Meminta Jodoh Di Jabal Rahmah?
Bertemu Jodoh Di Kota Jakarta?
Ahtar Fauzan Atmajaya tidak menyangka jika ia akan jatuh cinta pada seorang wanita yang hanya ia temui di dalam mimpinya saja.
“Saya tidak hanya sekedar memberi alasan, melainkan kenyataan. Hati saya merasa yakin jika Anda tak lain adalah jodoh saya.”
“Atas dasar apa hati Anda merasa yakin, Tuan? Sedangkan kita baru saja bertemu. Bahkan kita pun berbeda... jauh berbeda. Islam Agama Anda dan Kristen agama saya.”
Ahtar tersenyum, lalu...
“Biarkan takdir yang menjalankan perannya. Biarkan do'a yang berperang di langit. Dan jika nama saya bersanding dengan nama Anda di lauhul mahfudz-Nya, lantas kita bisa apa?”
Seketika perempuan itu tak menyangka dengan jawaban Ahtar. Tapi, kira-kira apa yang membuat Ahtar benar-benar merasa yakin? Lalu bagaimana kisah mereka selanjutnya? Akankah mereka bisa bersatu?
#1Dokter
#1goodboy
#hijrah
#Religi
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Alfianita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Cinta Sedalam Rindu
...“Luka sekecil apa pun itu, jika tidak segera diobati maka... Akan tetap menganga.”...
...🌹🌹🌹🌹🌹🌹...
"Saya ingin... Anda menyiapkan ruangan privasi untuk saya mengobrol dengan Dokter Akhtar sekarang. Karena saya ingin bicara empat mata dengannya... Sebelum putri saya melakukan tindakan lebih lanjut." Nada bicaranya halus, tapi mengandung sesuatu yang tak bisa dijelaskan. Semacam ancaman yang disamarkan oleh keramahan.
Sorot matanya tajam, tapi menyimpan tatapan yang teduh. Tuan Alden terdiam sejenak, sebelum memberi keputusan apa pun. Meskipun dalam hatinya ia sangat ingin Akhtar menangani putri Tuan Robert Earl Campbell, karena jika Akhtar berhasil maka keberhasilan Akhtar mampu mendongkrak reputasi rumah sakitnya.
Tuan Alden menatap Akhtar, seakan meminta persetujuan dari Akhtar tanpa suara—hanya melalui tatapannya saja.
"Siapkan saja ruangannya, Tuan Alden. Saya akan mengikuti sesuai yang di minta Tuan Robert." Begitu kata Akhtar seraya menundukkan kepala sedikit untuk menghormati orang yang lebih tua atau bisa juga orang yang berada di kalangan atas.
"Baiklah! Kalau begitu saya akan mempersiapkan ruangannya sekarang juga."
Tuan Alden memegang gagang telepon, lalu beberapa angka ditekannya dan tak lama kemudian ia memberikan perintah pada entah siapa yang sedang dihubunginya.
"Kosongkan ruangan VVIP 777 sekarang! Dan jangan lupa untuk mematikan kamera CCTV nya, karena tamu kita bukan orang sembarangan."
Setelah itu Tuan Alden kembali meletakkan gagang teleponnya. "Ruangannya sudah siap. Tuan Robert dan Dokter Akhtar bisa langsung ke ruangan VVIP 777. Mari saya antar." Tuan Alden berdiri dan beranjak dari duduknya.
Tuan Alden, Tuan Robert dan Akhtar keluar dari ruangan itu bersama, tak lupa beberapa pengawal Tuan Robert mengikuti dari belakang. Tuan Robert berdiri di tengah, sisi kanannya ada Tuan Alden, dan sisi kirinya ada Akhtar. Mereka menelusuri lorong rumah sakit menuju ke lift, karena ruang VVIP 777 ada di lantai lima, lantai paling atas.
"Kita sudah sampai," ucap Tuan Alden setelah mereka sampai di depan salah satu ruangan dari tiga deret ruangan yang ada di lantai lima.
