Keyz, pemuda berusia sekitar lima belas tahun tanpa sengaja menelan dua buah kristal kehidupan milik Gabrielle dan Lucifer.
Dua kekuatan yang bertolak belakang, cahaya dan kegelapan. Air dan Es. Menyelimuti dirinya.
Dan tiga kesadaran telah bersemayam di dalam jiwanya. Siapakah yang akhirnya nanti berkuasa atas tubuh Keyz?
Gabrielle?
Keyz sendiri?
Ataukah sang laknat dari neraka jahanam, Lucifer?
Ini sedikit berbeda dengan world without end yang sudah tamat, tapi akan saya tulis kembali dengan nuansa yang lebih mendalam. lebih gelap, dan lebih sadis. dan cerita yang sedikit berbeda.
dan pastinya, Keyz yang disini, bukan Keyz yang cemen!!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ady Irawan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
34. Ferzen, Naga Bumi
1
____________________________________________
Sudah dua minggu berlalu sejak Keyz, Diablo, dan Mimi tinggal di pulau kecil itu. Pulau yang tadinya sepi dan liar, kini perlahan berubah menjadi rumah. Sebuah tempat yang teduh, jauh dari perang, dari penderitaan, dan dari ingatan-ingatan buruk yang selalu menghantui tidur Keyz. Untuk pertama kalinya, ia merasakan sebuah kedamaian yang tak dipenuhi rasa bersalah, meski hanya untuk sementara.
Di pagi hari, Keyz selalu bangun lebih dulu. Ia akan berdiri di atas batu besar yang menjorok ke laut, memejamkan mata, merasakan hembusan angin asin dan suara debur ombak yang menghantam karang. Terkadang, dia membawa pedang hitamnya dan mengayunkannya beberapa kali, tidak untuk berlatih, hanya untuk memastikan dirinya masih hidup, dan masih punya tujuan.
Setelah itu, ia akan menjelajahi bagian hutan kecil yang tersisa di pulau itu. Berburu monster-monster kecil yang sesekali muncul dari semak atau gua tersembunyi. Tujuannya satu: mencari Drop Item. Tidak semua item bisa digunakan. Banyak dari mereka hanya berbentuk batu, bulu, atau lendir. Tapi sesekali, ada tanaman herbal, potongan daging segar, atau kristal kecil yang bisa dimakan dan memulihkan energi.
Diablo selalu ikut membantu. Iblis wanita itu, yang biasanya begitu tegas dan jarang tersenyum, ternyata sangat terampil dalam urusan rumah tangga. Tangan yang dulu digunakan untuk membantai dan menghancurkan, kini menanam bunga, menyiram pohon, dan merapikan dinding-dinding rumah yang dibangun dari kayu dan sihir putih milik Alice. Rumah itu tumbuh perlahan seperti organisme hidup, menyesuaikan bentuknya dengan kebutuhan mereka.
"Tanah di sebelah timur lebih gembur," kata Diablo suatu sore, sambil menanam bibit yang ditemukan Keyz di hutan. "Kita bisa tanam blueleaf di sana. Daunnya bisa dipakai untuk sup."
Keyz hanya mengangguk. Ia duduk bersila tak jauh dari sana, mengamati Diablo yang bekerja. Mimi juga ada di situ, duduk di atas akar pohon dengan mata berbinar. Gadis kecil itu—atau makhluk kecil itu—selalu penasaran dengan semua hal yang dilakukan Diablo.
"Blu... leaf..." gumam Mimi.
"Blueleaf," koreksi Diablo pelan.
"Blu... lif," ulang Mimi, kemudian tertawa kecil.
Setiap hari, Mimi selalu mengikuti Diablo. Jika Diablo mencuci peralatan makan di sungai kecil, Mimi duduk di sampingnya. Jika Diablo sedang memasak dengan tungku sederhana, Mimi akan duduk di bangku kecil, menatap api, lalu mengulang setiap kata yang keluar dari mulut Diablo seperti seorang murid yang menyerap pelajaran dunia.
"Potong kecil. Rebus dua menit. Tambah garam."
"Kecil. Rebus. Garam," ucap Mimi dengan mata berbinar. Kadang salah, tapi selalu mencoba.
Diablo tidak pernah memarahinya. Justru, tanpa sadar, dia mulai memperlakukan Mimi seperti adik kecilnya. Setiap kali Mimi salah menyebutkan sesuatu, Diablo akan menatapnya, menghela napas, dan mengulanginya lagi, lebih pelan, lebih sabar.
Dan hari demi hari berlalu.
