Ia dulu adalah Hunter Rank-S terkuat Korea, pemimpin guild legendaris yang menaklukkan raid paling berbahaya, Ter Chaos. Mereka berhasil membantai seluruh Demon Lord, tapi gate keluar tak pernah muncul—ditutup oleh pengkhianatan dari luar.
Terkurung di neraka asing ribuan tahun, satu per satu rekannya gugur. Kini, hanya dia yang kembali… membawa kekuatan yang lahir dari kegelapan dan cahaya.
Dunia mengira ia sudah mati. Namun kembalinya Sang Hunter hanya berarti satu hal: bangkitnya kekuatan absolut.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Radapedaxa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 34
Udara siang terasa hangat di sekitar rumah sakit. Sinar matahari menembus tirai jendela kamar Ethan yang masih sibuk menata beberapa dokumen di meja kecilnya. Di ruangan itu juga ada Daniel dan Chris, keduanya tengah berdiskusi serius mengenai rancangan pembangunan rumah sakit baru — proyek besar yang mereka rancang bersama Mark.
Namun suara kecil yang ceria tiba-tiba memecah keseriusan mereka.
“Kak Ethan!”
Lily muncul dari balik pintu dengan dua es krim di tangan. Pipinya memerah karena udara panas di luar.
Ethan menoleh dan tersenyum lembut. “Hei, bocah manis. Kau datang sendirian?”
Lily mengangguk sambil duduk di kursi dekat tempat tidur. “Iya, paman Jinwoo katanya ada pekerjaan, jadi Lily disuruh makan es krim sendiri.”
Daniel mengangkat alis. “Pekerjaan? Hm… aneh, aku tidak ingat beliau bilang akan pergi ke mana.”
Chris yang masih menulis di papan digital berkata santai, “Kalau dia yang bilang ‘pekerjaan’, bisa jadi artinya ‘masalah besar’.”
Ethan tersenyum pahit. “Ya, sepertinya begitu.”
Ia kemudian menatap Lily yang tampak senang menikmati es krimnya. Hatinya berdesir aneh. Sudah lama ia tak melihat anak kecil setenang dan seceria itu di tengah dunia yang kacau oleh para monster dan konflik antar-Hunter.
Namun di sisi lain kota—
Jinwoo sedang berdiri di pinggir jalan, menunggu taksi.
Holy Staff yang tergantung di punggungnya tampak sedikit kusam, tapi di mata siapa pun yang peka terhadap energi sihir, benda itu memancarkan kekuatan suci yang menekan dan menggetarkan jiwa.
Sebuah taksi berhenti. Supirnya membuka jendela.
“Ke mana, pak?”
“Ke Asosiasi Hunter pusat,” jawab Jinwoo tenang sambil masuk ke kursi belakang.
Mendengar tujuan itu, mata sang supir membesar. “Oh! Banyak Hunter ke sana pagi ini untuk tes kenaikan rank! Apakah Anda juga mau ikut tes, pak?”
Jinwoo menatap cermin depan, menatap bayangan matanya sendiri. “Mungkin,” jawabnya singkat.
Perjalanan berlangsung cepat. Supir itu, meski tak mengerti siapa penumpangnya, bisa merasakan hawa berat yang seolah menekan ruang di dalam mobil. Saat mereka tiba, Jinwoo memberikan uang lebih dari tarif.
“Terima kasih banyak, pak. Semoga beruntung!” ujar supir itu sebelum melaju pergi.
Jinwoo berdiri di depan gedung Asosiasi Hunter — bangunan megah dengan kaca reflektif berkilauan, memantulkan cahaya matahari dan bayangan langit biru. Namun bukan gedung itu yang membuat langkahnya terhenti.
Lima patung raksasa berdiri berjajar di taman depan.
Masing-masing menggambarkan sosok yang berbeda:
Seorang pria memegang pedang besar yang retak di ujungnya.
Seorang wanita berambut panjang dengan tongkat bercahaya.
