NovelToon NovelToon
Ketika Bar-Bar Bertemu Sabar

Ketika Bar-Bar Bertemu Sabar

Status: sedang berlangsung
Genre:Romansa pedesaan / Diam-Diam Cinta / Cinta setelah menikah / Cintamanis / Cinta Seiring Waktu
Popularitas:3.5k
Nilai: 5
Nama Author: ijah hodijah

Aira, gadis kota yang bar-bar dan suka bebas berekspresi, terpaksa ikut orang tuanya pindah ke kampung.

Di sana hidup lebih tenang, katanya... padahal justru membuat hidup Aira jungkir balik.

Setiap hari ia bersitegang dengan Ustadz Fathur, ustadz muda yang kelewat sabar tapi cerewet soal adab dan pakaian.

Yang satu bar-bar, yang satu sabar... tapi sabar juga ada batasnya, kan?

Dan saat perdebatan mereka mulai jadi bahan berita sekampung, Ustadz Fathur malah nekat melamar Aira…

Bukan karena cinta, tapi karena ingin mendidik.
Masalahnya, siapa yang akhirnya lebih dulu jatuh cinta... si bar-bar atau si sabar?

Baca selengkapnya hanya di NovelToon.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ijah hodijah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 5

Seketika Aira... yang baru saja menggombal tanpa 0tak... langsung freeze.

Wajahnya memanas.

Otaknya ngeblank.

“Ni… nikah…?”

“Iya.”

Ustadz Fathur menjawab calm... secalm-calmnya.

Aira saking paniknya, refleks melempar HPnya ke samping...

BYUUUP!

Masuk selokan yang ada air mengalirnya.

“HUAAAAAAAAA!!! MAMAAAAAAA!!! HP AKUUUU!!”

Dia langsung lompat ke tepi selokan, jongkok, tangan masuk ke air sambil panik.

Ustadz Fathur buru-buru turun dari motor, menahan tawa yang hampir pecah.

“Neng… Neng sabar dulu. Masih hidup itu HP-nya?”

“Huhuhu... Mati! Kena air!”

“Tadi juga saya belum bilang harus nikah sama saya, kan…”

“USTAAADZ!!”

Aira memukul-mukul air selokan, makin belepotan lumpur di ujung celananya.

Ustadz Fathur akhirnya membantu mengambilkan HP itu. Ia menyerahkan pelan-pelan.

“Nih, Neng. Simpan dulu. Taruh beras nanti. InsyaAllah masih bisa.”

Aira menerima dengan tangan bergetar.

“Aku mau pulang, Ustadz…”

“Bagus. Pulang. Sekalian ganti baju.”

Aira memelotot.

Ustadz Fathur hanya tersenyum... senyum yang membuat para santri meleleh, tapi buat Aira justru makin kesel.

Aira berjalan pulang dengan sisa harga diri yang entah tinggal berapa persen.

HP-nya digenggam erat-erat, masih meneteskan air selokan yang coklat.

Ustadz Fathur mengantar sampai pertigaan saja sebelum belok ke arah pondok.

“Assalamualaikum, Neng Aira. Hati-hati ya.”

“Waalaikumussalam…” Aira menjawab lemas tanpa semangat.

Setelah motor Ustadz Fathur menjauh, Aira langsung manyun keras.

“Gara-gara dia… aku yang panik… aku yang malu… HP aku yang tenggelam… kenapaaa hidupku begini…”

Ia mengomel sepanjang jalan seperti orang yang habis kena zonk tiga kali berturut-turut.

Begitu mendekati rumah, Bu Maryam yang sedang menyapu halaman melihat Aira dari jauh. “Astaghfirullah, Airaaa… kenapa kamu basah lagi?”

Aira mengangkat HPnya tinggi-tinggi, wajah nelangsa. “Ma… HP-ku mati tenggelam…”

Bu Maryam menahan tawa sambil menutup mulut pakai tangan. “Lho kok bisa tenggelam? Kamu berenang di mana?”

“SEL… selokan, Ma…”

Mukanya memerah malu.

Pak Hadi yang sedang duduk di teras ikut menoleh. Melihat Aira basah sampai ujung celana dan baju tipis menempel, beliau menghela napas panjang.

“Aduh, Ra… Ra…”

“Pa… jangan ceramah dulu. Aku sudah cukup menderita.”

Bu Maryam mendekat dan akhirnya tidak tahan lagi.

“Hahaha… Aira, Aira… baru sehari di kampung sudah dua kali pulang dalam kondisi basah dan berlumpur.”

Aira manyun makin dalam.

“MAA… jangan ketawa. Aku lagi sedih.”

