuh.
Karena terkadang mata bukan hanya jendela jiwa... tapi penjara dari rahasia yang tak boleh diketahui siapapun.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Vanilla_Matcha23, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 34 - JANGAN BICARA, JANGAN BERGERAK. AKU DISINI
Lorong servis rumah sakit sunyi.
Hanya bunyi dengung mesin pendingin dan langkah sepatu pelan yang memantul di dinding. Dua pria berpakaian seperti staf kebersihan menarik seseorang dengan kepala tertunduk, wajahnya tertutup masker medis dan topi bedah.
Begitu sampai di area tanpa kamera, mereka menekan bahunya hingga bersimpuh di lantai.
“Siapa kalian?” salah satu pria berbisik rendah. Tak ada jawaban.
Feng Xuan tiba beberapa detik kemudian.
Langkahnya nyaris tak terdengar saat mendekat. Ia tidak perlu bertanya banyak. Tatapan matanya saja sudah cukup membuat udara di ruangan itu menegang.
Ia berjongkok perlahan di depan orang itu, menatap langsung ke balik masker
.
“Siapa yang mengirimmu?” Orang itu diam.
Namun getaran di tangan yang terikat memperlihatkan ketakutannya. Feng Xuan menghela napas pendek, lalu menoleh pada salah satu anak buahnya.
“Periksa tubuhnya.”
Pria itu menepati perintah dengan cepat dan terlatih. Dalam hitungan detik, ia menemukan sesuatu di balik lipatan pakaian pengintai itu, sebuah kartu hitam seukuran identitas, tanpa nama, hanya sebuah lambang kecil berwarna perak di sudutnya: lingkaran dengan dua garis melintang dan satu titik di tengah.
Feng Xuan menatapnya lama.
Simbol itu tak asing.
Ia sudah melihatnya sekali, lima tahun lalu, di berkas rahasia yang seharusnya tidak pernah ada.
Matanya menyipit. “Silent Protocol…” bisiknya pelan, hampir tak terdengar.
Salah satu anak buahnya menatap heran. “Tuan, itu organisasi yang—”
“—tidak pernah resmi ada,” potong Feng Xuan cepat.
“Simpan kartu itu. Pastikan semua data sidik jari dan rekaman wajahnya dihapus.”
Ia berdiri, kembali menatap pengintai yang kini mulai gemetar. “Kau tahu, jika kau masih bisa bernapas sekarang, itu karena aku tidak ingin membuat seseorang marah.”
Tak ada ancaman yang lebih dingin daripada kalimat yang diucapkan dengan nada tenang seperti itu.
“Buang dia ke luar perimeter. Jangan biarkan siapa pun tahu,” ucapnya akhirnya, sebelum melangkah pergi.
Begitu pintu logam tertutup, Feng Xuan mengeluarkan ponselnya lagi. Pesan baru terkirim hanya dalam dua kata,
“Mereka bergerak.”
Dan di layar lain, kamera keamanan menyorot Xia yang baru saja berhenti di depan lift, matanya menatap bayangan di refleksi logam pintu. Ia tahu.
Bibirnya bergerak pelan, hampir seperti gumaman.
“Terlambat… mereka sudah di sini.”
Lift berhenti di lantai sembilan.
Suara “ding” yang pelan seolah memecah keheningan panjang yang menggantung di lorong rumah sakit.
Xia berdiri mematung sejenak sebelum melangkah keluar. Tatapannya datar, tapi di balik mata tenangnya, ribuan kalkulasi mulai berputar.
Setiap suara langkah, setiap refleksi di kaca, setiap bayangan di ujung koridor semuanya kini menjadi potensi ancaman.
Tangannya bergerak cepat membuka ponsel tanpa benar-benar menatap layar. Ia mengakses kanal komunikasi terenkripsi, saluran yang bahkan tidak tercatat dalam sistem rumah sakit.
“Mode senyap. Tutup semua akses darurat di lantai tujuh dan sembilan. Aktifkan protokol Omega.”
Balasan muncul hanya beberapa detik kemudian.
“Dikonfirmasi. Tim bayangan dalam posisi.”
Xia menatap jam di pergelangan tangannya, waktu bukan lagi milik medis malam itu. Ia tahu, rumah sakit tempat Yu Liang dirawat telah menjadi medan operasi tanpa suara.
Di balik dinding putih steril dan bau antiseptik yang menenangkan, sesuatu yang jauh lebih gelap sedang bergerak.
Langkah kakinya berubah cepat dan mantap. Ia tidak lagi sekadar berjalan sebagai dokter yang baru selesai dari ruang pasien, ia kini berjalan sebagai komandan di tengah garis depan perang yang tak terlihat.
Sebuah suara lembut muncul di headset kecil di telinganya.
“Nona Xia, area timur bersih. Tapi ada sinyal tidak dikenal di jaringan internal rumah sakit. Sangat halus. Seolah mencoba memindai data pasien.”
Xia berhenti di depan ruang server, menatap pintu kaca dengan logo rumah sakit di depannya. “Jangan hentikan sinyal itu,” ujarnya pelan. “Biar mereka berpikir kita tidak sadar.”
