Di Kekaisaran Siu, Pangeran Siu Wang Ji berpura-pura bodoh demi membongkar kejahatan selir ayahnya.
Di Kekaisaran Bai, Putri Bai Xue Yi yang lemah berubah jadi sosok barbar setelah arwah agen modern masuk ke tubuhnya.
Takdir mempertemukan keduanya—pangeran licik yang pura-pura polos dan putri “baru” yang cerdas serta berani.
Dari pertemuan kocak lahirlah persahabatan, cinta, dan keberanian untuk melawan intrik istana.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon inda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 12
Balairung utama masih riuh oleh tawa, denting kecapi, dan langkah tari para penari istana. Lentera merah berayun lembut, memantulkan cahaya ke wajah-wajah bangsawan yang bercengkerama. Cawan-cawan anggur terus terisi, sementara pelayan istana berlalu-lalang membawa hidangan baru: daging panggang berbalut madu, sup sirip hiu dengan rempah ginseng, dan kue-kue manis berbentuk bunga lotus.
Namun di tengah kemeriahan itu, ada satu sudut yang tidak seramai yang lain. Sebuah meja bundar berhias vas bunga krisan kuning, tempat duduk Siu Wang Ji bersama dua pengawalnya Luo dan Jian.
Wang Ji menunduk, pura-pura sibuk dengan kue wijen di tangannya. Wajahnya tetap polos, matanya dibuat setengah kosong, seakan ia tidak tertarik pada pesta yang hingar bingar. Luo sesekali menghela napas, sementara Jian memperhatikan sekitar dengan waspada.
“Tuanku,” bisik Luo pelan, “jangan menatap ke arah putri terus-menerus. Tadi sudah cukup banyak orang melihat.”
“Aku tidak menatap,” jawab Wang Ji cepat, sambil tergagap seperti anak kecil yang ketahuan mencuri. Ia menyuapkan kue ke mulutnya dengan kikuk. “Aku hanya… suka kue ini.”
Jian mengangkat alis. “Kalau begitu, mengapa dari sepuluh kue, sembilan masih utuh?”
Wang Ji tidak menjawab. Ia hanya terkekeh bodoh, membuat kedua pengawalnya saling melirik. Mereka sudah terbiasa dengan “topeng” tuan muda mereka, namun malam ini, tatapannya pada seorang gadis membuat mereka sedikit khawatir.
Dan benar saja sosok yang sejak tadi memenuhi pikirannya kini mulai bergerak. Bai Xue Yi, putri yang baru saja menarikan Tarian Phoenix Rembulan, berdiri dari kursinya di sisi Permaisuri Bai. Ia melangkah perlahan, selendangnya berayun mengikuti setiap langkah, menyusuri kerumunan bangsawan yang tengah asyik bercakap.
Beberapa pejabat wanita menunduk hormat ketika ia lewat, beberapa bangsawan muda bahkan menatapnya penuh kagum. Namun Xue Yi tidak berhenti pada mereka. Tatapannya lurus, seakan hanya ada satu tujuan.
Wang Ji yang tengah berpura-pura sibuk dengan kue tiba-tiba membeku. Jantungnya berdetak kencang. "Tidak mungkin… Dia ke sini?"
Luo dan Jian pun menyadari arah langkah sang putri. Mereka segera berdiri, memberi hormat dengan sigap.
“Yang Mulia Putri Bai,” sapa Jian dengan hormat.
Xue Yi tersenyum tipis. “Kalian tidak perlu terlalu kaku. Aku hanya ingin berbincang sebentar.”
Wang Ji, yang biasanya lihai berpura-pura bodoh, kali ini justru benar-benar kebingungan. Ia hampir menjatuhkan kuenya ketika Xue Yi duduk di kursi tepat di depannya.
“A… a… Anda…” Wang Ji terbatuk kecil. “Putri Bai… duduk di sini?”
Xue Yi menatapnya dengan sorot mata penuh rasa ingin tahu. Senyum samar muncul di bibirnya. “Mengapa tidak? Bukankah pesta ini untuk semua tamu? Atau… aku tidak diperbolehkan duduk di sini, Pangeran Siu?”
Ucapan itu membuat Wang Ji semakin kikuk. Ia buru-buru mengibaskan tangan. “B-bukan begitu! Silakan, silakan! Duduklah… aku… aku hanya tidak menyangka.”
Luo hampir menahan tawa, sementara Jian berdehem keras untuk menutupi ekspresi tuannya.
Xue Yi meluruskan duduknya. Tangannya meraih cawan anggur, namun ia hanya memutarnya pelan, tidak meminumnya. “Bagaimana keadaan pangeran?”
Wang Ji meneguk ludah. “Te- tentu baik, Putri. Memangnya ada apa?”
Tatapan Xue Yi menusuk, namun suaranya lembut. “Pagi tadi, di pasar. itu anda pangeran”
Keheningan singkat menyelimuti meja itu. Luo dan Jian langsung menegang.
Wang Ji memandang cawan di depannya, lalu tertawa kaku. “Pa-pasar? Pasar mana, ya? Aku tidak… eh… aku tidak mengerti.”
