Prince play boy tingkat dewa yang sudah terkenal dengan ketampan nya, cukup dengan lirikan nya mampu membuat para kaum hawa menjerit histeris meminta Prince untuk menikahi mereka.
Suatu hari Prince mendapatkan tantangan untuk memacari siswi terjelek disekolah nya selama seminggu, namun jika ia menolak hukuman yang harus ia terima yaitu memutuskan semua pacar nya yang sudah tidak terhitung jumlah nya.
Prince mau tak mau menerima tantangan teman nya yaitu memacari adik kelas nya yang di cap siswi terjelek disekolah.
Berniat untuk mempermainkan adik kelas nya, Prince justru terjebak oleh permainan nya sendiri.
bagaimana kelanjutan nya, langsung cek sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Penulismalam4, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
perjalanan di mulai
Jam menunjukkan pukul 03:08 pagi.
Sebuah mobil hitam melaju perlahan menyusuri jalan bypass yang sunyi. Lampu sorotnya menembus kabut tipis yang menggantung rendah di sepanjang aspal, menciptakan siluet bayangan pepohonan yang menyeramkan.
Di dalam mobil:
Prince duduk di depan, menyetir dalam diam.
Tatapannya tajam, fokus, tapi sesekali melirik foto Margaret yang diselipkan di dashboard.
Karin di sampingnya, laptop terbuka di pangkuan, memantau sinyal GPS dan peta digital.
Di kursi belakang, Bian sibuk mengecek ulang perlengkapan: HT, senter, pisau lipat, dan makanan instan.
Andrew tertidur dengan earphone di telinga, sementara Gio menatap keluar jendela dengan gelisah.
“Argapura tinggal 45 kilometer lagi,” bisik Karin, memecah keheningan.
“Tapi… kabut makin tebal. Lo yakin mau terus?”
“Gue gak bisa berhenti sekarang,” balas Prince pelan.
“Margaret… nunggu.”
Gio bergumam dari belakang, “Lo pikir cewek itu masih hidup?”
Semua menoleh.
Tapi bukan karena pertanyaan itu kasar—lebih karena takut mendengar jawabannya.
Prince menjawab tanpa menoleh, “Dia masih hidup. Gue yakin.”
“Dan kalau kita salah?” tanya Bian.
Karin menjawab, “Kita tetap akan tahu sesuatu. Lebih baik salah karena mencari… daripada diam dan gak tahu apa-apa.”
Mobil terus melaju. Kabut makin tebal.
Sinyal mulai putus-putus. Peta digital Karin mulai buffering.
“Gue gak dapet sinyal lagi,” gumam Karin.
“Mulai dari sini, kita ngandelin peta offline dan insting.”
Tiba-tiba...
Suara berderak dari walkie-talkie.
HT yang disetel Bian menangkap frekuensi aneh.
"...hilang… kabut… jangan... kembali..."
Semua terdiam.
Andrew langsung duduk tegak. “Apa itu tadi?”
Bian menatap layar HT. “Frekuensinya… gak dikenal. Ini bukan dari alat kita.”
“Lu bercanda, kan?” tanya Gio, menegang.
Karin langsung mengecek jaringan.
“Gak ada sinyal eksternal. Itu siaran lokal. Kayak… sinyal dari sini.”
Prince menginjak rem pelan. Jalanan di depan menyempit, dikelilingi pepohonan tua.
“Kita berhenti sebentar. Gue mau lihat peta jalan kaki.”
Semua turun. Udara dingin menyambut mereka. Kabut begitu tebal sampai-sampai jarak pandang tak lebih dari 10 meter.
Karin membentangkan peta kertas. “Titik yang ditandai di pesan itu... kira-kira dua kilometer dari sini. Lewat jalur hutan kecil ini.”
Gio bergumam, “Gila ini mah... film horor.”
Bian menyalakan senter. “Berarti kita lanjut jalan kaki.”
Prince menatap ke arah hutan yang tertutup kabut.
“Tunggu, Yang… sebentar lagi gue bakal nemuin lo.”
_________________
Kabut makin menebal.
Mobil berhenti di pinggir jalan kecil yang menurun menuju hutan. Di hadapan mereka, hanya jalur setapak sempit yang hilang ditelan putihnya kabut. Hening, sepi, tak ada lampu jalan, hanya suara jangkrik dan detak degup jantung masing-masing.
“Oke, dari sini kita lanjut jalan kaki,” kata Prince sambil mengecek tali ranselnya.
Bian sudah menyalakan senter. Andrew mengangkat HT untuk memastikan koneksi. Karin menatap peta di tangannya, memastikan arah.
Lalu…
“Eh, ini serius kita masuk ke dalam hutan?” tanya Gio pelan.
“Karena, sumpah… suasananya kayak adegan pembuka film ‘The Forest 2’... di mana yang paling ganteng duluan mati.”
Karin menoleh, menahan tawa. “Yang paling ganteng? Berarti lo aman, Gi.”
“Woy!” protes Gio, mulutnya membulat.
“Gue tuh aset utama di grup ini, loh. Kalo gue ilang, siapa yang ngelawak?”