“Iya, iya… maaf. Cuma… ya Allah, Nak… kamu ini kenapa nggak pulang ganti baju dulu?”

Aira jawab jujur sambil frustrasi:

“AKU CARI SINYAL, MA!”

Pak Hadi menggeleng-geleng sambil ikut terkekeh. “Sinyal kamu dapat?”

“Enggak.”

“HP kamu selamat?”

“Mati.”

“Dan kamu tetap pakai baju kurang bahan itu?”

“PAPA!! Mau beli paket dataaa!!”

Bukannya kasihan, Pak Hadi malah tertawa kecil.

“Maaf Ustadz,” ucap Pak Hadi sambil menahan tawa, teringat pada pertemuan tadi saat shalat subuh. Mereka kembali ngobrol banyak yang ujung-ujungnya pasti meminta pendapat tentang Aira. “Dia ini kalau sudah kemauan, suka nggak mikir dulu.”

Aira melempar pandangan mendongkol. “Pa… jangan cerita-cerita ke Ustadz!”

Bu Maryam mengusap kepala Aira meski sambil cengengesan. “Sudah… sudah. Sana mandi lagi, ganti baju yang benar. Nanti Mama buatin teh hangat.”

“HP-ku, Ma…”

“Simpan di beras. Biar berdoa semoga nyala lagi.”

Aira menghela napas dramatik. “Aku… mau pindah balik ke kota…”

Pak Hadi langsung menatap tajam. “Lah! Ini nih yang Papa bilang nggak bisa tinggal sendirian di kota. Baru di kampung sehari aja HP tenggelam di selokan.”

Aira mengerucutkan bibir sambil masuk rumah dengan langkah gontai.

“Aku benci kampung…”

“Nanti juga kamu suka,” jawab Bu Maryam dari belakang sambil tertawa kecil.

Dan… di kejauhan, tanpa Aira sadari, beberapa warga yang tadi melihat Aira berpapasan dengan Ustadz Fathur sudah mulai bisik-bisik panas.

“Cantik juga ya… tapi bajunya…”

“Kasihan Ustadz Fathur, sabarnya diuji kayaknya.”

***

Di lain tempat.

Motor bebek hitam Ustadz Fathur masuk ke halaman pesantren. Suasana sore itu ramai... santri putra sedang beres-beres halaman, beberapa santri putri baru selesai kajian. Angin lembut membawa aroma rumput dan tanah basah, khas kampung yang damai.

Santri-santri yang melihat Ustadz Fathur datang langsung bereaksi.

“Assalamualaikum, Ustadz!”

“Waalaikumussalam, Ustadz Fathur!”

“Ustaaadz… telat nih, biasanya lebih awal!”

Ustadz Fathur tersenyum ramah, menurunkan tas kecil dari motornya.

“Waalaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh. Maaf, tadi ada urusan di kampung sebelah.”

Santri laki-laki yang masih remaja saling senggol.

“Urusan apa, Tadz? Tadi lewat katanya neng Aira… itu… yang dari kota…”

Ustadz Fathur hanya mengeluarkan batuk kecil.

“Jangan banyak tanya. Ayo masuk kelas, waktunya belajar.”

Santri langsung cekikikan. Mereka tahu karena santri di pesantren sana bukan santri yang mondok saja, tapi santri 'kalong' yang juga ke pondok untuk mengaji di sore hari. Jadi berita itu cepat menyebar.

Begitu langkah Ustadz Fathur memasuki ruang kelas kecil berlantai semen yang bersih itu, para santri putri sudah duduk rapi dengan buku catatan dan mushaf di depan mereka.

Beberapa wajah langsung berbinar.

“Assalamualaikum, Ustadz…”

Nada suara mereka lembut—sedikit terlalu lembut—dan saling melirik teman-temannya.

“Waalaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh.”

Ustadz Fathur tersenyum sopan, duduk di kursi kayu di depan kelas.

Santri-santri putri memang terkenal “nge-fans” berat. Ustadz Fathur bukan hanya tampan, tapi suaranya teduh, cara ngajarnya lembut, dan sabarnya tak pernah habis.

Hari ini pun sama... tatapan mereka berbunga-bunga.

Tapi santri laki-laki yang duduk di bagian belakang malah saling membisik-dengus menahan tawa.

“Sepertinya Ustadz habis bertemu Neng kota itu…”

“Iya ya, masa tadi bajunya…”

“Ssssst! Nanti ditegur!”

Ustadz Fathur memulai kelas seperti biasa—membahas tafsir pendek tentang adab seorang muslim, terutama tentang berpakaian sopan.

Para santri putri menyimak serius.

Para santri putra melirik-lirik sambil menggoda dari belakang.

