Ini tentang TIGA TRILIUN...
yang dipermainkan oleh DIMITRY SACHA MYKAELENKO, hanya demi satu tujuan:
menjebak gadis yang sejak kecil selalu menghantui pikirannya.
Dialah Brea Celestine Simamora—putri Letkol Gerung Simamora, seorang TNI koplak tapi legendaris.
Pak Tua itulah yang pernah menyelamatkan Dimitry kecil, saat ia bersembunyi di Aceh, di tengah api konflik berdarah.
Kenapa Dimitry sembunyi? Karena dialah
pewaris Mykaelenko—BRATVA kelas dunia
Kepala kecilnya pernah di bandrol selangit, sebab nama Mykaelenko bukan sekadar harta.
Mereka menguasai peredaran berlian: mata uang para raja, juga obsesi para penjahat.
Sialnya, pewaris absurd itu jatuh cinta secara brutal. Entah karena pembangkangan Brea semakin liar, atau karena ulah ayah si gadis—yang berhasil 'MENGKOPLAKI' hidup Dimitry.
Dan demi cinta itu… Dimitry rela menyamar jadi BENCONG, menjerat Brea dalam permainan maut.
WARNING! ⚠️
"Isi cerita murni fiksi. Tangung sendiri Resiko KRAM karena tertawa"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yuni_Hasibuan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
The Mykaelenko Heart of Darkness- Reveal.
***
Pak Mora menggeleng pelan, tapi gumamnya cukup keras untuk memantul di kabin limosin yang kedap suara.
“Intinya aku cuma harus fokus jaga anakku. Dan mulai sekarang, nggak ada tawar-menawar lagi. Aku harus siapin ajudan buat Brea. Sama kayak dulu.”
Kata ajudan bikin atmosfer di dalam mobil mendadak padat. Dimitry yang semula bersandar tenang, perlahan meluruskan tubuhnya.
“Pengawalan, maksud bapak?” tanyanya. Suaranya rendah, tapi tajam, memecah keheningan di antara suara mesin yang nyaris tak terdengar.
“Ya.” Pak Mora tak butuh waktu berpikir. “Nggak ada cara lain. Aku harus bergerak duluan sebelum musibah beneran datang. Jangan sampai anakku yang jadi korban.”
Nada suaranya berubah, bukan lagi marah. Lebih mirip doa yang dipaksa jadi ancaman, menggantung di ruang sempit limosin itu.
Dimitry diam lama. Tatapannya keluar jendela gelap, menimbang. Dia bukan tipe yang mudah menyetujui ide orang lain. Tapi kali ini, kepalanya pelan menunduk.
“Baiklah.”
Hanya satu kata, tapi cukup untuk menambah berat udara di kabin.
Pak Mora masih muram, wajahnya keras menahan gelisah. Tapi Dimitry tiba-tiba meraih sesuatu dari dalam jasnya.
“Oh ya, Pak... Sebenarnya, sudah lama aku ingin memberikan sedikit bingkisan buat bapak. Jangan dilihat dari bentuk atau harganya. Anggap saja ini bingkisan kecil, dari anak yang dulu pernah bapak tolong.”
Pak Mora menoleh, alisnya terangkat.
“Bingkisan? Dari kau? Kau mau kasih aku sesuatu?” nadanya curiga.
Dimitry mengeluarkan sebuah kotak sedang, elegan, dari saku jasnya. Gerakannya tenang, kontras dengan getaran kecil dari roda mobil yang melaju. Dari bentuk kotak itu, mudah ditebak: minimal perhiasan.
“Ini, buat bapak. Aku kepikiran setelah bertemu orang tua kandungku. Bisa dibilang, ini juga bingkisan dari mereka. Karena sejatinya, mereka pemilik aslinya.”
Ia membuka kotak itu dengan gerakan halus.
Kilauan hitam langsung menyambar mata.
Sebuah kalung berlian, unik, berwarna pekat.
“Heh? Jangan sembarangan kau. Untuk apa kau kasih aku benda begituan?” Suara Pak Mora terdengar serak. Bukan kagum, malah seperti menahan emosi.
“Kenapa bapak menilainya sembarangan? Bukannya sudah kubilang, aku lama ingin memberikan ini? Bahkan orang tua kandungku pun tak keberatan kalau kalung ini ku berikan kepada bapak.” Dimitry bicara tenang, meski sorot matanya tak biasa.
“Itu justru yang bikin aku curiga. Aku nggak pernah ketemu orang tua kandungmu. Bagaimana bisa kau bilang mereka setuju? Kenal pun tidak.” Nada Pak Mora makin berat.
