Irish kembali, membawa dua anak kembar dan luka lama yang telah berubah menjadi kekuatan. Ethan, pria yang dulu mengabaikannya tanpa rasa, kini tak bisa mengalihkan pandangan. Ada yang berbeda dari Irish, keteguhan hatinya, tatapannya, dan terutama... anak-anak itu. Nalurinya berkata mereka adalah anaknya. Tapi setelah semua yang ia lakukan, pantaskah Ethan berharap diberi kesempatan kedua?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Maple_Latte, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
EP: 34
“Aku tidak perlu berbohong padamu,” Ethan tertawa kecil, meski suaranya masih terdengar lemah. “Siapa pun yang berdiri di bawah lampu itu, entah Irish atau orang lain, aku tetap akan menolongnya.”
Ucapan itu membuat Carisa terdiam sejenak. Ada sedikit guncangan di hatinya, namun juga muncul rasa tidak nyaman. Ia paham benar, Ethan memang selalu terlihat dingin dan tak peduli, tetapi jauh di dalam, ia menyimpan naluri keadilan yang tidak bisa diabaikan.
Carisa teringat kembali masa kuliah dulu. Betapa Ethan pernah berlari tanpa ragu menyelamatkan seorang anak kecil yang hampir tertabrak mobil. Bahkan, ia masih ingat Ethan yang sering menyisihkan makanannya untuk kucing liar di pinggir jalan.
Ia menarik napas pelan. Jadi Ethan benar-benar hanya menolong Irish karena nalurinya, bukan karena Irish orang istimewa baginya. Dadanya mendadak terasa lega, senyumnya pun terbit meski samar saat memandangi wajah Ethan yang masih pucat namun penuh ketegasan.
Lagipula,batinnya, mana mungkin presiden perusahaan besar sehebat Ethan mau jatuh hati pada karyawan kecil seperti Irish? Orang terpenting bagi Ethan hanyalah dirinya.
Mencoba menata hatinya, Carisa kembali bersuara lebih lembut. “Ethan, Irish datang pagi-pagi sekali ke rumah sakit. Dia mengira kamu terluka karena menyelamatkannya, jadi dia ingin melihatmu.”
Carisa sengaja tidak mengatakan kalau Irish sudah menunggu semalaman. Ia tidak mau Ethan merasa kasihan, apalagi menaruh iba pada Irish.
“Untuk apa repot-repot menjengukku? Aku bahkan tidak begitu mengenalnya,” ucap Ethan datar, dan membuat ekspresi sedikit malas.
Carisa segera mengubah nada suaranya, menampilkan sikap manisnya. “Kasihan dia, Ethan. Irish hanya ingin berterima kasih padamu. Biarkan saja dia masuk sebentar.”
Ethan menatap dalam mata Carisa, lalu perlahan mengangguk. “Kalau menurutmu begitu, silakan.”
Lalu tangannya terangkat, membelai pipi Carisa dengan lembut. “Kamu pasti lelah, habis begadang semalaman. Pergilah sarapan dengan Zayn, lalu istirahat. Kalau kamu sampai jatuh sakit, aku juga akan merasa bersalah.”
Hati Carisa menghangat mendengar kata-kata itu. Ia tersenyum, mencoba menahan rasa puas. “Baiklah. Setelah beristirahat, aku akan datang menemuimu lagi.”
Ia merapikan sedikit rambutnya yang kusut karena semalaman tak sempat berdandan, namun tatapan Ethan padanya tetap lembut, seolah wajah polos Carisa sudah cukup menenangkan.
“Jangan lupa hubungi aku dulu sebelum masuk ke ruangan,” pesan Ethan sambil menempelkan kecupan ringan di keningnya.
Carisa mengangguk mantap, merasa percaya diri dan menang, kemudian berdiri dari tepi ranjang.
Di wajah Ethan masih terpatri senyum, tetapi dalam hatinya, rasa pahit justru menyusup. Dulu dia kira Carisa begitu tulus, tetapi mungkin semua sikapnya hanya demi mengawasi geraknya. Kesadaran pahit itu mencubit dadanya, membuat ujung senyumnya perlahan menegang. Baiklah, kalau begitu, dia juga harus belajar memainkan peranku sendiri...
Zayn, yang sejak tadi berdiri di dekat pintu, akhirnya maju menepuk bahu Ethan. “Kau benar-benar harus banyak istirahat. Carisa, ayo kita keluar dulu.”
“Ya.” Carisa menuruti, lalu berjalan bersama Zayn ke arah pintu bangsal.
Begitu daun pintu dibuka, Irish yang duduk di kursi lorong langsung bangkit, wajahnya berbinar penuh harap. “Nyonya Ethan, apa Pak Ethan sudah sadar?”
Carisa menatapnya dengan tatapan dingin, lalu menghela napas pendek. “Ethan sudah bangun. Kalau mau menemuinya, silakan.”
“Terima kasih!” Mata Irish tampak bersinar lega, rasa khawatirnya seolah runtuh. “Kalau begitu, saya izin masuk dulu.”
Baru saja Irish hendak melangkah, Carisa meraih lengannya dengan cepat. “Tunggu!”
Irish menoleh, sedikit kaget. “Ada apa, Nyonya Ethan?”
Carisa menatapnya sinis, suaranya diturunkan agar hanya mereka berdua yang mendengar. “Aku mau terus terang supaya kamu tidak terlalu tinggi hati. Tadi Ethan bilang, sebenarnya dia mau menyelamatkan Hanna. Kamu hanya kebetulan berada di dekatnya, jadi ikut tertolong.”
Wajah Irish seketika memucat, tubuhnya sedikit bergetar. Ada rasa nyeri di dadanya yang sulit dijelaskan. Jadi... Ethan tidak sungguh-sungguh menolongku?
Namun setelah terdiam beberapa detik, Irish menegakkan bahu. Bagaimanapun alasannya, Ethan tetap menjadi penyelamatnya. Kalau bukan karena Ethan, mungkin dia sudah tidak selamat sekarang dan dia yang akan terbaring di ranjang rumah sakit ini.
Ia menunduk sopan, mencoba tegar. “Terima kasih sudah menjelaskan, Nyonya Ethan. Bagaimanapun, saya tetap ingin mengucapkan terima kasih pada Pak Ethan.”
“Silakan,” balas Carisa dengan nada meremehkan. “Tapi jangan mimpi dia akan peduli padamu.”
Irish menahan napas, menahan semua rasa sakit di hatinya, lalu membuka pintu bangsal dengan hati-hati dan masuk.
Saat pintu hampir tertutup, Carisa berniat ikut masuk, tapi Zayn menahan pergelangan tangannya.
“Kenapa?” Carisa menoleh, tak senang.
Zayn menatapnya serius. “Jangan ikut dulu. Dengarkan baik-baik apa yang mereka bicarakan di dalam. Aku akan berjaga di sini.”
walau memang pada kenyataannya, dia udah sadar istrinya itu adalah ular sihhh 😌
q tunggu kisah kai dan maya
Seneng nya semuanya bisa bahagia
happy ending 😍😍😍
ditunggu karya selanjutnya
apa mungkin akhirnya sad ending 🤔🤔🤔🤔