Keyz mulai memperbagus pulau itu. Ia dan Diablo membuat jalur kecil dari batu, menghubungkan rumah ke tempat berburu, ke sungai, dan ke tebing tempat ia sering merenung. Mereka menanam pohon-pohon buah di sepanjang jalur itu. Bunga-bunga liar dikumpulkan dan ditanam ulang di sekitar rumah. Warna-warni kelopak yang bermekaran di pagi hari membuat tempat itu terlihat hidup. Hidup seperti tempat yang benar-benar pantas disebut rumah.
Di malam hari, mereka duduk bersama di depan api unggun. Makan malam sederhana, obrolan ringan. Kadang sunyi, tapi nyaman.
Dan di minggu kedua, sesuatu yang mengejutkan terjadi.
Mimi berubah.
Gadis kecil itu tak lagi hanya meniru. Ia mulai berbicara.
Bukan hanya satu atau dua kata. Tapi kalimat utuh. Pendek, tapi jelas.
"Tuan Keyz... kamu capek?" tanya Mimi suatu malam ketika Keyz baru pulang dari berburu.
Keyz tertegun. Ia menatap Mimi yang duduk dengan rapi, memegang segelas air.
"Aku.... Terima kasih, Mimi, tapi aku baik-baik saja." jawabnya.
Mimi tersenyum. Matanya tak lagi kosong seperti dulu. Ia bukan lagi sekadar kucing dalam tubuh manusia. Ia mulai memahami. Memproses. Bahkan memiliki rasa.
Diablo yang melihat perubahan itu hanya diam. Tapi matanya menatap Mimi dengan bangga. Mungkin tanpa sadar, dia telah menjadi sosok ibu bagi gadis kecil itu.
Dan Keyz... ia menyadari, bahwa dunia mereka bertiga perlahan berubah. Dari sekadar tempat pelarian... menjadi awal dari sesuatu yang baru. Sesuatu yang lebih penting dari peperangan atau masa lalu.
2
____________________________________________
Angin hutan Shadow Forest menyapa wajah Keyz saat tubuhnya muncul di antara pepohonan kelam, tepat di jalur berbatu yang dulunya pernah ia lalui bersama Lim. Gadis bertelinga anjing yang ceria itu kini hanya tinggal kenangan. Tempat ini, saksi bisu pertempuran mereka melawan Shadow Hound Alpha. Tempat di mana Lim mengukir tawa terakhirnya. Kini, hanya gema sunyi dan bayang-bayang ingatan yang menari di balik kabut tipis.
Keyz melangkah pelan. Setiap daun yang tersibak oleh lututnya mengeluarkan suara basah yang berat. Di tangannya, senjata tipis yang ia gunakan untuk berburu. Ia tahu betul bahwa di hutan ini masih berkeliaran Shadow Hound —makhluk karnivora bermata merah atau ungu yang matanya bersinar di balik gelap hutan.
Hari itu, Keyz berburu. Daging hasil Drop Item dari Shadow Hound menurutnya memiliki nilai nutrisi yang tinggi. Ia memburunya bukan untuk kekuatan, tapi untuk kebutuhan: untuk dirinya, untuk Diablo, dan untuk Mimi yang kini belajar menjadi manusia.
Beberapa jam berlalu. Aroma darah segar dari satu ekor Shadow Hound yang ia kalahkan masih melekat di udara. Tapi Keyz menghentikan langkahnya. Matanya menajam, menatap langit jauh di atas Ring Mountain—barisan pegunungan yang melingkari dunia ini seperti dinding raksasa.
Ada sesuatu.
Awan hitam.
Berputar-putar pekat di atas salah satu puncak. Bentuknya tak wajar. Petir mengular tanpa jeda, menyambar tanpa ritme, seolah marah, seolah memanggil sesuatu.
Keyz memejamkan mata. Sayap hitam yang selama ini ia anggap sebagai kutukan karena tidak bisa menggunakannya mulai berdenyut. Ia membuka sayap itu perlahan. Lembaran energi dan bulu pekat membentang, mengusik udara di sekitarnya.
"Baiklah," gumamnya. "Kita coba."
Satu kepakan—gagal. Tubuhnya hanya melayang sedikit, lalu jatuh lagi ke tanah.
Dua kepakan—dia naik lebih tinggi, tapi tak terkendali.
Tiga...
Empat...
Dan pada percobaan kelima, tubuhnya menembus batas pepohonan, melesat ke langit.
Udara dingin menampar wajahnya. Angin tipis menusuk kulitnya. Tapi dia bisa terbang. Manuvernya masih kasar, seperti anak burung yang baru mencoba meninggalkan sarang, tapi dia belajar cepat.
Dan saat ia yakin, dia melesat menuju puncak Ring Mountain yang diselimuti kegelapan itu.