“Tapi mereka tahu siapa bapak. Seorang abdi negara yang pernah menolong anak turis asing, yang sengaja disembunyikan di Aceh.”
Dimitry memotong kalem, menatap lurus.
Pak Mora terdiam sejenak. “Hah? Anak turis? Disembunyikan di Aceh?”
“Iya. Anak itu aku.” Ucapan Dimitry terdengar santai, tapi justru bikin Pak Mora tercekat.
“Tunggu dulu, maksudmu apa? Aku tahu kau memang turis, tapi kupikir kau cuma nyasar.”
“Mana mungkin ada anak turis hilang tanpa berita, Pak? Kalau sampai benar terjadi, pasti heboh, bisa bikin tegang antarnegara. Tapi di kasusku? Tak ada, kan?”
Dimitry menahan napas sebentar, lalu melanjutkan dengan nada lebih berat.
“Itu karena dari awal aku memang sengaja disembunyikan. Dan orang tua adopsiku yang sekarang adalah bagian dari persembunyian itu.”
Di dalam kabin limosin yang kedap suara itu, kalimatnya melayang lama, menempel di udara.
Bagi Dimitry, ini momen pertama membuka jati dirinya.
Bagi Pak Mora, justru awal dari gudang pertanyaan baru.
"Ya ampun! Jadi begitu toh ceritanya? Iya juga, ya? Padahal dulu aku sempat kepikiran kalau ada yang janggal di kasusmu. Aku memang pernah bingung, kenapa berita tentang kau kehilangan orang tua nggak pernah santer. Padahal, kalau dipikir-pikir, mestinya heboh, kan?"
ucap Pak Mora, akhirnya menemukan benang merah dari kejadian tempo doeloe.
Dimitry hanya mengangguk kecil.
"Jadi… artinya, kau sudah cerita ke orang tuamu? Tentang aku?" tanya Pak Mora.
"Tentu saja, Pak. Mana mungkin aku nggak cerita soal penyelamatan heroik kalian. Itu kejadian paling besar dalam kepala kecilku dulu, yang bahkan sampai sekarang, aku nggak pernah bisa lupa setiap detailnya," jawab Dimitry, dengan gaya sok merenung sambil melempar tatapan ke langit-langit mobil limosin—dramatis ala film India.
Pak Mora langsung ngakak dibuatnya.
"Hahaha… alah-alah, banyak kali gayamu mentang-mentang aktor. Sudah, sini-sini, mana coba kulihat, secantik apa sih hadiah dari kau," ucap Pak Mora, akhirnya berani menerima bingkisan itu.
Dimitry pun langsung menyerahkannya.
Pak Mora menatapnya lebih seksama.
"Tapi kan… kalau kuperhatikan, apa nggak terlalu mewah hadiah ini? Kalau tebakanku nggak salah, ini pasti real diamond, kan?" tanyanya, kening berkerut.
"Diamond biasa aja kalau sebesar ini, kayaknya aku nggak sanggup beli pakai gaji seumur hidup. Apalagi ini… berlian hitam?" mata Pak Mora nyaris melotot, terpukau oleh warna pekat yang memantul dari permata itu.
"Yah… bapak betul. Nama diamond itu TMH of Darkness. Nggak cuma sekadar berlian. Itu ikon… jantungnya Mykaelenko," timpal Dimitry dengan suara dalam.
Pak Mora terperanjat. Tangannya bergetar hebat, hampir saja menjatuhkan kotak perhiasan itu. Untung Dimitry cepat-cepat menangkapnya.
"Apa katamu tadi? T… T… TM? TMH? The Mykaelenko Heart? Aku nggak salah dengar?" mata Pak Mora membulat lebar, sementara jantungnya berdegup tak karuan.
Dimitry malah sengaja memperkeruh denyut itu.
"Hehehe… bapak nggak lupa kan nama belakang orang tuaku?"
"Iya… iya… yah. Sekarang semua masuk akal. Dari nasibmu yang sengaja disembunyikan, sampai ku kira kau bocah hilang. Dari nama belakang keluargamu yang… terlalu besar. Hoh… Aku… aku…"
mendadak Pak Mora kehilangan kata-kata. Entah karena terlalu takut membayangkan, atau terlalu terkejut menghadapi fakta sebesar itu.
"Sudahlah, Pak. Nggak usah dibahas lagi. Semua itu sudah lewat. Yang aku mau sekarang, bapak bisa menerima hadiah ini dengan tangan terbuka. Jangan dilihat dari nilainya… cukup dilihat dari siapa yang memberikannya: aku. Anak kecil yang dulu bapak tolong,"
ucap Dimitry kalem, menutup kotak berlian itu lalu meletakkannya di telapak tangan Pak Mora.
