NovelToon NovelToon
Palasik Hantu Kepala Tanpa Tubuh

Palasik Hantu Kepala Tanpa Tubuh

Status: sedang berlangsung
Genre:Horor / Misteri / Iblis / Kutukan / Hantu / Tumbal
Popularitas:1.7k
Nilai: 5
Nama Author: iwax asin

Sebuah dusun tua di Sumatra Barat menyimpan kutukan lama: Palasik, makhluk mengerikan berupa kepala tanpa tubuh dengan usus menjuntai, yang hanya muncul di malam hari untuk menyerap darah bayi dan memakan janin dalam kandungan. Kutukan ini ternyata bukan hanya legenda, dan seseorang harus menyelami masa lalu berdarah keluarganya untuk menghentikan siklus teror yang telah berumur ratusan tahun.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon iwax asin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 21 Dusun Tersesat di Masa Silam

Mentari baru saja merangkak naik di ufuk timur. Udara terasa berbeda—lebih sejuk, lebih bersih. Langit tampak jernih tanpa kabel listrik melintang atau suara knalpot yang memecah pagi. Ucup memicingkan mata ke arah sawah yang luas membentang.

"Ini... dusun tua, beneran. Nggak ada tower sinyal, nggak ada listrik. Bahkan papan nama pun nggak ada."

Ajo mengangguk pelan. "Kita kejebak di masa lalu. Tapi pertanyaannya, tahun berapa ini?"

Bahri mengamati tulisan di sebuah papan bambu dekat pos ronda. Huruf-hurufnya lama, tapi bisa dibaca: Kampuang Binuang, Tahun 1883.

"Seratus empat puluh tahun ke belakang..." desis Bahri. "Kita berada di masa ketika legenda Palasik masih dianggap nyata dan ditakuti."

Tiba-tiba seorang anak kecil muncul dari balik pohon pisang. Wajahnya kotor, rambut acak-acakan, dan matanya ketakutan.

"Kakak... Palasik datang lagi. Bundo bilang jangan keluar rumah. Tapi aku lari... teman-temanku hilang satu-satu di tepi hutan."

Bahri berjongkok di hadapan anak itu. "Siapa namamu, nak?"

"Ranti. Aku tinggal di pinggir surau."

Reno menatap anak itu dengan iba. "Kita harus bantu mereka. Apapun yang terjadi, Palasik tak boleh mengambil anak-anak lagi."

Kampuang Binuang tampak seperti dusun kecil pada umumnya, namun warganya semua terlihat murung. Tak ada canda tawa di lapau, tak terdengar suara anak bermain petak umpet. Rumah-rumah ditutup rapat meski matahari telah tinggi.

Datuk Marajo, seorang tetua kampung, menerima mereka di beranda surau. Jubahnya kusam, janggutnya putih, dan sorot matanya lelah.

"Kalian bukan orang kampung sini. Tapi kalian datang saat yang tepat. Sudah empat malam berturut-turut, anak-anak kami lenyap menjelang maghrib. Tak ada jejak. Hanya bau amis dan bekas tanah lembek."

Bahri menjawab dengan tenang, "Kami pernah bertemu Palasik. Dan kami berhasil menyegelnya. Tapi sepertinya bagian dari kekuatan itu terlepas ke waktu ini."

Datuk mengangguk. "Kalian harus berbicara dengan Mak Tundun. Dia satu-satunya yang pernah selamat dari gigitan Palasik. Tapi dia sudah tua... dan kadang tak ingat dunia."

Mereka berjalan menuju pondok kecil di bawah pohon rambutan tua. Di sana, Mak Tundun duduk di bangku bambu, menatap langit tanpa kata. Wajahnya keriput, rambutnya memutih seluruhnya.

"Mak... ini ada yang mau bertanya," ujar Datuk Marajo pelan.

Bahri mendekat. "Kami ingin tahu... seperti apa Palasik yang Mak lihat waktu muda?"

