Karena sering dibuli teman kampus hanya karena kutu buku dan berkaca mata tebal, Shindy memilih menyendiri dan menjalin cinta Online dengan seorang pria yang bernama Ivan di Facebook.
Karena sudah saling cinta, Ivan mengajak Shindy menikah. Tentu saja Shindy menerima lamaran Ivan. Namun, tidak Shindy sangka bahwa Ivan adalah Arkana Ivander teman satu kelas yang paling sering membuli. Pria tampan teman Shindy itu putra pengusaha kaya raya yang ditakuti di kampus swasta ternama itu.
"Jadi pria itu kamu?!"
"Iya, karena orang tua saya sudah terlanjur setuju, kamu harus tetap menjadi istri saya!"
Padahal tanpa Shindy tahu, dosen yang merangkap sebagai Ceo di salah satu perusahaan terkenal yang bernama Arya Wiguna pun mencintainya.
"Apakah Shindy akan membatalkan pernikahannya dengan Ivan? Atau memilih Arya sang dosen? Kita ikuti kisahnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Buna Seta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 24
Selama 10 menit Arkan latihan jalan, begitu merasa lelah, Shindy membantunya duduk di kursi taman rumah sakit. Shindy memotong kuku Arkan yang sudah panjang, dan menyisir rambut Arkan hingga klimis. Sungguh sangat romantis.
Sindi tidak tahu jika seorang pria menatapnya iri dari jarak jauh. Sekian lama ia menanti saat seperti itu tiba. Tetapi mengapa justru Arkan mahasiswa yang selalu kena hukuman itu yang akhirnya memiliki Shindy.
"Shindy, kenapa kamu membuat hati aku patah" gumam Wiguna. Ia mencintai Shindy sejak semester awal, saat itu Shindy masih 18 tahun. Alasan Wiguna tidak mengutarakan perasaannya lebih cepat, karena Shindy masih terlalu muda. Selama tiga tahun Wiguna menyusun rencana ingin menjadikan Shindy sebagai belahan jiwa bukan waktu yang singkat. Ketika Shindy wisuda nanti ia akan mengutarakan perasaannya. Namun, harapan tinggal harapan, gadis kecil yang ia tunggu hingga besar sudah dipetik oleh orang lain.
Ya. Siapa yang salah? Tentu tidak ada yang salah, Wiguna sendiri yang merasa bersalah karena menahan perasaan begitu lama.
Saat Shindy hendak menjadi sekretaris di kantornya, Wiguna bahagia sekali. Harapan untuk memiliki Shindy saat usia 25 tahun nanti sudah dalam bayangan. Mempunyai istri seperti Shindy adalah cita-cita, tetapi jika hanya cita-cita saja tidak mau berusaha ternyata hanya mimpi.
Wiguna selama ini selalu memarahi anak-anak ketika ada yang mengolok-olok Shindy hatinya tidak terima, karena anak-anak kampus menilai Shindy hanya dari fisiknya saja. Sementara Wiguna bisa menilai bahwa ada mutiara bersembunyi di balik kepolosan wanita berkaca mata tebal itu.
Wiguna beranjak dari duduknya, ketika Arkan membetulkan jilbab Shindy. Dia tidak kuat melihat keromantisan anak kuliahan itu, kemudian melangkah gontai meninggalkan taman. "Ya Tuhan... kenapa bukan aku yang berada di posisi Arkan" gumam Wiguna penuh sesal.
Seumur hidup baru kali ini Wiguna merasakan kecewa yang begitu dalam. Seandainya ia mau, banyak wanita yang mengejarnya. Bukan hanya mahasiswi saja, tapi juga karyawan kantor, tapi tidak ada yang mampu membuat hatinya bergetar selain Shindy.
"Sudah menjenguk Arkan, Gun?" Tanya Alexander kepada rekan bisnisnya itu ketika berpapasan di lorong-lorong rumah sakit. Alexander kaget melihat Wiguna sudah kembali, padahal baru beberapa menit menemuinya hendak menjenguk Arkan.
"Sudah Om, tapi di kamar tidak ada Arkan" Wiguna pura-pura tidak tahu jika sudah melihat Arkan di taman, karena tidak mau dilihat Alexander bahwa sedang kecewa.
"Oh, tadi istrinya pamit ke taman" Alexander menyuruh Wiguna ke taman.
"Besok saja saya kembali Om" Wiguna pamit pulang, ia hendak menenangkan hati terlebih dahulu karena hari ini belum siap bertemu Shindy.
Pria tampan itu masuk ke dalam lift dengan membawa setumpuk kekecewaan. Hanya dalam hitungan detik ia sudah tiba di lantai dasar.
"Lihat, pria yang lewat itu, ya ampun... Tampan sekali" lirih wanita muda kepada teman sebelahnya yang bertugas menerima pendaftaran.
"Kamu benar" Jawab temannya.