Sampai akhirnya…

Salah satu santri putra, Sabil, mengangkat tangan.

“Ustadz… kalau ada orang baru yang belum faham aturan kampung, terus bajunya… ehm… kurang bahan… itu masuknya bab apa ya, Tadz?”

Seluruh kelas menoleh spontan.

Santri putri langsung menahan tawa sambil tutup mulut.

Ustadz Fathur hanya diam beberapa detik… menarik napas panjang… menatap lembut tapi tegas. “Masuk bab tugas kita semua untuk menasihati dengan baik.”

“Oooh… jadi Ustadz udah...”

“Sabil.”

“Iya, Tadz.”

“Diam.”

Satu kelas meledak tertawa.

Namun Ustadz Fathur tetap tenang.

Tak satu pun dari mereka tahu kalau tadi sebelum ke pesantren, dia benar-benar menolong Aira… yang bajunya… ya… seperti yang mereka bayangkan.

Saat kelas selesai, semua beranjak keluar. Santri putri salah satu bernama Hani mendekat dengan senyum tipis.

“Ustadz… kalau ada gadis kota baru… cantik ya katanya?”

“Hani.”

“Iya, Ustadz?”

“Belajar dulu. Jangan kepo.”

Hani manyun, teman-temannya cekikikan.

Ustadz Fathur menyimpan buku, lalu menghela napas kecil.

“Ya Allah… baru sehari gadis itu datang, kampung sudah ramai.”

Ia tidak tahu bahwa di rumah, Aira sedang memandangi HP-nya yang dikubur dalam beras sambil mondar-mandir penuh frustasi.

***

Siang beranjak pelan-pelan di kampung itu. Angin lembut membawa aroma tanah basah, ayam berkokok, suara anak kecil yang bermain terdengar samar di beberapa tempat.

Di warung kecil dekat mushala, beberapa ibu-ibu sedang duduk sambil menumbuk bawang, sekalian menunggu bapak-bapak selesai ngobrol selepas Isya.

Mereka bukan tipe warga yang jahat atau suka membicarakan orang dengan niat buruk. Mereka hanya… penasaran.

Semacam gossip ringan edisi kampung.

Seperri sekarang di warung Mak Wiji

“Bu, tadi saya lihat anaknya Pak Hadi… yang dari kota itu…” ujar Bu Wini sambil mengaduk teh manis.

“Aira, ya?” sahut Bu Lastri.

“Iya, itu. Cantik lho orangnya,”

“Iya, cantik… cuma bajunya… aduh…” Bu Rukmini menutup mulut sambil tertawa geli.

“Namanya juga anak kota, Bu. Mungkin belum ngerti kebiasaan sini,” tambah Mak Wiji, pemilik warung. Nada suaranya lembut, tidak menyudutkan.

Bu Lastri mengangguk.

“Ya, kita maklum aja dulu. Lagian barusan pindah. Nanti juga terbiasa. Asal pelan-pelan.”

“Iya benar. Soalnya tadi katanya Ustadz Fathur yang nemuin dia di jalan,” bisik Bu Wini, lebih pada ekspresi seru ketimbang jahat.

“Haah, masa?”

“Iya. Katanya anaknya Pak Hadi itu tersesat ke sawah.”

Semua langsung tertawa pelan.

Bukan mengejek... lebih kepada lucu, gemas melihat tingkah khas gadis kota yang baru pertama kali hidup di desa.

“Kasihan juga ya, pasti kaget pindah ke kampung begini,” komentar Bu Rukmini lembut.

“Iya. Saya aja kalau pindah ke kota pasti kaget juga.”

Mereka setuju dan anggukan kembali terdengar.

“Yang penting jangan ada warga yang bicaranya kasar. Biarin anak itu adaptasi sendiri.”

Obrolan mengalir ringan, penuh nada toleransi khas warga kampung yang sederhana.

Di sisi lain, tepatnya di teras mushala.

Beberapa bapak juga berbicara santai.

Pak Seno menyeduh kopi, lalu berkata: “Tadi saya dengar Aira kembali dari sawah bajunya kotor semua.”

Pak Jaya tertawa kecil. “Yaa namanya juga nggak hafal jalan. Kita aja dulu waktu kecil ya begitu.”

Pak Daud nyeletuk sambil senyum: “Yang penting orang baru itu diajak baik-baik. Jangan sampai merasa nggak nyaman.”

“Betul. Biar Pak Hadi juga betah. Soalnya mereka juga sebenarnya asli orang sini.”

Mereka tidak membahas berlebihan. Tidak ada yang menjelekkan... hanya penasaran dan khawatir kalau gadis kota itu nanti merasa tidak betah.