"Ok. Terima kasih." Balasnya begitu singkat dengan aura dinginnya yang melekat.
Tuan Alden pergi meninggalkan Tuan Robert dan Akhtar, sesuai dengan permintaan Tuan Robert sebelumnya. Dan setelah itu Tuan Robert mengajak Akhtar untuk masuk ke ruangan tanpa ada pengawalan yang ketat yang mengikuti.
Tuan Robert berjalan ke arah jendela, dibukanya gorden yang menutup jendela itu sedikit lebar, dan ia hanya berdiri sambil menatap ke luar jendela. Keadaan cukup hening, karena Tuan Robert tak kunjung bicara apa-apa. Hal itu membuat Akhtar sedikit merasa bosan, tapi ia tak bisa melakukan apa-apa selain menurut selama itu tak membuat dirinya merasa jengkel.
Lima belas menit sudah keheningan menyelimuti ruangan itu, hingga akhirnya Akhtar tak bisa menahan suaranya untuk bertanya.
"Maaf, jika saya terlalu lancang. Tapi... Apa sebenarnya yang ingin Anda katakan kepada saya?" tanya Akhtar tanpa mengurangi rasa sopan santunnya.
Tuan Robert tersenyum smirk, "Pertanyaan yang bagus. Tapi... Aku hanya ingin menguji seberapa berani kamu berhadapan empat mata denganku. Dan aku melihat kamu cukup berani, jenius dan... Profesional." Tuan Robert berbalik, lalu menatap Akhtar dengan tatapan tajam.
"Saya berani karena saya merasa tidak melakukan kesalahan apa pun kepada Anda, Tuan. Dan... Saya merasa tersanjung dengan pujian Anda. Terima kasih," ucap Akhtar pelan dengan diakhiri senyum ramah.
"Ok, jawaban yang tepat." Senyum itu lebar, tapi dengan tatapan yang sama—tajam. "Sebenarnya aku tidak suka bertele-tele, tapi aku sedang menunggu seseorang menghubungiku. Mau kah Dokter Akhtar menunggunya bersamaku?"
"Iya," jawab Akhtar dengan anggukan kecil.
Tak lama dari itu handphone milik Tuan Robert berdering, dengan segera Tuan Robert merogoh saku jasnya untuk segera menerima panggilan itu. Panggilan yang memang sedang dinantikannya.
"Aku sudah melihatnya, seperti yang kamu katakan... Sempurna. Aku rasa kemampuannya tidak diragukan lagi. Itu kan, yang ingin kamu dengar?" Suara Tuan Robert seakan memuji, tapi terselip ada ancaman di dalam setiap kalimatnya.
"Of course. Kalau begitu kerjasama kita akan berjalan mulai sekarang, bukan? Dan... selama kerjasama kita berlangsung jangan coba-coba menyentuh dengan kasar dokter Akhtar. Jika saya melihat dia tersentuh sedikit saja oleh pengawal Anda, maka... cahaya titik merah yang ada di dada Anda saya pastikan akan meluncur kapan saja."
Mendengar itu Tuan Robert seketika melirik dadanya, dan benar saja. Hal itu sangat mengejutkannya setelah melihat titik merah itu, membuatnya sedikit terhenyak dan takut. Karena di sana ia hanya sendiri, tanpa pengawasan pengawalnya yang selalu menjadi garda terdepan untuk melindunginya.
"Baiklah."
Kesepakatan yang singkat, tanpa adanya penolakan dari Tuan Robert. Setelah obrolan itu selesai Tuan Robert kembali mengobrol dengan Akhtar sambil sesekali melirik ke arah dadanya. Cahaya merah itu masih saja setia di sana, membuat Tuan Robert tak bisa berkutik dari ancaman seorang Mafia. Meskipun ia sendiri dikenal sebagai ras terkuat, tetapi seorang Mafia akan lebih kejam.