Wiguna bukan tidak mendengar jika sedang dibicarakan, tapi dosen itu menoleh pun tidak. Ia terus berjalan hingga tiba di halaman rumah sakit.
"Selamat pagi Pak, Gun..." ucap Marsel yang baru turun dari motor berpapasan dengan Wiguna lalu menjabat tangan. Selama Arkan di rumah, Marsel hampir setiap hari menjenguk.
"Pagi" Jawab Gun sambil berlalu.
"Pak Gun menjenguk Arkan juga ya?" Marsel mendekati Wiguna yang hendak menyangkutkan helm di kepala.
"Tidak," Lagi-lagi Jawaban pak Gun terdengar malas di telinga Marsel. Marsel tidak lagi berkata-kata, ia tahu jika sang dosen sedang tidak mau diajak bicara.
Marsel hanya memandangi pak Gun yang sedang starter motor, kemudian melesat pergi. "Kenapa tuh Pak Gun? Kok aneh" gerutu Marsel lalu melanjutkan perjalanan naik ke lantai tiga.
Marsel mengetuk pintu lalu masuk ke ruang rawat, tampak Arkan sedang tidur setengah duduk meninggikan bantal. Shindy duduk di kursi sebelahnya mengupas jeruk memberikan dan menyuapi Arkan.
"Ciee cieee..." Marsel menatap keduanya cengengesan. Ia tidak menyangka jika Kucing dengan Anjing itu bisa suap-suapan seperti itu.
"Apa sih Sel? Cengar Cengir" seloroh Shindy. Ia menatap Marsel yang berdiri di samping tempat tidur, lalu memberikan kursinya. "Duduk Sel" lanjutnya, kemudian membuang kulit jeruk.
"Terima kasih" Marsel meletakkan bokongnya di kursi lalu bertanya tentang kondisi sahabatnya yang hanya diam saja.
"Sudah mendingan" jujur Arkan.
"Ar, sekarang jawab dengan jujur, apa benar loe meniduri cewek sampai hamil?" Tanya Marsel ketika Shindy langsung ke toilet. Marsel ingin menanyakan ini sejak kemarin tapi tidak mau didengar Shindy.
"Enak saja, loe nggak kenal gua!" Ketus Arkan.
"Tapi kenapa cewek itu nekat Ar?" Marsel tahu Arkan, senakal-nakalnya sahabatnya memang tidak pernah melenceng, tapi yang namanya pria kadang tidak kuat dengan godaan.
"Nggak tahu Sel, sudah dua kali Clara datang ke kantor gue" Arkan menceritakan ketika sedang bekerja, Clara tiba-tiba telepon mengajak makan malam di luar. Karena banyak pekerjaan dan tidak mau mengecewakan papa, Arkan menolak. Tidak lama kemudian Clara masuk ruangan merayu-rayu Arkan. Tentu saja Arkan menolak ketika Clara meraba tubuhnya. Malam itu, Clara menyerah meninggalkan Arkan, tapi masih saja sering telepon dimanapun Arkan berada tidak terkecuali di campus. Suatu ketika Arkan sedang bekerja sendirian, lagi-lagi Clara datang dan berbuat mesum. Entah Setan apa yang menggoda Arkan malam itu, hingga membalas ciuman Clara, tetapi tidak lebih dari sekedar ciuman. Bagusnya malam itu Shindy datang di waktu tepat dan menggagalkan aksi Clara.
"Hahaha... ganas juga cewek itu" Marsel tertawa lebar.
"Sel, pelankan suara kamu, ini rumah sakit tahu!" Shindy yang sudah selesai dari toilet ngomel-ngomel lirih. Entah apa yang Marsel bicarakan hingga tertawa seperti itu Shindy tidak mendengar.
"Gue cabut Ar, bini loe galak banget" seloroh Marsel, tapi sungguh-sungguh ingin pulang.
"Terima kasih Sel, lagian kamu sih, di rumah sakit kok seperti di hutan saja" Shindy menyesal tidak seharusnya ngomel-ngomel.
Arkan hanya tersenyum saja mendengar perdebatan istri dan sahabatnya. Ia memandangi Marsel yang hendak keluar ruangan, tetapi balik lagi.
"Ada yang tertinggal ya, Sel?" Shindy mengedarkan pandanganya di sekitar kursi bekas Marsel duduk.
"Nggak Syi, gue mau tanya, Pak Gun tadi menjenguk Arkan nggak?" Marsel sampai lupa menanyakan ini.
"Nggak kok, kecuali waktu pertama kali beliu mengantar Arkan ke rumah sakit bersama saya" papar Shindy.
"Pak Gun mengantar aku ke rumah sakit? Dari mana beliu tahu kalau aku kecelakaan, Shy? Memang kamu pergi kemana sebelum aku kecelakaan" Cecar Arkan menatap Shindy curiga.
...~Bersambung~...
laah dia nekaad, kenapa nda di kasih KOid ajaa siiih