Seorang pria berzirah penuh memegang bendera yang sobek.
Seorang samurai dengan katana setengah patah.
Dan sosok terakhir — pria dengan jubah magis, tangan terulur seolah menantang langit.
Lima pahlawan dari Chaos Era.
Selene, Ezekiel, Takeshi, Leonhard, dan Arkwright.
Jinwoo melangkah perlahan. Pandangannya berhenti pada patung kedua — wanita yang membawa tongkat bercahaya. Holy Staff.
Wajah lembut dengan senyum samar terpahat di batu, seolah masih hidup. Tatapan matanya menenangkan, penuh kasih. Tapi bagi Jinwoo, patung itu menimbulkan sesuatu yang jauh lebih dalam — nostalgia, rasa bersalah, dan kehilangan.
Sebuah suara memecah keheningan.
“Apakah kau juga fans lima pahlawan?”
Jinwoo menoleh perlahan.
Seseorang berjalan mendekat — tinggi, berwibawa, dengan topeng naga berwarna perak menutupi wajahnya. Suaranya familiar.
“Drake,” gumam Jinwoo datar. “Kau merubah penampilanmu.”
Drake terkekeh kecil. “Terpaksa. Topeng lamaku retak karena aura mu semalam. Padahal terbuat dari mithril. Topeng itu tak pernah rusak sebelumnya.”
Jinwoo menatapnya tanpa ekspresi. “Berarti kualitas topengmu buruk.”
Drake terdiam beberapa detik, lalu menghembuskan napas berat. “Kau sulit ditebak, Jinwoo. Antara jenius atau gila.”
Jinwoo menatap kembali ke arah patung Selene. “Patung-patung ini... kalian yang membuatnya?”
Drake menggeleng. “Bukan hanya kami. Patung mereka ada di setiap taman asosiasi Hunter di dunia. Untuk mengenang perjuangan lima pahlawan yang menutup Chaos Gate beberapa tahun lalu.”
Jinwoo tak menjawab. Matanya menelusuri detail pada tongkat yang digenggam patung itu. Bentuknya nyaris identik dengan benda yang kini tergantung di punggungnya — hanya saja miliknya terlihat lebih tua, dan ada goresan samar di ujung gagang, bekas pertempuran yang tak pernah dicatat dalam sejarah.
Drake berjalan mendekat, berdiri di sampingnya. “Kau tampak tertarik dengan Divine Priest, Selene. Dia memang memikat. Cantik, lembut, tapi di balik itu… kekuatannya menyaingi Hunter kelas Mythic.”
Ia menatap Holy Staff di punggung Jinwoo dengan tatapan tajam.
“Dan tongkat di punggungmu itu... sangat mirip milik Selene.”
Jinwoo menoleh perlahan. “Mirip saja. Statusnya beda jauh.”
Drake mengangkat tangan dengan senyum tipis. “Tentu, tentu. Tapi aku hanya penasaran. Di mana kau menemukannya?”
“Bukan urusanmu,” jawab Jinwoo pendek.
Keheningan kembali turun. Angin berhembus, menggoyang dedaunan dan membuat bayangan lima pahlawan bergoyang di bawah cahaya matahari.
Drake menatap langit sejenak, lalu kembali memandang Jinwoo. “Aku tak menyangka kau benar-benar datang. Presiden asosiasi sudah menunggumu, bersama beberapa Hunter rank S lainnya. Mereka… ingin bicara baik-baik.”
Jinwoo memalingkan pandangan dari patung Selene, menatap lurus ke arah pintu masuk gedung. “Aku hanya ingin melihat-lihat. Kebetulan bosan.”
“Baiklah,” kata Drake sambil memberi isyarat. “Mari masuk.”
Mereka melangkah berdampingan, tapi sebelum masuk, Jinwoo menatap sekali lagi wajah Selene. Tatapan matanya lembut, nyaris penuh kerinduan.
