Ziyanada Umaira, biasa dipanggil Nada jatuh cinta untuk pertama kalinya saat dirinya berada di kelas dua belas SMA pada Abyan Elfathan, seorang mahasiswa dari Jakarta yang tengah menjalani KKN di Garut, tepatnya di kecamatan tempat Nada.
Biasanya Nada menolak dengan halus dan ramah setiap ada teman atau kakak kelas yang menyatakan cinta padanya, namun ketika Abyan datang menyatakan rasa sukanya, Nada tak mampu menolak.
Kisah mereka pun dimulai, namun saat KKN berakhir semua seolah dipaksa usai.
Dapatkan Nada dan Biyan mempertahankan cinta mereka?
Kisahnya ada di novel ''Kukira Cinta Tak Butuh Kasta"
Selamat membaca!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lailatus Sakinah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Menghapus Jejak Menyimpan Rindu
Hari-hari setelah kepergian Abyan terasa seperti angin sore yang kehilangan arah. Tidak bising, tidak pula hening—hanya sepi yang menggantung di antara detik-detik waktu.
Nada kembali menjalani rutinitas sebagai siswi kelas dua belas SMA di pelosok Garut itu. Senyum masih ia tunjukkan, tawa masih ia bagi, tapi di dalam dirinya ada ruang yang sunyi.
Dia menyimpan buku catatan Abyan di dalam kotak kecil yang dikunci rapi, bersama foto, selembar syal biru tua yang pernah dipinjamkannya saat mereka kehujanan, dan surat yang belum sempat ia tulis balasannya.
Setiap malam, ia menatap bintang yang paling terang, seperti pesan Abyan sebelum berpisah. Kadang ia tersenyum, kadang menangis. Tapi lebih sering ia diam, menyusun doa-doa panjang dalam hati.
“Tuhan, jika dia memang bukan untukku, jangan cabut rasa ini. Biarkan ia tinggal sebentar lagi. Karena dari rindu ini aku belajar sabar. Dari kehilangan ini aku belajar ikhlas.”
Tiga bulan berlalu. Nada lulus dari sekolah dengan nilai yang cukup baik. Tapi mimpi kuliah tak pernah benar-benar punya tempat dalam realitasnya. Ayahnya hanya seorang petani penggarap. Ibunya membantu jualan gorengan di sekolah dasar. Dua adik kecilnya masih butuh biaya sekolah.
Nada memutuskan untuk merantau ke Jakarta. Keputusan itu tidak mudah, tapi ia tahu hidup harus terus berjalan. Ia tak bisa terus menunggu surat atau kabar dari Abyan. Ia harus mulai menulis babak baru dalam hidupnya sendiri.
Sebelum pergi, ia berdiri lama di depan pohon jati tempat ia dan Abyan pernah duduk bersama.
“Aku pamit ya, Bang By,” bisiknya lirih, seolah pohon itu bisa mengirim pesan ke langit.
“Doakan aku tetap kuat, walau tak lagi kau dampingi.”
Jakarta menyambutnya dengan hiruk pikuk. Bangunan menjulang, suara klakson bersahutan, dan langkah-langkah orang-orang yang tampak selalu tergesa.
Nada tinggal di rumah kontrakan kecil bersama dua teman sekampungnya. Ia bekerja sebagai cleaning service di sebuah hotel mewah di pusat kota bersama Rosa, sahabat SMA nya.
Sementara Eli teman sekampungnya yang satu lagi bekerja sebagai penjaga toko di salah satu mall besar di Jakarta.
Pekerjaan yang tidak bergengsi, tapi ia syukuri sepenuh hati.
Setiap pagi ia bangun sebelum adzan Subuh, menyiapkan air, menyapu kamar, lalu berangkat naik metromini. Seragam abu-abu, sepatu hitam, dan lencana nama kecil di dada kiri: Ziya.
Pekerjaannya rutin, membersihkan lobi, menyapu koridor, mengganti seprai, dan mengelap jendela. Tapi dalam rutinitas itu, ia menemukan ketenangan.
Tangannya sibuk, pikirannya tenang. Tidak ada waktu untuk larut dalam rindu yang tak berbalas.
Ia tidak pernah lagi mendengar kabar dari Abyan. Setelah mengabari bahwa ia akan wisuda, ponselnya tak bisa dihubungi lagi.
Awalnya Nada berpikir Abyan hanya sibuk. Tapi minggu berganti bulan, dan tak ada lagi tanda.
Di satu malam, setelah menyelesaikan shalat tahajud, Nada menulis di buku hariannya:
“Aku tidak marah, Bang By. Jika pun kamu memilih pergi tanpa pamit, mungkin itu caramu menyelamatkan hatiku dari harapan kosong. Tapi ketahuilah, aku baik-baik saja. Aku memilih sembuh. Bukan karena lupa, tapi karena sudah belajar menerima.”
