Zee dan Zia adalah saudara kembar tak identik yang bersekolah di tempat berbeda. Zia, sang adik, bersekolah di asrama milik keluarganya, namun identitasnya sebagai pemilik asrama dirahasiakan. Sementara Zee, si kakak, bersekolah di sekolah internasional yang juga dikelola keluarganya.
Suatu hari, Zee menerima kabar bahwa Zia meninggal dunia setelah jatuh dari rooftop. Kabar itu menghancurkan dunianya. Namun, kematian Zia menyimpan misteri yang perlahan terungkap...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nona Jmn, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bukan Sekedar Duduk Bersama
"Zee..."
Viola dan Zee menoleh bersamaan. Tampak Leo bersama geng inti Serigala menghampiri mereka.
“Kalian duduk di bangku kami aja,” ujar Leo ramah.
“Iya, duduk bareng kita aja. Boleh kan, Pak Ketua?” tanya Raka sambil melirik Rey.
Rey terdiam sejenak sebelum akhirnya mengangguk pelan, tanda setuju.
"Ayo, Zee, Vio. Pak Ketua udah ngasih lampu hijau," ajak Leo sambil spontan menarik tangan Zee dengan santai.
Refleks, Zee menepis tangan itu dan menatap Leo tajam. Sekilas, tatapannya seperti pisau—dingin dan tak bisa ditembus. Leo pun mundur satu langkah tanpa sadar.
“Eh... maaf, refleks,” ucap Leo cepat, merasa bersalah.
Zee menghela napas pelan. Kalau bukan karena niatnya mendekati mereka untuk mengungkap kebenaran, dia sudah pasti menolak ajakan itu.
“Gak apa-apa. Tapi ingat batas,” ucap Zee dingin.
“Iya, maaf banget...”
•••
Geng Serigala memiliki ‘wilayah tetap’ di kantin—meja besar di sudut ruangan yang seolah jadi markas tak tertulis mereka. Di meja itu, makanan sudah tersedia. Hanya Leo dan Raka yang banyak bicara, sementara Rey, Radit, Zee, dan Viola lebih banyak diam. Viola tampak sedikit canggung duduk di antara para cowok populer di sekolah-tempat yang biasanya hanya bisa dia lihat dari jauh.
Sementara itu, isi kantin menjadi ramai oleh bisik-bisik. Pemandangan Zee dan Viola duduk di meja Geng Serigala adalah hal yang tak biasa—bahkan membuat beberapa siswa menatap iri dan berharap bisa berada di posisi mereka.
“Zee, boleh nanya dikit gak?" tanya Leo pelan, mencoba membuka percakapan.
Zee mengangkat wajahnya. “Boleh,” jawabnya singkat, masih berusaha membangun kedekatan dengan ketiga cowok R itu.
Leo tersenyum kecil, merasa Zee sudah mulai membuka diri. “Lo pindahan dari mana sih?”
“Wolfe Alexander School,” jawab Zee, tetap datar.
“Pantesan. Lo langsung masuk kelas unggulan. Sekolah itu kan setara sama sini,” sahut Raka kagum.
“Bukan cuma setara, malah katanya Wolfe Academy sama sekolah ini punya pemilik yang sama-keluarga Wolfe," tambah Leo.
Zee terdiam. Andai saja mereka tahu, keluarga Wolfe itu adalah... keluarganya sendiri.
Jawabannya singkat, tapi kini Zee tak lagi terlalu menutup diri. Ia mulai membuka celah—cukup untuk sebuah pendekatan. Leo dan Raka tampak makin antusias mengajak ngobrol, sesekali juga melibatkan Viola agar gadis itu tak merasa terasing.
Rey tetap diam. Tapi dari balik tatapan dinginnya, ia mengamati Zee dengan saksama—seperti mencoba membaca bahasa tubuhnya yang tertutup rapat. Tatapan itu... dingin, tapi dalam. Seperti sedang menelanjangi lapisan demi lapisan yang Zee sembunyikan, dari bahasa tubuh hingga kedipan matanya.
Dan Zee bisa merasakannya. Berkali-kali, mata mereka bersitatap, seperti ada permainan rahasia yang tak diucapkan.
•••
Dari kejauhan, geng Scarlet Nova memperhatikan mereka dari meja lain.
“Jadi beneran, Rey duduk bareng Zee,” bisik Klara, matanya menyipit.
"Dia tuh paling anti dekat cewek, tapi bisa duduk bareng Zee? apa jangan-jangan... dia naksir? tanya Olivia dengan nada penasaran.
“Mungkin Zee beda. Dia cantik, pintar, jago bela diri.. dan punya aura yang gak bisa diabaikan,” jawab Lili santai sambil melanjutkan makannya, tak sepeduli murid lain yang menatap dengan tatapan iri.
“Ingat kan, anak XII-C yang pernah dekatin Rey? Langsung di tolak tampah basa-basi," tambah Olivia.
“Mungkin karena Zee auranya beda... lebih kuat,” kata Klara pelan.
“Li, lo gak kesel? Lo kan selalu dijodohin sama Rey, Ketua Geng Serigala itu,” tanya Olivia menyorot Lili.
Lili menghela napas. “Cuma karena dijodohin bukan berarti gue harus nurut, kan?” ujar Lili santai. “Rey itu nyaris sempurna, iya. Tapi bukan berarti gue harus suka cuman kerana di jodohin.”
Lili menyingkirkan bungkus jajanan, lalu menatap dua temannya.
“Udah, gak usah bahas Rey terus. Fokus makan aja.”
••
Di kamar yang remang, seorang gadis terbaring diam di atas kasur, tubuhnya nyaris tak bergerak. Matanya menatap langit senja dari balik jendela, pikirannya melayang entah ke mana.
Ting!
Suara notifikasi ponsel memecah keheningan.
Dengan malas, gadis itu merogoh saku seragamnya yang masih ia kenakan. Di layar, muncul sebuah pesan dari kontak yang hanya ditandai dengan emoji hati berwarna putih.
“Kamu di mana?”
Isi pesan itu singkat, tapi cukup membuat alisnya sedikit terangkat.
“Kamar.”
Ia membalas tanpa basa-basi.
Tak lama setelah balasan itu terkirim, ponselnya berdering. Nama pengirim pesan tadi kini muncul sebagai penelepon. Gadis itu menghela napas pelan sebelum akhirnya mengangkat panggilan itu.
“Kamu kenapa?”
Suara pria di seberang terdengar cemas.“Kamu kenapa? Hari ini kamu beda. Aku ngerasa ada yang berubah... kalau aku salah, bilang. Tapi tolong jangan diam aja. Aku gak tenang lihat kamu kayak gini, sayang”
Gadis itu menatap langit yang mulai kehilangan cahayanya, lalu menjawab pelan,
“Insiden kantin.”
Di seberang, terdengar helaan napas.
“Kamu lihat sendiri, aku tetap jaga batas. Tolong jangan marah ya... kamu tahu kan sifat aku gimana. Aku nggak bermaksud bikin kamu kesal.”
Nada pria itu lembut, penuh penyesalan.
Gadis itu hanya menggumam pelan,
“Hmm.”
Terdengar suara napas berat dari seberang sana, sebelum pria itu kembali berbicara.
“Besok, temenin aku jalan-jalan, ya? Cuma kita berdua. Aku pengen perbaiki semuanya... pengen lihat senyum kamu lagi.”