“Tujuan?”
“Aku ingin tahu ke mana mereka akan menarik data itu. Setelah kita tahu titik tujuannya, kita potong dari sumber.”
Suara di seberang terdiam beberapa detik.
“Perintah diterima. Mode pasif aktif.”
Xia menarik napas perlahan, lalu membuka ID elektronik miliknya. Tampilan layar menyorot wajahnya, memindai retina, dan pintu terbuka dengan suara klik lembut.
Cahaya biru redup dari ratusan server menyambutnya. Udara di dalam terasa dingin, nyaris menggigit.
“Jika mereka ingin Yu Liang,” katanya lirih sambil menatap barisan mesin pendingin, “maka mereka harus melewati aku dulu.”
Di ujung ruangan, salah satu monitor berkedip, sebuah sinyal baru muncul.
Koordinat.
Asal sinyal yang memindai data Yu Liang berasal dari lokasi tak terduga: ruang administrasi utama, tepat satu lantai di bawah ruang rawatnya.
Mata Xia menajam.
“Feng Xuan, fokuskan tim di bawah ruang isolasi. Jangan gunakan jalur utama.”
“Perintah diterima. Tapi, Nona… sepertinya mereka sudah tahu kau bergerak.” Xia tidak menjawab.
Ia hanya menatap layar monitor yang kini menampilkan simbol lingkaran berwarna perak, simbol yang sama dengan kartu hitam yang ditemukan Feng Xuan.
Sebuah senyum samar muncul di sudut bibirnya, dingin namun tegas. “Baiklah… mereka ingin permainan ini dimulai, kita mulai dari sini.”
...
Ruang rawat itu tampak tenang, bahkan terlalu tenang.
Lampu putih di langit-langit memantulkan cahaya lembut ke wajah Yu Liang yang masih pucat. Suara mesin pemantau detak jantung berdetak perlahan, ritmis. Seolah menjadi satu-satunya tanda kehidupan di ruangan itu.
Namun Yu Liang tak bisa tidur.
Matanya terbuka, menatap ke arah langit-langit, dan setiap detik terasa lebih panjang dari sebelumnya. Ada sesuatu yang aneh. Sesuatu yang tidak bisa dijelaskan, tapi tubuhnya tahu.
Napasnya tertahan sejenak ketika ia mendengar bunyi klik halus dari arah pintu. Pintu itu tidak terbuka, tapi bunyi itu cukup untuk membuatnya menegang.
Ia berusaha menenangkan diri, meyakinkan bahwa mungkin itu hanya perawat yang lewat, atau sistem pendingin yang berbunyi.
Namun firasatnya berkata lain.
Perlahan, ia menoleh ke arah jendela. Tirai masih tertutup, tapi bayangan samar di baliknya bergeser sedikit. Sekilas, seperti siluet seseorang berdiri di luar, lalu menghilang lagi.
Monitor di samping tempat tidurnya tiba-tiba berkedip. Garis hijau di layar bergerak tak beraturan selama sepersekian detik, sebelum kembali normal.
Yu Liang menahan napas.
Tenggorokannya terasa kering. Ia tahu gejala apa yang normal dan apa yang tidak. Tapi ini… bukan gangguan teknis biasa.
Perlahan ia berusaha bangun, namun rasa nyeri di dadanya membuatnya terhenti. Kabel infus bergetar pelan saat ia berusaha mencapai tombol panggil perawat.
Klik.
Suara itu terdengar lagi, kali ini dari arah ventilasi di atas pintu. Ia menatap ke sana, pupilnya mengecil.
Ada suara hembusan kecil, seperti udara mengalir, tapi bersamaan dengan itu, muncul aroma logam yang aneh, samar, menusuk.
Yu Liang memejamkan mata, mencoba berpikir jernih.
Jangan panik.
Jangan panik.
Namun di detik berikutnya, suara mesin detak jantung berbunyi lebih cepat, bukan karena tubuhnya melemah, melainkan karena sesuatu atau seseorang mengakses sistemnya.
Ia tahu itu.
Dan hanya satu orang yang bisa menandingi hal semacam ini. “Xia…” bisiknya pelan, hampir tak bersuara.
Seketika, monitor di samping tempat tidurnya berhenti berdetak selama satu detik penuh. Lalu hidup lagi, menampilkan pesan teks yang tak seharusnya muncul di layar medis:
“Jangan bicara. Jangan bergerak. Aku di sini.”
Yu Liang membeku.
Matanya menatap layar dengan ngeri dan kelegaan yang aneh bercampur jadi satu.
Dia tidak tahu. Apa yang sedang ia lihat dan baca itu benar? Atau hanya halusinasi nya saja.
Yu Liang bergumam, “Apakah ini Xia? Xia tahu sesuatu sedang terjadi?”
Napasnya pelan, namun matanya berkaca.
Mungkin untuk pertama kalinya setelah sekian lama, ia merasa tidak sepenuhnya sendirian. Tapi ketakutan itu tetap nyata, karena jika Xia sampai mengirim pesan seperti ini, artinya bahaya yang datang tidak sekadar ancaman…