Wei Lin Hua, seorang assassin mematikan di dunia modern, mendapati dirinya terlempar ke masa lalu, tepatnya ke Dinasti Zhou yang penuh intrik dan peperangan. Ironisnya, ia bereinkarnasi sebagai seorang bayi perempuan yang baru lahir, terbaring lemah di tengah keluarga miskin yang tinggal di desa terpencil. Kehidupan barunya jauh dari kemewahan dan teknologi canggih yang dulu ia nikmati. Keluarga barunya berjuang keras untuk bertahan hidup di tengah kemiskinan yang mencekik, diperparah dengan keserakahan pemimpin wilayah yang tak peduli pada penderitaan rakyatnya. Keterbelakangan ekonomi dan kurangnya sumber daya membuat setiap hari menjadi perjuangan untuk sekadar mengisi perut. Lahir di keluarga yang kekurangan gizi dan tumbuh dalam lingkungan yang keras, Wei Lin Hua yang baru (meski ingatannya masih utuh) justru menemukan kehangatan dan kasih sayang yang tulus.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fitri Novianti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 16
"Tumben sekali Pangeran berkenan mengenakan pakaian resmi di acara seperti ini," gumam Zheng Bai dengan nada sedikit terkejut, matanya mengamati jubah brokat putih yang disulam benang merah yang dikenakan Pangeran Han Yuan. Biasanya, Pangeran lebih suka busana yang lebih santai, bahkan di acara-acara penting sekalipun.
Pangeran Han Yuan hanya tersenyum tipis, senyum yang menyimpan rahasia dan sedikit geli. Pria itu kemudian melangkah keluar dari gerbang Istana Pangeran yang megah, menuju acara pemilihan Putri Mahkota untuk sang Kakak. Entah mengapa, hari ini Pangeran Han Yuan merasa sangat senang, seolah ada melodi riang yang terus berdendang di dalam hatinya.
Semalam, Pangeran Han Yuan diam-diam mengawasi Lin Hua dari balik rerimbunan pohon di Paviliun Cahaya. Ia bahkan sempat terlelap di salah satu dahan pohon yang rindang, membiarkan dirinya hanyut dalam pengawasan yang tak biasa itu. Sebuah ketertarikan aneh mulai tumbuh di benaknya, sebuah daya tarik yang tak bisa ia jelaskan, namun terasa begitu kuat terhadap wanita itu.
Zheng Bai, yang setia mengikuti langkah Pangeran Han Yuan, mulai merasakan kebingungan. Langkah kaki Pangeran bukan mengarah ke Istana Putra Mahkota, melainkan justru berbelok menuju Paviliun Cahaya. "Pangeran, bukankah kita seharusnya menuju Istana Putra Mahkota?" tanya Zheng Bai dengan kerutan samar di dahinya.
Pangeran Han Yuan berhenti, memutar tubuhnya perlahan untuk menoleh ke arah Zheng Bai. Sebuah senyum tipis kembali tersungging di bibirnya. "Benar, aku akan ke sana," jawabnya dengan nada tenang, seolah tidak ada yang salah dengan arah langkahnya.
Zheng Bai sedikit meringis, merasa canggung namun harus tetap menyampaikan kebenaran. "Tapi, ini adalah jalan menuju Paviliun Cahaya, Pangeran." Ia mencoba menjelaskan dengan hati-hati.
"Apakah Pangeran akan menemui Pemimpin..." Ucapan Zheng Bai terhenti di tengah jalan, dipotong oleh Pangeran Han Yuan yang segera menyela.
"Ayahanda meminta aku untuk menemaninya selama pemilihan calon Putri Mahkota. Dia mengatakan bahwa aku berperan penting dalam pemilihan ini," sela Pangeran Han Yuan, memberikan alasan yang terdengar masuk akal, meskipun Zheng Bai masih merasakan ada kejanggalan.
Tepat saat mereka tengah berbincang, Lin Hua, Shen Jian, Yuwen, Zhu Feng, dan Yunpeng terlihat keluar dari Paviliun Cahaya. Rombongan Lin Hua berjalan dengan anggun dan teratur, menuju arah yang berlawanan dengan Pangeran Han Yuan, yaitu ke ruang baca Kaisar Han Ruo Xun.
"Tapi Pangeran," ujar Zheng Bai dengan nada pasrah, matanya mengikuti punggung rombongan Lin Hua yang kini semakin menjauh, "sepertinya Anda sudah terlambat."
Wei Lin Hua dan rombongannya tiba di depan pintu ruang baca Kaisar Han Ruo Xun. Di sana, Kasim Zhen Fu menyambut mereka dengan senyum hormat. "Silahkan masuk, Nona," ujarnya, mempersilakan mereka dengan gerakan tangan yang halus.
Lin Hua mengangguk sopan dan melangkah masuk, diikuti oleh rekan-rekannya. Ruangan itu terasa hangat dan tenang, aroma dupa bercampur dengan wangi tinta memenuhi udara. "Nona Wei tiba!" seru Kasim Zhen Fu, mengumumkan kedatangan mereka dengan suara lantang namun tetap sopan.
Di dalam ruang baca yang megah itu, Kaisar Han Ruo Xun tidak sendiri. Seorang pria lain berdiri di dekatnya, memancarkan aura agung yang tak kalah mempesona. Pakaiannya yang mewah, dengan sulaman benang emas yang rumit, menunjukkan statusnya yang tinggi. 'Wah... pria tampan yang memanjakan mata,' gumam Lin Hua dalam hati, terpesona oleh ketampanan pria asing itu.