Mak Tundun mengerjap. "Palasik... itu bukan cuma kepala. Dia bisa meniru suara. Meniru wajah. Tapi tubuhnya tak pernah utuh. Kalau dia muncul, bau kemenyan terbakar dan suara seperti tangisan bayi menyertai."

Ucup bergidik. "Jangan-jangan yang kemarin muncul di lorong waktu itu... hanya satu dari mereka."

Ajo menambahkan, "Atau... ini Palasik dari zaman dulu yang belum dikalahkan."

Malam mulai turun. Warga kampung menyalakan pelita, menutup jendela, dan menggantung daun sirih di setiap pintu. Bahri, Reno, Ajo, dan Ucup bersiap berjaga di tepi hutan.

"Kita harus menggiringnya keluar. Jangan biarkan dia menyentuh anak-anak kampung," tegas Bahri.

Ucup membawa karung berisi kacang dan garam. "Siapa tahu resep rahasia kita kemarin masih manjur."

Ajo nyengir. "Kalau nggak manjur, kita kabur duluan."

Angin malam bertiup lirih. Kabut turun perlahan. Lalu terdengar suara...

"Kakak... kakak... tolong..."

Mereka menoleh. Seorang anak kecil berdiri di tengah kabut, tubuhnya gemetar. Tapi Bahri mengangkat tangan.

"Itu bukan anak kampung. Lihat bayangannya. Tak ada."

Reno menghunus keris. Ucup menggenggam segenggam garam.

Tiba-tiba sosok itu berubah—kepala terlepas dari tubuh, melayang-layang dengan rambut menjuntai dan mata menyala merah. Suara tangisan bayi bergema di sekeliling.

"Itu dia... Palasik!" teriak Ajo.

Pertempuran kembali dimulai. Tapi kali ini, di masa lalu, di kampung yang belum mengenal listrik, mereka harus menggunakan apa pun yang ada: mantra, senjata tradisional, keberanian... dan kacang.

Angin malam mulai meniup daun-daun nyiur di tepi Kampuang Binuang. Kabut menggantung rendah. Cahaya pelita yang dibawa Ucup bergetar lemah, seolah ragu-ragu menerangi jalan setapak di pinggir hutan.

“Cup, kau yakin pelita ini cukup?” tanya Ajo, matanya menyapu gelap di sekitar.

“Ya nggak yakin juga sih,” jawab Ucup jujur. “Tapi ini yang dikasih Mak Tundun. Katanya pelita dari minyak kemiri bisa buat Palasik gak betah.”

Reno menatap hutan yang seperti menyimpan napasnya. “Tapi kalau Palasiknya dari zaman dulu banget, bisa-bisa dia udah kebal kemiri.”

Bahri memelototi Reno. “Jangan sembarangan ngomong. Kata-katamu bisa jadi doa.”

“Aku doa yang baik kok. Maksudku, semoga Palasik-nya... nyasar ke tempat lain.”

Mereka tertawa pelan, meski rasa tegang belum juga hilang.

Dari arah kiri, terdengar suara ranting patah. Ucup langsung meloncat ke belakang Ajo.

“Apa itu?!”

“Tenang, itu cuma—”

Sebelum Ajo selesai bicara, suara tangis bayi terdengar sayup. Mereka serempak diam.

“Dengar nggak?” bisik Reno.

“Dengar. Dan itu... dari arah ladang belakang,” kata Bahri. Ia segera merogoh kantong dan mengeluarkan garam serta daun sirih kering.

Ucup menggenggam pelita kuat-kuat. “Kita deketin atau kabur?”

“Kita deketin,” kata Bahri tegas. “Kalau kabur, siapa yang jaga anak-anak kampung?”

Ajo menepuk punggung Ucup. “Anggap aja ini film horor. Tapi kita tokoh utamanya.”

Mereka mulai melangkah pelan ke arah suara. Kabut makin pekat. Sosok-sosok samar terlihat di antara batang pohon.

“Eh... itu orang?” bisik Reno.

“Bukan. Bayangan. Jangan ditatap lama-lama,” sahut Bahri.