Andrew tertawa pelan. “Santai, Gi. Hantunya juga pasti malas ganggu lo, soalnya lo terlalu ribut.”
“Justru itu! Gue ribut biar gak dihantuin,” ujar Gio sambil memeluk tas kecilnya erat-erat.
“Gue nonton di channel horor, yang diem malah disamperin. Yang rame tuh selamat.”
Bian mengangkat alis. “Tapi biasanya yang banyak ngomong mati duluan.”
“Sialan, Bi. Jangan begitu dong, ini serius,” bisik Gio panik, mulai gelisah saat pohon-pohon mulai menaungi mereka.
Mereka tertawa kecil—bukan karena benar-benar rileks, tapi karena humor Gio jadi satu-satunya pelarian dari rasa tegang.
Langkah mereka semakin dalam ke jalur tanah yang becek. Cahaya dari senter Bian menembus kabut. Ranting patah di bawah kaki. Angin dingin menampar pipi.
“Gi,” bisik Andrew, “Lo tadi bilang ‘The Forest 2’? Emang ada filmnya?”
“Gak ada sih... tapi kan serem kalau dibuat sekuelnya di tempat kayak gini!”
Tiba-tiba—suara ranting patah dari arah semak-semak kiri.
“AAAH!! SETAN!!”
Gio langsung melompat dan bersembunyi di belakang Prince.
Prince menoleh cepat, senter diarahkan.
“Itu... cuma kucing hutan,” kata Bian datar.
Kucing kecil dengan mata kuning menyala kabur ke arah berlawanan. Semua hening… kecuali Gio, yang hampir menangis.
“Kucing apaan matanya kayak lampu motor!” bisiknya pelan.
Karin memeluk perutnya sambil tertawa. “Sabar, Gi. Kita belum nyampe titiknya aja, lo udah drama kayak film pendek.”
“Gue lebih milih jadi editor horor TikTok daripada masuk hutan beginian,” keluh Gio.
Tapi di balik kelucuannya… ada ketulusan. Tak peduli betapa takutnya dia, Gio tetap ikut. Karena Margaret… adalah teman mereka juga.
Perjalanan terus berlanjut. Semakin jauh, semakin gelap. Jam sudah menunjukkan pukul 04:02. Liora tinggal beberapa kilometer lagi.
“Sebentar lagi, Yang,” bisik Prince sambil menatap ke depan.
“Gue janji... gue gak akan pulang tanpa lo.”
Mereka berhenti sejenak di persimpangan hutan. Cahaya senter menyorot dua jalur kecil—satu ke kiri yang naik ke perbukitan, satu ke kanan yang menurun dan mulai dipenuhi kabut lebih tebal.
Karin kembali mengecek peta offline di ponselnya, bibirnya mengerucut.
“Gue gak yakin harus ambil kanan atau kiri,” gumamnya.
“Titik koordinat di pesan pertama… ada di antara dua jalur ini.”
Bian melihat sekeliling. Andrew sudah siap melacak jejak apa pun. Prince terdiam, matanya tak lepas dari kabut ke arah kanan.
Tiba-tiba…
Tring.
Notifikasi berbunyi.
Semuanya menoleh ke arah Karin, yang buru-buru membuka layar ponselnya.
“Dari nomor yang sama,” gumamnya, suara berubah tegang.
Pesan itu pendek.
Tapi cukup untuk membuat bulu kuduk berdiri.
📩 [Nomor Tidak Dikenal]
“Jangan ke kiri. Dia tidak di sana. Berjalanlah ke arah kabut. Jangan ragu. Aku membimbingmu… tanpa nama.”
“Gue makin takut ini bukan orang biasa,” bisik Gio, yang langsung berdiri rapat ke Andrew.
“Tapi yaudahlah... daripada ketemu hantu, mending ketemu harapan.”
Prince meraih ponsel Karin, membaca pesan itu berulang-ulang.
Matanya tajam. Rahangnya mengeras.
“Kita ambil kanan,” ujarnya mantap.
“Gue percaya… siapapun yang ngirim ini, dia tahu lebih dari kita.”
“Atau dia cuma mainin kita,” potong Bian hati-hati.
“Kalau iya, dia bisa kirim kita ke tempat kosong atau perangkap dari awal. Tapi dia selalu kasih petunjuk yang mengarah ke sesuatu,” balas Karin.
Gio mengangkat tangan. “Selama bukan ke arah hantu gondrong, gue ikut aja deh.”
Mereka melanjutkan perjalanan, mengikuti jalur ke kanan.
Kabut semakin tebal, menyelimuti tubuh-tubuh mereka.
Langkah kaki mereka menjejak tanah basah, suara ranting patah jadi satu-satunya pengiring.
Tapi… tak seorang pun tahu…
Di tempat jauh, seseorang mengawasi perjalanan mereka lewat layar. Tapi bukan Arkan.
Seseorang yang… punya alasan sendiri untuk membawa mereka menuju kebenaran.
Atau mungkin… menuju pilihan yang lebih pahit.