Mengetahui kebenaran identitasnya sebagai anak angkat, tak membuat perempuan berumur 18 tahun itu bergeming. Bahkan kematian ibu angkat dan ayah angkat yang mengusirnya dari rumah, tidak membuatnya membenci mereka. Arumi Maharani, gadis lulusan SMA yang dibesarkan di keluarga patriaki itu memilih mencari jati dirinya. “Aku tunanganmu. Maafkan aku yang tidak mengenalimu lebih awal.” Izqian Aksa. Siapa Izkian Aksa? Bagaimana Arumi menjalani kehidupan selanjutnya? Dan akankah pencariannya mendapatkan hasil? Haloo semuanya… ketemu lagi dengan author.. semoga semua pembaca suka dengan karya baru author…
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Meymei, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tidak Sesuai Harapan
18 tahun yang lalu.
“Kenapa tidak kita besarkan sendiri saja? Bagaimanapun anak ini membawa rezekinya sendiri.” Kata Samudi.
“Hasil panen tidak menentu. Membesarkan bayi memerlukan banyak uang.” Ponirah merasa suaminya tidak mengerti situasi.
“Lalu kenapa kamu tidak KB kalau kamu tidak ingin mengurus bayi?”
“Kalau aku bisa aku sudah KB! Makan cukup saja sudah syukur.”
Di keluarga Samudi, selain dirinya dan sang istri, ada 4 orang anak. Ramlan anak sulung 15 tahun, kembar Nana dan Nani 6 tahun, dan anak keempat, Siti 3 tahun.
“Aku yang akan membesarkannya nanti.”
“Tidak! Aku akan memberikannya kepada orang. Ada yang menginginkan anak angkat sebagai pancingan.”
“Kalau pancingannya berhasil, bagaimana Nasib anak itu nantinya?”
“Mereka tetap akan memperlakukannya dengan baik.”
“Apa kamu yakin? Aku tidak setuju!”
“Setuju atau tidak, aku tetap akan memberikannya kepada mereka karena mereka akan memberikan uang sebagai ganti dan uang itu akan aku gunakan untuk modal dagangan.”
“Dimana hati nuranimu? Apa bedanya dengan menjual anak?”
“Aku tidak menjualnya, mereka memberikan uang sebagai ganti kehamilanku selama 9 bulan.”
“Apa kamu tega melepaskan anak yang sudah kamu kandung selama 9 bulan begitu saja?”
“Aku tidak ada pilihan! Daripada anak ini ikut hidup susah, lebih baik dia ikut orang yang akan memberikannya kehidupan yang layak. Setidaknya, dia tidak akan kelaparan saat ikut orang tua angkatnya nanti.”
Samudi tidak lagi berkata-kata. Salahnya yang tidak bisa mengontrol diri.
Beberapa hari setelah perdebatan itu, Ponirah merasakan kontraksi dan Samudi segera memanggil dukun bayi. Di desa mereka belum ada bidan yang bertugas, kalaupun ke Puskesmas mereka harus menempuh jarak jauh karena Puskesmas berada di kecamatan.
“Alhamdulillah, bayi perempuan. Beratnya normal sekitar 2,7 kilogram.” Kata dukun bayi yang telah selesai membantu persalinan dan memandikan bayi merah itu.
“Alhamdulillah…” ucap semua orang yang menunggu kelahiran bayi tersebut.
Ramlan yang sebelumnya sempat mendengar percakapan kedua orang tuanya merasa gelisah. Jika benar adiknya diberikan kepada orang lain, maka ia tidak akan bisa bertemu dengan adiknya.
Bayi merah yang lahir itu terlihat berbeda dengan adik-adiknya yang lain. Ia yang selama ini menyaksikan kelahiran adik-adiknya, merasa bayi itu lebih cantik dan lebih putih. Ada rasa tidak tega dihatinya, tetapi ia tidak bisa berbuat apa-apa atas keputusan sang emak.
Tak hanya Ramlan, Samudi yang baru saja selesai mengadzani bayi merah itu juga merasakan hal yang sama. ada rasa tidak tega dan sayang untuk melepaskan bayi yang saat ini ada di dekapannya.
Satu hari setelah kelahiran bayi itu, keluarga yang akan mengangkatnya datang dan membawa pergi bayi merah itu. Ramlan sempat mengejar dan meminta mereka memberikan Alamat tempat tinggal agar ia bisa mengunjungi adiknya kelak.
Kusrin dan istrinya merasa iba dengan ketulusan Ramlan, sehingga mereka memberikan Alamat mereka.
Sejak saat itu, saat Ramlan telah mengumpulkan uang yang ia dapat dan bisa membeli kartu pos, ia akan mengirimkan surat kepada Umi Im dan menanyakan kabar adiknya.
Dari sana, Ramlan tahu nama Arumi Maharani yang diberikan oleh orang tua angkat adiknya. Sayangnya, balas pesan itu hanya berlangsung selama satu tahun karena pindah rumah, Ramlan kehilangan surat-suratnya dan alamat adiknya.