Butuh waktu lama bagi Pak Mora untuk menstabilkan detak jantungnya. Pikirannya justru terjebak mencari cara bagaimana menolak pemberian itu. Nalurinya, yang terbiasa hidup sederhana, menjerit: ini terlalu besar, terlalu berat, bahkan terasa mustahil untuk diterima. Setelah merenung panjang—belasan menit—barulah ia menemukan sebuah alasan, tepat ketika limosin itu hampir memasuki kawasan komplek perumahannya.
"Tapi kan, Dimitry… kalau kuperhatikan, model berlian ini terlalu modis. Nggak bakal cocok kalau kuberikan ke istriku yang sudah tua. Kalau mau kujual, lebih nggak mungkin lagi. Aku nggak suka menjual hadiah orang. Jadi… kek mana kalau hadiahnya kau ambil dulu, nanti kau ganti saja dengan sesuatu yang sederhana, yang cocok dipakai sama istriku? Kek mana? Deal, kan?"
ucap Pak Mora, sambil menyodorkan kotak itu kembali pada Dimitry.
Tapi Dimitry langsung menggeleng, bahkan menyilangkan tangan di dada sambil nyeletuk,
"Pak, gimana kalau kalung itu dikasih ke anak bapak aja? Bukannya bapak punya anak cewek? Nah, kalung itu pasti cocok buat Brea."
"Tapi jangan cerita soal harganya ya. Nanti dia malah kaget dan nggak berani pakai kalung itu buat sehari-hari. Padahal aku maunya kalung itu dia pakai tiap hari. Nggak pernah dilepas… seperti aku pakai cincin ini setiap hari."
Dimitry berkata begitu sambil memperlihatkan cincin di jarinya—cincin yang sudah di-custom, dijadikan tracker khas keluarga Mykaelenko.
Begitu Dimitry mengucapkan itu, Pak Mora langsung terdiam.
Ia tenggelam dalam pikirannya sendiri, bahkan tak berani bertanya apakah kalung itu juga punya tracker yang sama seperti cincin Dimitry.
Enggak… enggak!
Otak Pak Mora sudah capek. Nggak sanggup lagi dipakai buat memikirkan Dimitry.
Memang betul-betul berat ya, hari ini, buat Letkol Simamora.
Sepertinya, sebelum keluar rumah tadi, Pak Mora nggak sempat lihat kalender almanak. Makanya harinya jadi sesial ini: ketemu dengan Dimitry—orang yang bahkan tak berani lagi ia pikirkan.
***
"Assalamualaikum, Mayang! Cepat bukain pintu!"
Pak Mora sudah sampai rumah, ngos-ngosan.
Karena ternyata... tubuh dan jiwa klenger Nathan malah di geret pulang ke rumah dia.
Apa kabarnya Dimitry? Dia sudah di usir pulang.
Bayangin saja… mobil limosin mendadak masuk komplek perumnas tentara.
Tetangga sudah pada heboh. Apalagi kalau tahu pemiliknya—adalah Dimitry Sacha Tobingga, sang artis internasional, masih bujang pula.
Besok paginya, gosipnya bisa meledak sampai telinga Pak Dandim.
"Walaikumsalam… bentar, Yah!" sahut Mayang istrinya, dari dalam rumah.
Dan begitu pintu dia buka, matanya langsung melotot.
"Astagfirullah, Ayah! Siapa ini?" tanya Mayang terkejut.
"Udah, bawa masuk dulu. Nanti kita ngomong di dalam," kata Pak Mora, setengah ngos-ngosan.
Tanpa banyak tanya lagi, Mayang langsung membantu memapah Nathan.
Dan buat sementara, dia di letakkan di kamar tamu dekat musholla. Setelah pintu kamar tertutup Mayang langsung mencecar suaminya...
"Sekarang coba jelaskan, kenapa ayah bisa bawa anak itu dalam keadaan pingsan? Jangan bilang, kalau dia cowok yang gangguin Brea, makanya sampe di bikin kelenger kayak gitu?"
Mayang tanya begitu, karena Pak Mora memang pernah melakukan hal yang sama 5 tahun. Dia paham betul kalau suaminya itu terlalu posesif pada anak mereka.
Pak Mora menggeleng cepat, sambil lap keringat, lalu ambil minum.
"Bukanlah. Dia itu Nathan. Kau ingat kasus penggelapan Dana yang di angkat gara-gara laporan mahasiswa, Kan?"
"Anak itu adalah dia." Jelas Pak Mora.
Mayang nyipitkan mata curiga. "Terus kenapa dia pingsan? Bukannya ayah bilang dia sudah kalian sembunyikan di Safe House?"
***