Tiba-tiba, salah satu bayangan melesat cepat ke arah mereka. Ajo mengayunkan parang. Sosok itu menjerit, lalu menghilang dalam semburat hitam.

“Wah! Itu bukan bayangan biasa!”

“Makhluk pengganggu. Sisa-sisa energi Palasik yang belum sempat menyatu,” jelas Bahri.

Ucup menoleh ke Reno. “Kau bawa keris, kan?”

“Bawa. Tapi kalau Palasiknya kepala terbang lagi, aku mundur dua langkah duluan.”

“Tak masalah. Aku maju satu langkah. Sisanya kita tinggal teriak bareng-bareng.”

Tawa kecil meletup meski suasana masih mencekam.

Tak lama kemudian, mereka tiba di sebuah tanah lapang kecil di balik hutan. Di tengahnya, tampak sosok kecil membelakangi mereka. Rambutnya panjang, bajunya compang-camping.

“Anak-anak?” panggil Bahri pelan.

Sosok itu menoleh.

“Bukan...” desis Reno.

Wajah sosok itu datar, matanya kosong, dan mulutnya tak berhenti bergerak seperti mengunyah. Tapi tak ada makanan.

“Cup...” bisik Ajo. “Itu bukan anak. Itu Palasik muda.”

Seketika, tubuh sosok itu melayang. Kepala terangkat dari tubuhnya, terbang pelan, rambut menjuntai seperti akar.

“Formasi! Segera!” teriak Bahri.

Mereka membentuk lingkaran. Reno menghunus keris, Ajo dengan parangnya, Ucup menyalakan pelita dan melempar kacang ke tengah lingkaran.

“Kacang lagi?!” teriak Reno.

“Ini kacang baru. Yang disangrai!”

Sinar dari pelita tiba-tiba membesar saat garam dilempar ke tanah. Sosok Palasik berteriak keras, lalu terbang melesat ke atas dan menghilang.

Mereka terdiam sejenak, napas terengah.

“Apa itu... sudah selesai?” tanya Reno.

“Belum,” jawab Bahri. “Itu cuma pembuka. Palasik yang sebenarnya... masih di balik bayang-bayang kampung ini.”

Ucup menjatuhkan diri ke tanah. “Astaga... tolonglah, kasih kita jeda satu malam. Badan udah remuk.”

Ajo tertawa. “Kalau sempat tidur, mimpi pun pasti horor.”

Bahri berdiri dan menatap jauh ke arah kampung. “Besok kita ke surau tua di belakang bukit. Menurut Mak Tundun, di sana pernah ada ritual penyegelan yang gagal. Mungkin itu kuncinya.”

Reno mengangguk. “Kita harus segera akhiri semua ini... sebelum sejarah kembali berulang.”

Kabut mulai mengangkat. Tapi mereka tahu, malam-malam di Kampuang Binuang belum akan tenang.

1
Hesti Bahariawati
tegang
Yuli a
mereka ini bercandaan mulu ih...

biar nggak tegang kali ya... kan bahaya...😂😂
Yuli a
ada ya.... club anti miskin.... jadi pingin ikutan deh...🤭🤭
Yuli a
mampir kesini rekom KK @Siti H katanya penulisannya tertata rapi dan baik...
semangat Thor... semoga sukse...
Siti H
Semoga Sukses Thor. penulisanmu cukup baik dan tatabahasa yang indah.
Yuli a: atau karma ajian jaran goyang sih...🤔
Siti H: tapi sekilas doang... cuma jadi Pemeran viguran, klau gak salah di gasiang tengkorak🤣
total 5 replies
Siti Yatmi
ajo JD bikin suasana ga seremmm
Siti Yatmi
wk2 ajo ada2 aja...org lg tegang juga
Siti Yatmi
ih....takut....
Yuli a: ih... takut apa...?
total 1 replies
Siti Yatmi
baru mulai baca eh, udah serem aja..wk2
Yuli a: 👻👻👻👻👻👻
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!