Saat dirinya sudah bisa bepergian ke kecamatan, ia bertanya kepada orang-orang mengenai keluarga yang mengadopsi adiknya dan hasilnya nihil.
Samudi yang mengetahui pencarian Ramlan, mengatakan jika adiknya sudah tidak lagi di kota yang sama dengan mereka. Terakhir beliau tahu, ibu angkat anaknya pergi ke kota kelahiran suaminya.
“Kenapa Emak mengatakan kalau adik meninggal?” tanya Ramlan.
“Anggap saja begitu, kita tidak akan bisa bertemu dengannya lagi. Ikhlaskan saja.” jawab Samudi dengan nada sedih.
Istrinya memilih mengatakan anak mereka meninggal dibandingkan dengan mengatakan kalau anak mereka diadopsi, sehingga yang mengetahui kebenaran anak bungsunya hanya Ramlan.
“Apa tidak ada cara untuk menemukan adikku?” tanya Ramlan.
“Jangan bahas ini di hadapan emakmu! Cukup kamu yang tahu. Jangan bawa adik-adikmu!”
“Mereka berhak tahu kalau adik mereka masih hidup!”
“Kamu hanya akan membuat emakmu marah. Jika suatu hari kamu bisa menemukannya, katakan kepadanya kalau bapak menyayanginya. Katakan, lebih baik jangan mencari kami! Jika dia ingin menikah, jadilah wali adikmu.”
Sejak saat itu, Ramlan tidak lagi membahas adiknya dengan Samudi. Ia melakukan pencarian sebisanya, tetapi harus menerima kenyataan jika dirinya tidak bisa melakukan hal banyak.
2 tahun kemudian, keluarga Samudi harus meninggalkan desa dan pindah ke Kota Tuak untuk merantau setelah mundur dari pembagian warisan berupa sawah. Samudi memilih mundur karena tidak ingin bertengkar dengan 7 saudaranya yang lain.
Ponirah tidak ada pilihan lain dan mengikuti suaminya yang mulai menekuni pekerjaannya sebagai pemain ketoprak.
Hanya Ramlan yang kekeh ingin tetap tinggal karena ingin menunggu adiknya suatu hari nanti. Akhirnya Ramlan dititipkan kepada neneknya dan menetap di desa.
4tahun kemudian, Ramlan mendapat kabar jika dirinya memiliki adik bungsu. Di samping kabar Bahagia, Ramlan juga mendapatkan kabar buruk, yaitu Kesehatan bapaknya yang mulai menurun.
Ia yang sudah menikah dengan perempuan yang dijodohkan oleh pamannya, berkunjung ke rumah orang tuanya dan menjaga bapaknya sampai beliau mangkat 1 tahun kemudian.
Setelah bapaknya meninggal, Ramlan kembali ke desa dan menjalani kehidupan sebagai tukang bangunan yang ikut di proyek. Ia hanya mengabari adiknya sesekali dan akan berkunjung saat lebaran.
Masa sekarang.
“Jadi, Bapak sudah meninggal?” tanya Arumi dengan isakan.
Selama Ramlan menceritakan kejadian masa lalu, Arumi menangis dalam pelukan Karina. Ia tidak lagi merasa canggung atau malu dengan Aksa. Yang ia tahu, keluarganya sudah mengalami banyak hal selama dirinya hidup bersama Umi Im dan Abi Aji.
“Ya. Beliau berpesan, jika aku bertemu denganmu, aku yang akan menjadi wali nikahmu dan sebaiknya kamu tidak perlu mencari ibu dan kakak-kakakmu yang lain karena mereka menganggapmu sudah meninggal.” Jawab Ramlan dengan suara tercekat.
Jika bisa, ia ingin mengarang cerita agar Arumi tidak sedih. Tetapi ia tidak ingin membohongi adik yang selama ini ia rindukan. Kejujurannya bisa saja menghancurkan harapan Arumi, tetapi itu lebih baik daripada adiknya mengetahui kebenaran dari orang lain.
“Apa Emak tidak sedikitpun merindukanku?” Ramlan menggeleng dengan pasrah.
Sejak kelahiran adik bungsunya, emaknya seperti sudah melupakan keberadaan Arumi. Bahkan beberapa tahun yang lalu saat dirinya bertanya, apakah emaknya merindukan adik yang diberikan orang, beliau hanya diam tidak menjawab.
Arumi mengusap air matanya. Apa yang ia dengar tidak sesuai dengan harapannya. Mungkin Allah menyuruhnya untuk bersabar lagi dan memasrahkan semuanya kepada-Nya.
“Bagaimana jika aku ingin mengunjungi mereka?”
.
.
.
.
.
Maaf satu bab lagi... Semoga besok author bisa up dua bab.. Aamiin..
Selamat membaca...