Di hotel tempatnya bekerja, Nada dikenal sebagai pegawai yang rajin dan sopan. Ia tidak banyak bicara, tapi selalu ramah.
Suatu hari, saat sedang membersihkan ruang rapat di lantai delapan, seorang manajer mendekatinya. Tidak terasa tiga tahun sudah Nada bekerja di hotel itu.
“Ziya, besok kamu bantu bersihkan ruang direktur utama yang baru ya. Pemilik hotel akan datang dari luar negeri. Orangnya muda, katanya cerdas dan disiplin.”
Nada mengangguk. Ia tidak berpikir macam-macam. Pemilik hotel? Ah, itu dunia yang terlalu jauh dari jangkauan hidupnya.
Keesokan harinya, saat ia membuka pintu ruang direktur utama di lantai paling atas, langkahnya sempat terhenti.
Ruangan itu besar dan elegan. Di sisi kanan ada rak buku berisi literatur berbahasa Inggris. Di sisi kiri, pigura-pigura penghargaan berbaris rapi. Nada buru-buru melakukan tugasnya dengan benar.
Saat membersihkan meja sang direktur utama, di atas meja utama, ada bingkai kecil berisi foto seorang pria muda berjubah toga.
Nada mematung. Darahnya seolah berhenti mengalir. Jantungnya berdetak tak karuan.
Pria dalam foto itu... Abyan.
Hanya butuh lima detik untuk mengenali mata teduh itu. Senyum ringan yang dulu pernah membuatnya jatuh cinta.
Meski kini pria itu tampak lebih dewasa, lebih elegan, tapi bagi Nada, Abyan tetap lelaki yang pernah mengajarinya arti cinta pertama.
Tangannya gemetar. Ia mundur pelan, keluar dari ruangan. Napasnya berat. Untunglah pekerjaannya sudah selesai.
“Kenapa baru sekarang, Bank Byan...” bisiknya dalam hati.
Nada tidak tahu apakah ia harus bahagia atau kecewa. Di satu sisi, ia bersyukur Abyan berhasil, tumbuh menjadi seseorang yang ia doakan. Tapi di sisi lain, luka yang hampir sembuh kini kembali menganga.
Di ruang makan karyawan malam itu, Nada duduk lama sambil menatap secangkir teh yang sudah dingin. Rosa, sahabat SMA yang sama-sama mengadu nasib ke Jakarta, menghampiri, keduanya bekerja satu shift malam ini.
“Nad, kamu kenapa?” Nada menggeleng.
"Nggak apa-apa.”
Dela, rekan kerja yang lain pun datang menghampiri Nada dan Rosa.
“Kamu habis dari ruang direktur ya, Zi?”
Nada mengangguk pelan. Di hotel itu hanya Rosa yang memanggilnya Nada, karena yang lainnya memanggil Ziya nama awalnya.
“Katanya beliau akan mulai kerja pekan depan. Masih di luar kota. Tapi katanya pernah KKN di Garut, kamu orang Garut juga kan?”
Nada menatap Rosa, lalu tersenyum samar. Yang ditatap bingung, tidak faham maksud tatapan itu, dia memilih kembali menikmati teh hangatnya.
"Iya... tapi kami tidak tahu, Garut kan luas Mbak.” Elak nada yang tak ingin fakta yang baru diketahuinya itu diketahui orang lain, termasuk sahabatnya Rosa.
Malam itu, Nada membuka kembali buku Abyan yang dulu ia simpan rapi. Tangannya menyentuh lembaran terakhir. Kata-kata Abyan seolah kembali bernyanyi di kepalanya:
“Kalau suatu hari takdir mempertemukan kita lagi,
semoga kamu tetap menjadi perempuan kuat seperti hari ini.”
Dan kini, takdir benar-benar mempertemukan mereka kembali. Tapi dalam situasi yang jauh berbeda. Abyan adalah direktur muda pemilik hotel.
Nada hanyalah cleaning service di tempat yang sama.
Cinta yang dulu menguatkan, kini kembali dalam bentuk ujian.
Tapi Nada sudah belajar banyak dalam tiga tahun ini. Ia bukan gadis SMA yang mudah berharap. Ia adalah perempuan yang bisa menatap cinta tanpa harus memilikinya.
Esok pagi, Nada mengenakan seragamnya seperti biasa. Ia berdiri di depan cermin kecil kontrakannya, merapikan kerudung sambil berbisik lirih pada bayangannya sendiri:
“Aku akan tetap kuat. Karena yang paling indah dari cinta adalah ketika ia tumbuh bersamaan dengan harga diri.”
Ia tersenyum.Bukan karena Abyan akan kembali ke hidupnya, tapi karena ia tahu, setidaknya dirinya sudah mampu berdiri, meski tanpa siapa pun di sampingnya.
terimakasih double up nya kak🥰
kira kira apa lagi rencana indira
lanjut kak