Setelah pulang dari pondok, Ustadz Fathur pulang ke rumahnya. Ia berjalan kaki melewati halaman mushala setelah menaruh motornya di halaman mushala. Beberapa bapak menyapanya. “Assalamualaikum, Ustadz.”

“Waalaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh.”

Pak Seno memanggilnya pelan. “Tadz… tadi ketemu anaknya Pak Hadi, ya?”

Ustadz Fathur mengangguk tenang. “Iya, Pak. Dia lagi cari sinyal.”

Semua bapak langsung OHHH dan tertawa kecil, tapi nada mereka tidak jahat, justru iba.

“Kasihan juga ya, baru datang sudah nyasar.”

“Nanti juga terbiasa, Pak,” jawab Ustadz Fathur, tetap tersenyum. “Saya tadi sudah bilang baik-baik soal pakaiannya. Namanya juga beda lingkungan.”

Pak Jaya menepuk bahu ustadz. “Bagus, Tadz. Memberi tahu itu baik. Yang penting lembut. Anak kota begitu biasanya sensitif.”

“InsyaAllah saya usahakan begitu,” jawabnya tenang.

Kembali ke Aira.

Di rumah Pak Hadi, Aira sedang membongkar beras, memeriksa HP-nya yang masih mati.

Dia stres, tapi belum tahu bahwa satu kampung sedang membicarakannya… dengan cara yang justru hangat.

Warga kampung ini bukan tipe yang mengintimidasi—mereka hanya penasaran dan berharap Aira cepat betah.

Aira sedang menjemur sepatu yang masih basah lumpur ketika suara anak-anak kecil terdengar dari luar pagar.

“Itu tuh, itu Kak Aira yang tadi tersesat!”

“Iyaaa… yang ke sawah ketemu bebek!”

“Lucu banget kaaan!”

Anak-anak itu tertawa sambil lari-lari.

Aira mematung. Mulutnya menganga… lalu wajahnya memerah.

Dia buru-buru masuk rumah sambil mendengus.

“Ma!” Aira duduk dramatis di kursi ruang tamu. “Lihat tuh anak kecil juga ngomongin aku!”

Bersambung

1
Ilfa Yarni
aku kli baca cerita Aira ini ketawa sendiri ada aja celotehannya itu nanti ustdz Fatur bisa awet muda nikah sama aira
Rian Moontero
lanjuuuttt😍
Ijah Khadijah: Siap kak. Ditunggu kelanjutannya
total 1 replies
Ilfa Yarni
ya udah nanti ustadz tinggal drmh Aira aja toh Aira ank tunggal pasti orang tuanya senang deh
Ilfa Yarni
wallpapernya oke banget rhor
Ijah Khadijah: Iya kak. Ini diganti langsung sama Platformnya.
total 1 replies
Ilfa Yarni
bukan sama itu kyai sama Aira ank yg baru dtg dr kota
Ilfa Yarni
ya udah Terima aja napa sih ra
Ilfa Yarni
cieeee Aira mau nikah nih yee
Ilfa Yarni
cieee Aira dilamar ustadz Terima doooong
Ilfa Yarni
wah itu pasti laporan sijulid yg negor Aira td tuh
Ilfa Yarni
bagus Aira sebelum mengkoreksi orang koreksi diri dulu
Ilfa Yarni
klo dikmpg begitu ra kekeluargaannya tinggi
Ijah Khadijah: Betul itu. maklum dia belum pernah ke kampung kak
total 1 replies
Rina Nurvitasari
ceritanya bagus, lucu, keren dan menghibur TOP👍👍👍 SEMANGAT
Ijah Khadijah: Terima kasih kakak
total 1 replies
Ilfa Yarni
km lucu banget aura baik dan tulus lg sampe2 ustadz Fatur mengkhawatirkan km
Ilfa Yarni
aura jadi bahan ledekan dan olk2an mulu kasian jg eeeustadz Fatur nunduk2 suka ya sama neng aira
Ilfa Yarni
woi para santri Aira ga genit kok memang ustadz Fatur yg minjemin motornya
Ilfa Yarni
aduh Aira hati2 tar km jatuh lg
Ilfa Yarni
cieee begitu yg tadz okelah klo gitu nikah dulu dgn neng aira
Ilfa Yarni
Aira harus percaya diri dong km cantik lho warga kmpg aja mengakuinya aplg ustdz Fatur heheh
Ilfa Yarni
aaah ustadz Fatur sering amat nongki nongki dgn orangtua Aira suka ya sama neng aira
Ilfa Yarni
hahahahaha ke sawah pake baju kondangan aira2 km ya bikin ngakak aja
Ijah Khadijah: Salah kostum🤭🤭
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!