Xue Yi mengangkat alis. “Benarkah? Jadi ada banyak orang yang wajahnya sama persis dengan Pangeran Siu?”
Nada suaranya tenang, namun Wang Ji tahu ia tidak bisa berkelit. Ia menunduk, lalu tersenyum kecil. “Jadi Putri benar-benar mengenaliku.”
“Bagaimana bisa seorang pangeran ada di pasar, menyamar seperti rakyat jelata?” Xue Yi mencondongkan tubuh sedikit. “Dan lebih mengejutkan lagi… aku tidak menyangka kau adalah Putra Mahkota Siu.”
Wang Ji menggaruk kepala, berpura-pura bodoh. “Ah, itu… aku hanya… tersesat. Ya, tersesat. Aku suka berjalan-jalan, dan entah bagaimana aku sampai ke pasar. Untung ada Putri… kalau tidak, aku mungkin sudah dipukuli preman.”
Xue Yi menatapnya beberapa detik, lalu tiba-tiba tersenyum. Senyum yang hangat, tidak seperti tatapannya yang biasanya tajam. “Kau buruk sekali dalam berbohong, Pangeran.”
Wang Ji tertegun. Tidak banyak orang yang berani berkata begitu padanya. Namun bukannya marah, ia justru merasa dadanya hangat. “Hehe… iya, aku memang tidak pandai berbohong.”
Mereka terdiam sejenak. Namun bukan keheningan yang canggung, melainkan tenang, seolah ada jembatan tak kasat mata yang terbentuk.
Sementara itu, di singgasana, Kaisar Siu dan Permaisuri Siu memperhatikan dari kejauhan. Mereka melihat putri Bai duduk bersama putra mereka, bahkan berbicara dengan tenang.
Permaisuri Siu berbisik lirih, suaranya bergetar. “Ji’er… anak itu selalu dipandang rendah. Semua orang menyebutnya tolol, tidak berguna. Tapi lihatlah… seorang putri dari kerajaan lain bahkan mau berbincang dengannya tanpa ragu.”
Kaisar Siu menghela napas, sorot matanya melembut. “Ya… mungkin dunia tidak pernah tahu siapa dia sebenarnya. Tapi malam ini… hatiku lega melihatnya tidak sendiri.”
Di sisi lain, Kaisar Bai dan Permaisuri Bai juga memperhatikan. Keduanya sempat terdiam, saling bertukar pandang.
Permaisuri Bai berbisik pelan. “Xue Yi… sejak kecil ia selalu penakut. Ia tidak pernah berani bicara dengan orang asing, apalagi pria. Lihatlah sekarang, ia bahkan berani duduk dan berbicara tenang dengan putra kerajaan lain.”
Kaisar Bai mengangguk pelan, ekspresinya heran namun lega. “Anak itu… sepertinya telah tumbuh lebih dari yang kita kira.”
Putra Mahkota Bai, Bai Zhen, yang duduk di samping, juga memperhatikan dengan dahi berkerut. “Adik itu… sejak kapan ia punya keberanian sebesar ini?”
----
Di meja kecil itu, percakapan terus berlanjut. Xue Yi akhirnya tertawa kecil ketika Wang Ji mencoba menjelaskan pengalamannya di pasar dengan kata-kata kikuk.
“Aku benar-benar tidak menyangka,” kata Xue Yi sambil tersenyum. “Pangeran yang dikabarkan bodoh ternyata bisa berbicara begini. Kalau aku tidak tahu, aku pasti percaya dengan gosip itu.”
Wang Ji ikut tertawa, meski wajahnya sedikit memerah. “Yah… kadang gosip lebih kuat dari kenyataan. Tapi… senang rasanya ada yang tidak langsung menganggapku seperti apa kata orang.”
Xue Yi menatapnya lama. “Aku pernah hampir kehilangan nyawa karena pengkhianatan. Itu mengajariku satu hal jangan pernah percaya sepenuhnya pada apa yang orang lain katakan. Lebih baik aku melihat dan menilai sendiri.”
Ucapan itu membuat Wang Ji terdiam. Hatinya bergetar, seakan setiap kata gadis itu mengetuk sisi dirinya yang paling tersembunyi.
Mereka terus berbincang. Tentang pasar, tentang tarian, bahkan tentang makanan sederhana yang disukai rakyat jelata. Luo dan Jian sampai kebingungan melihat tuannya tertawa begitu lepas, sesuatu yang jarang sekali terjadi.
Dan tanpa sadar, waktu terus berlalu. Musik berganti, para penari kembali menari, namun di meja itu, dua hati mulai menemukan kenyamanan.
Reputasi Wang Ji sebagai “pangeran bodoh” memang belum berubah di mata banyak orang. Namun malam itu, ada yang berbeda. Bai Xue Yi, putri yang baru sembuh dari pengkhianatan, justru melihat sisi lain yang tak dilihat orang lain.
Kaisar Siu dan permaisuri terharu, Kaisar Bai dan permaisuri serta putra mahkota terheran-heran.
Dan di tengah pesta yang meriah, dua jiwa itu, tanpa disadari, mulai saling membuka hati.
Bersambung…