Sudah lama sekali, Selene, batinnya. Dunia masih mengingatmu sebagai pahlawan... tapi mereka lupa harga yang harus kau bayar.
Drake menoleh sedikit, memperhatikan sorot mata Jinwoo yang sayu, namun tak berani bertanya. Ia tahu aura yang memancar dari pria ini bukanlah sesuatu yang bisa ditelusuri dengan mudah — terlalu dalam, terlalu kelam.
Saat mereka melewati pintu otomatis, hawa dingin dari sistem pendingin ruangan menyambut. Di dalam, para staf asosiasi langsung berhenti bekerja, menundukkan kepala pada Drake — dan menatap Jinwoo dengan campuran kagum dan waspada.
“Presiden sudah menunggu di ruang rapat utama,” kata seorang asisten.
Drake mengangguk dan melangkah bersama Jinwoo.
Sepanjang koridor, suasana terasa tegang. Jinwoo berjalan tanpa suara, langkahnya ringan namun setiap gerakannya menimbulkan tekanan mental di sekitar — seolah udara menjadi lebih berat setiap kali ia melewati seseorang.
Sesampainya di depan pintu besar dengan logo Asosiasi Hunter Internasional, Drake berhenti dan menatapnya.
“Sekali lagi aku katakan, kami tidak punya niat buruk. Presiden hanya ingin berbicara. Setelah itu, kau bebas pergi.”
Jinwoo menatap pintu itu sejenak, lalu menatap Drake. “Baiklah. Tapi jika mereka mencoba hal bodoh—”
Drake memotong cepat. “Aku tahu. Aku tidak ingin kehilangan lebih banyak orang hari ini.”
Jinwoo hanya tersenyum tipis, lalu mendorong pintu itu.
Sementara itu, di ruang rapat utama Asosiasi Hunter pusat—
Lima Hunter rank S duduk melingkar, dan di ujung meja duduk seorang pria tua berjas hitam — Presiden Asosiasi Hunter Dunia, Edward Vance.
Suasana menjadi hening begitu pintu terbuka dan Drake masuk bersama Jinwoo.
Semua mata menatap Jinwoo, menilai, mencoba membaca keberadaannya. Tapi tak satu pun berhasil. Aura pria itu seolah bukan berasal dari dunia ini.
“Selamat datang, Tuan Jinwoo,” kata Edward dengan suara berat. “Kami berterima kasih telah memenuhi undangan kami.”
Jinwoo hanya mengangguk kecil. “Langsung saja. Aku tidak suka buang waktu.”
Dorian berdiri, tubuhnya kekar dengan lencana berbentuk singa di dada. “Kau membunuh Leonard dan Kevin. Hunter rank A, dan anggota resmi kami. Kami berhak tahu alasannya.”
Jinwoo memandangnya datar. “Mereka menyerangku lebih dulu. Aku hanya mengembalikan apa yang mereka beri.”
Dorian mengepalkan tinju. “Itu alasan klasik pembunuh—”
Namun kalimatnya terhenti karena tekanan tak terlihat tiba-tiba menghantam seluruh ruangan.
Kursi bergetar. Kaca jendela berderak. Beberapa Hunter rank S langsung berdiri dengan insting bertarung aktif.
Aura Jinwoo meluap perlahan — bukan hanya kekuatan fisik, tapi kekuatan eksistensi. Seolah-olah ruang itu hanya ada karena ia mengizinkannya.
Drake langsung berdiri di antara mereka. “Cukup! Dia bukan musuh!”
Edward Vance menepuk meja pelan. “Tenang. Duduklah semuanya.”
Setelah suasana agak reda, Edward memandang Jinwoo tajam. “Kami tidak ingin memusuhimu. Tapi kami harus tahu… siapa kau sebenarnya.”
Jinwoo menatapnya lama, lalu perlahan tersenyum.
“Aku hanya seseorang yang gagal melindungi masa lalunya.”
Hening.
Kalimat itu menggantung di udara, penuh makna yang tak dimengerti siapa pun.