"Aku minta kepada kamu, Dokter Akhtar untuk menangani penyakit jantung koroner putri cantik ku. Tolong! Berikan penanganan dan pengobatan yang terbaik untuk putri semata wayang ku." Tatapan itu berubah, tatapan teduh dari seorang ayah yang tak ingin kehilangan putri semata wayangnya.
"Saya akan berusaha untuk yang terbaik. Tapi sebelum itu, saya harus melakukan pemeriksaan pada putri Anda. Dan Anda bisa menentukan jadwal temu di pertemuan selanjutnya. Lebih cepat lebih baik, agar jantungnya bisa segera ditangani."
"Jangan khawatir! Aku akan menghubungi Tuan Alden setelah mengatur jadwal pertemuan kita yang selanjutnya."
Tuan Robert menyodorkan tangannya, lalu Akhtar menyambut dengan hangat, dan keduanya bersalaman—sebagai bentuk kerjasama yang profesional. Setelah itu pertemuan telah diakhiri.
🌹🌹🌹🌹🌹
Cewek berambut panjang kecokelatan dan sedikit bergelombang itu tersenyum smirk setelah melihat bagaimana wajah Tuan Robert melalui senjata senapan yang bisa membidik musuh dari jarak efektif 1.500-1.800 meter.
"Wajah siapa yang kamu lihat?" tanya seorang lelaki yang di belakangnya.
"Wajah Tuan Robert. Sedikit memberi ancaman padanya agar tak macam-macam, lalu... senyum itu indah." Begitu ungkapnya dengan diakhiri senyuman.
"Jangan bilang kalau kamu hanya memanfaatkan senjata itu untuk alibimu saja. Kamu..."
Zuena menghela napas berat, lalu ia mengalihkan pandangannya dari senapan yang ada di hadapannya.
"Come on, Adam. Aku hanya ingin melihat wajahnya sebentar saja. Andai kamu bisa merasakan bahwa cinta itu sedalam rindu, pasti kamu tak akan melarangku saat ini. Lagipula, aku adalah sniper handal, tak mungkin aku membidiknya."
"Aku akui aku bisa melawan musuh jika terdesak, tapi aku akan sangat lemah jika melihatnya terluka. Ibaratnya... Luka sekecil apa pun itu jika tidak segera diobati maka akan tetap menganga. Dan aku paling hancur melihat dia terus terluka karena ku."
"Mungkin aku kejam, tapi mungkin ini memang hukum alam. Aku adalah anak seorang mafia, yang identitasnya harus disembunyikan secara rapat. Tapi kali ini tidak, aku akan... Meledak seperti bom atom."
Zuena menghela napas berat, ia merasa benar-benar lelah terus menyembunyikan identitasnya.
“Terserah kamu saja. Aku... Akan tetap mendukungmu selama itu jalan kebenaran.” Senyuman yang begitu tulus telah terukir di bibir Adam. Hal itu membuat Zuena merasa lega.
“Sekarang kita cari masjid terdekat. Sudah memasuki shalat Dzuhur.” Begitu kata Zuena setelah melihat jam tangannya.
Adam mengangguk. Dan keduanya turun dari atap gedung yang tak jauh dari rumah sakit Royal Infirmary.
🌹🌹🌹🌹
Akhtar bernapas lega setelah pertemuannya dengan Tuan Robert berakhir. Kini ia berdiri di depan ruangannya, karena suster Laura mengajaknya mengobrol sebentar.
“Dokter Akhtar, apa... Rumah sakit kita akan terkenal jika berhasil melakukan operasi besar Tuan Robert?” tanya suster Laura dengan alis bertaut.
“Mungkin. Tuan Alden pasti akan bangga. Tapi... tergantung, operasinya seperti apa. Dan kita harus berdiskusi dengan Profesor Edward, biar bagaimana pun beliau lebih tahu.”
Bersambung...
Maaf, upload dikit dulu! Jangan lupa tinggalkan jejak, like dan komen🙏. Jadilah pembaca yang bijak😉