Pria asing itu tersenyum tipis, seolah mendengar pujian Lin Hua. Dia memang salah satu dari sedikit orang yang memiliki kemampuan untuk membaca pikiran orang lain, dan dia cukup tersanjung dengan pujian yang dilontarkan Lin Hua dalam hatinya.
Lin Hua dan rekan-rekannya segera memberikan salam hormat kepada Kaisar Han Ruo Xun. "Kasim Zhen Fu mengatakan, ada hal penting yang ingin Yang Mulia sampaikan kepada ku," ucap Lin Hua dengan suara lembut namun tegas.
"Ah, Hua'er... Kenalkan, dia Raja Chen Murong, adik ku," ucap Kaisar Han Ruo Xun sambil menunjuk pria asing itu dengan senyum hangat.
Lin Hua menoleh ke arah Raja Chen Murong, adik bungsu Kaisar Han Ruo Xun. Dengan anggun, Lin Hua memberikan salam hormat. "Salam, Raja Chen Murong."
'Wah... tidak aku sangka, Kaisar tua ini memiliki adik yang masih sangat muda,' ucap Lin Hua dalam hati, terkejut dengan kenyataan bahwa Kaisar memiliki seorang adik yang tampak seumuran dengan pangeran kedua.
Lagi-lagi, Raja Chen Murong terkekeh kecil mendengar suara hati Lin Hua yang jujur. "Senang bertemu dengan mu, Nona Wei," ucap Raja Chen Murong dengan suara yang merdu dan lembut, membuat hati Lin Hua berdesir.
'Ah, merdunya. Astaga, dia benar-benar sempurna,' gumam Lin Hua heboh dalam hati. Wajahnya yang sebagian tertutup cadar dan tato bunga Lotus di pipinya kini memerah karena antusiasme yang membuncah pada Raja Chen Murong. Jantungnya berdegup kencang, seolah ingin melompat keluar dari dadanya.
"Pangeran kedua tiba!" Tiba-tiba, suara Kasim Zhen Fu kembali menggema di ruang baca, kali ini dengan nada yang sedikit lebih mendesak, mengumumkan kedatangan Pangeran Han Yuan. Langkah kaki yang mantap segera menyusul pengumuman itu.
Kaisar Han Ruo Xun mengerutkan dahinya dalam, seulas kerutan kekhawatiran dan kebingungan muncul di antara alisnya. Ia sama sekali tidak merasa telah memanggil Pangeran Kedua untuk menghadap. Namun, berbeda dengan Kaisar, Raja Chen Murong hanya menyunggingkan senyum tipis, seolah sudah menduga tujuan kedatangan keponakannya itu. Ada kilatan pengertian di matanya yang gelap.
"Salam Ayah, Paman," Pangeran Han Yuan memberi hormat dengan anggun, membungkuk dalam kepada Kaisar dan kemudian kepada Raja Chen Murong. Namun, saat ia mengangkat kepalanya, tatapan matanya yang tajam tidak tertuju sepenuhnya pada kedua bangsawan itu. Sejenak, pandangannya menyapu ke arah Lin Hua yang berdiri diam, menatap ke arah Kaisar dengan ekspresi tenang di balik cadarnya. Ada secercah ketertarikan yang tak dapat disembunyikan di mata sang Pangeran.
"Ada apa Pangeran Kedua datang ke sini?" tanya Kaisar Han Ruo Xun, nada suaranya sedikit mengandung ketidaksenangan atas interupsi tak terduga ini.
"Aku datang untuk bertemu dengan Paman, Ayah. Aku mendengar Paman baru saja tiba dan ingin menyambutnya secara langsung," ujar Pangeran Han Yuan, suaranya halus namun ada nada tersembunyi di baliknya. Sekali lagi, matanya mencuri pandang ke arah Lin Hua, seolah ingin memastikan keberadaannya.
"Apakah kau merindukan pamanmu ini, keponakanku?" tanya Raja Chen Murong, dengan senyum jahil yang mengembang di bibirnya, membalas tatapan Pangeran Han Yuan dengan penuh makna.
Sedangkan Lin Hua, wanita itu mendelik di balik cadarnya, rasa bosan mulai menyelimuti dirinya. 'Apakah aku dipanggil hanya untuk menyaksikan pertemuan antara paman dan keponakan? Sungguh membosankan,' gumamnya dalam hati, tanpa sadar menghela napas pelan. Ia merasa waktu berharganya terbuang sia-sia.
Raja Chen Murong dan Pangeran Han Yuan yang hendak melanjutkan perbincangan mereka, tiba-tiba mengurungkan niat. Keduanya seolah mendengar gumaman hati Lin Hua yang penuh kejengkelan itu. Raja Chen Murong menoleh ke arah Lin Hua, senyumnya semakin lebar. "Nona muda Wei, sepertinya kau memiliki sesuatu yang sangat unik," ujarnya tiba-tiba, suaranya penuh intrik.
Lin Hua hanya tersenyum kecil di balik cadarnya, sebuah senyum yang tak terlihat jelas, dan mengangguk kecil. "Tidak terlalu istimewa," jawab Lin Hua, meski dalam benaknya ia sama sekali tidak mengerti apa yang dimaksud oleh Raja Chen Murong. Ada sedikit kebingungan di matanya yang gelap.