Dari atas sana, dunia terlihat kecil. Bayangan pulau-pulau dan laut beku terbentang luas. Tapi perhatian Keyz tertambat pada satu titik: puncak itu.
Saat ia mendekat, Keyz melihat sesuatu yang awalnya ia sangka bukit besar di puncak gunung.
Tapi bukan.
Itu bukan batu. Bukan tanah. Bukan gunung biasa.
Itu tempurung.
Tempurung raksasa yang terukir dengan simbol-simbol kuno dan Rune. Permukaannya hitam kehijauan, seperti logam yang sudah terbakar terlalu lama. Dari balik tempurung itu, sebuah leher perlahan menjulur—berpola sisik tajam dan gemetar oleh tenaga yang baru saja dibangkitkan.
Kepalanya menjulang tinggi. Matanya kosong, tapi menyala dengan aura merah keunguan. Nafasnya saja menggetarkan udara. Seekor Naga. Tapi bukan Dragon Disaster.
Ini lebih besar.
Lebih mengerikan.
Enam puluh meter tinggi tubuhnya saat hanya separuh lehernya yang bangkit. Sisik-sisik di tubuhnya lebih keras dari baja, dan sayapnya masih terlipat di balik tempurung punggungnya. Namun keberadaannya saja sudah membuat bumi berguncang.
Keyz tertegun.
"Apa... ini...?"
Dia mencoba menghentikan laju terbangnya. Tapi dia belum sepenuhnya menguasai manuver udara. Tubuhnya melesat terlalu cepat. Terlalu dekat.
Dan...
—BLAR!!!—
Keyz menghantam kepala naga itu.
Tubuhnya terpental seperti daun disambar badai. Dunia berputar dalam pandangannya. Darah terasa hangat di bibirnya.
Namun sebelum segalanya menjadi gelap, ia sempat melihat satu mata raksasa naga itu menatapnya.
Dan dunia pun menggema oleh geraman yang mengguncang langit dan tanah sekaligus.
3
____________________________________________
Angin tinggi di langit Ring Mountain mendesis tajam, seperti bisikan dari zaman purba yang kembali hidup. Langit seolah berhenti bernafas. Petir masih menyambar, tapi tanpa gemuruh. Setelah menabrak kepala Naga itu semuanya... senyap. Tak ada suara selain desir angin, dan detak jantung Keyz yang menggebu tak beraturan di dalam dadanya.
Tubuhnya menggantung di udara, sayap hitam membentang, bergetar pelan oleh tekanan angin dan sisa kekuatan yang ia paksa untuk tetap aktif. Di hadapannya—hanya belasan meter di depan—Ferzen Earth Dragon berdiri.
Tidak bergerak.
Tidak bicara.
Namun dunia seolah menahan napas karenanya.
Mata Ferzen bagaikan lubang waktu. Di dalamnya ada kenangan, ribuan tahun tidur, kematian yang tak terhitung, kehancuran yang dilupakan oleh dunia, dan sesuatu yang lebih dalam: pengetahuan. Ia menatap makhluk kecil di depannya—Keyz—bukan sebagai lawan. Tapi... sebagai anomali.
Keyz tidak bicara.
Lidahnya kelu, otaknya tidak mampu menafsirkan makna dari apa yang ia lihat. Ini bukan naga seperti Dragon Disaster, yang liar dan brutal. Ferzen adalah sesuatu yang lebih... dahsyat. Seperti unsur. Seperti alam itu sendiri. Seolah Ring Mountain hanyalah kulitnya, dan bumi—tanah yang dipijak Keyz selama ini—adalah bagian dari tubuhnya yang tak terlihat.
Tatapan mereka bertemu.
Waktu seolah memanjang, seakan dunia menunda langkah selanjutnya.
Keyz, dengan napas tertahan, merasakan tekanan yang tak berbentuk. Seperti ada bebatuan raksasa yang menindih jiwanya. Tapi ia tidak mundur. Meski tubuhnya bergetar, dan setiap pori kulitnya menjerit untuk melarikan diri... matanya tetap menatap.
Sebuah hubungan terbentuk di antara mereka. Tanpa kata. Tanpa suara.
Ferzen menundukkan sedikit kepalanya, hanya beberapa inci, dan dari gerakan itu, Keyz bisa merasakan—makhluk ini sedang menilai.
Menilai keberadaannya.
Menilai siapa dia.
Dan... menilai apakah Keyz adalah ancaman... atau sesuatu yang lain.
Sekilas, mata Ferzen berkedip, dan seluruh awan di sekitar mereka terdorong keluar dalam pusaran besar. Guntur akhirnya menyusul, menabrak udara seperti ribuan meriam kuno yang dilepaskan serentak. Tapi Keyz tetap diam di tempatnya.
Ia bisa merasakan... sesuatu bergetar dalam dirinya.
Tidak hanya rasa takut.
Tapi juga rasa... dikenal.
Seolah Ferzen—entah bagaimana—mengenalnya. Atau setidaknya mengenali sesuatu dalam dirinya.
Mungkin sayap hitam itu.
Mungkin darah Lucifer.
Atau mungkin... Gabrielle yang juga bersemayam di dalam tubuhnya.
Dan tiba-tiba, Ferzen mengangkat satu cakarnya perlahan. Tidak untuk menyerang. Tapi hanya... mengangkat. Lalu menurunkannya kembali, ke tanah. Tanah bergetar pelan, tapi tidak meruntuh. Gerakan itu seperti... sebuah isyarat. Sebuah pertanda.
Dan Keyz merasa seolah ia baru saja… diizinkan untuk hidup.
Untuk saat ini.....
Lalu Ferzen menutup matanya perlahan.
Dan dalam sekejap, awan hitam di langit menyatu. Petir menyambar tidak lagi acak, tapi memusat. Menyatu di titik tengah puncak Ring Mountain.
Keyz mulai merasa ada yang salah.
Udara menjadi lebih panas.
Langit menjadi merah gelap.
Sesuatu... bangkit dari dalam gunung. Tapi bukan tubuh Ferzen. Bukan juga iblis.
Melainkan—sebuah celah.
Retakan halus di langit, seperti luka pada permukaan realitas itu sendiri.
Keyz menatapnya.
Seketika tubuhnya bergetar.
Itu bukan lubang biasa.
Itu seperti... gerbang.
Ferzen membuka kembali matanya. Tapi kali ini... matanya bersinar merah bata. Dalam cahayanya, tidak ada lagi ketenangan. Tidak ada lagi penilaian. Yang ada hanyalah satu hal.
Peringatan.
Dan tiba-tiba...
—CRAACKKK!!!—
Langit retak.
Satu retakan kecil.
Tapi dari sanalah, sebuah suara bergema...
Bukan suara naga.
Bukan Iblis.
Bukan manusia.
Tapi suara yang pernah ia dengar dalam mimpinya.
Dalam kenangan Lucifer.
Dalam bisikan di antara ruang dan waktu.
“Keyz... waktumu hampir habis.”
Tubuh Keyz membeku. Jantungnya seolah dihentakkan dari dalam.
Ferzen tidak bergerak.
Tapi tatapannya berkata jelas:
"Kau telah melihat. Kini, kau tidak bisa kembali lagi."
Dan di detik itu juga, angin menerjang dari segala arah. Sayap Keyz robek sebagian. Dunia berputar. Ia terlempar ke bawah. Ferzen menghilang dalam gelombang cahaya dan sesuatu yang runtuh dari langit.
Epilog.
____________________________________________
Bayangan Ferzen telah lenyap. Tapi kehadirannya masih tertinggal di tulang-tulang bumi.
Keyz terbangun di dasar lembah, entah berapa kilometer dari puncak Ring Mountain. Tubuhnya remuk. Sayap kirinya koyak, tulangnya mencuat tajam dan berdenyut menyakitkan. Pakaian bertabur debu magma dan jelaga langit. Tapi lebih dari itu semua—yang terasa bukan rasa sakit.
Yang terasa adalah kekosongan.
Tatapan itu.
Mata Ferzen.
Gerakan cakarnya.
Celah di langit.
Dan… suara itu.
“Keyz… waktumu hampir habis.” Suara Pino!!
Itu bukan peringatan biasa. Itu adalah hukuman yang belum jatuh. Kematian yang menunggu di balik tirai waktu.
Keyz memegangi dadanya. Detak jantungnya tak beraturan. Tapi bukan karena luka. Melainkan karena satu rasa yang sudah lama ia kubur sejak kejatuhan mengalah An-ku'ra atau bahkan jauh sebelumnya, saat hancurnya perkemahan:
Takut.
Untuk pertama kalinya… ia merasa kecil. Tak berdaya. Dan lebih buruknya lagi—terlambat.
Langit masih merah. Tapi tak ada badai. Hanya bekas luka… di cakrawala.
Keyz berdiri perlahan. Tertatih. Sayapnya menghilang kembali ke tubuh, dan beregenerasi. Angin membawa debu melayang di udara, dan di antara suara desir pepohonan yang terbakar, ia mendengar suara kecil di dalam dirinya. Bukan Gabrielle. Bukan Lucifer.
Tapi dirinya sendiri.
"Aku harus menjadi lebih kuat..."
THE END......