"Lebih baik, kau mati saja!"
Ucapan Bram membuat Cassandra membeku. Dia tidak menyangka sang suami dapat mengeluarkan pernyataan yang menyakiti hatinya. Memang kesalahannya memaksakan kehendak dalam perjodohan mereka hingga keduanya terjebak dalam pernikahan ini. Akan tetapi, dia pikir dapat meraih cinta Bramastya.
Namun, semua hanya khayalan dari Cassandra Bram tidak pernah menginginkannya, dia hanya menyukai Raina.
Hingga, keinginan Bram menjadi kenyataan. Cassandra mengalami kecelakaan hingga dinyatakan meninggal dunia.
"Tidak! Kalian bohong! Dia tidak mungkin mati!"
Apakah yang terjadi selanjutnya? Akankah Bram mendapatkan kesempatan kedua?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Miss Yune, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
34. Melahirkan
Pemulihan kondisi Bram cukup membutuhkan waktu yang lama, Cassie dengan sabar merawat Bram hingga pulih. Kandungan Cassie sudah membesar, mereka memutuskan untuk tinggal di New York. Masalah di perusahaan Bram sudah dapat teratasi. Bantuan keluaga Cassie mempermudah segalanya.
Bila mengingat perbuatan Bram yang mengacuhkan Cassie, keluarga Wijaya mungkin bisa memalingkan wajah ketika Bram mengalami keterpurukan. Namun, pria itu menunjukkan keseriusannya. Bahkan, Bram tidak pernah lagi menyinggung Raina dalam keseharian mereka. Wanita itu telah dijatuhi hukuman tiga tahun penjara karena telah membohongi publik dan mencemarkan nama baik Bram.
Keduanya, membeli rumah kecil di kota New York. Bram memilih untuk mengembangkan perusahaan keluarganya dibandingkan kembali ke Indonesia. Dia tidak ingin sang istri kembali mengingat tentang masa lalu mereka.
Kemudian, di tengah malam, Cassie terbangun dengan kening berkeringat. Perutnya menegang, dan rasa nyeri yang semula hanya samar, kini menyayat tajam dari dalam.
“Aah…” desahnya lirih sambil memegangi sisi tempat tidur. Nafasnya memburu. Ia menatap jam dinding yang menunjuk pukul 01.12 dini hari.
“Bram,” panggilnya serak.
Bram yang terlelap di sebelahnya segera terbangun dan bangkit dengan panik. “Cassie? Kontraksi lagi?”
Cassie hanya mengangguk pelan, tak sanggup berkata-kata. Air matanya mulai menetes karena rasa sakit yang datang makin intens. Bram segera menghampirinya dan menopang tubuh Cassie.
“Oke, kita ke rumah sakit sekarang. Pelan-pelan, ya. Kamu kuat, Sayang.”
Tapi langkah mereka tertahan saat Cassie tiba-tiba berhenti di ambang pintu, meringkuk dan mengerang. Cairan bening mengalir di bawah gaunnya.
“Bram... air ketubanku pecah...” ucapnya gemetar.
Wajah Bram memucat. Tanpa pikir panjang, ia mengangkat Cassie dan menurunkannya ke mobil. Malam itu, dengan hujan mulai turun rintik-rintik, mobil mereka meluncur di jalanan basah, menyusuri kota yang masih tertidur.
Di ruang UGD Rumah Sakit, Cassie segera ditangani. Bram menunggu di luar ruang bersalin, berdoa dalam diam, jantungnya berdegup kencang. Segalanya terasa begitu cepat dan lambat sekaligus. Seorang petugas kesehatan keluar.
“Pak Bram, istri Anda sudah pembukaan tujuh. Kami akan bantu proses persalinan normal.”
Bram berdiri, gugup. “Saya... saya boleh mendampingi?”
Perempuan itu mengangguk. “Tapi harap tenang ya, jangan panik.”
Akhirnya, Bram berada di samping Cassie. Ia menggenggam tangan istrinya yang gemetar, menatap wajah pucat namun penuh keberanian itu. Tidak menyangka bila semua ini akan mereka lalui.
“Napasin, Cassie. Kamu bisa, oke?” katanya lembut.
Cassie mengangguk, tapi air matanya terus mengalir. Rasa sakit itu begitu besar, begitu tak tertahankan. Dia merasakan betapa hidupnya selama ini penuh luka, dan kini ia sedang menghadapi ujian terakhir untuk menyambut anugerah.
“Kamu nggak akan ninggalin aku, kan, Bram?” isaknya di tengah kontraksi.
“Tidak. Aku di sini. Aku nggak akan ke mana-mana,” jawab Bram sambil mencium punggung tangannya.
Lalu terdengar suara dokter, “Sudah bukaan lengkap. Ayo, Bu Cassie, dorong ya… satu, dua, tiga!”
Cassie menggertakkan giginya. Seluruh tenaga yang tersisa ia kumpulkan. Nafasnya memburu. Tangan Bram tak ia lepas sedikit pun.
“Bagus, Bu. Sekali lagi ya. Tarik napas dalam. Dorong!”
Tangis. Jeritan. Harapan. Ketakutan. Semuanya meledak dalam satu momen panjang. Dan kemudian—sunyi. Hanya satu detik, tapi terasa seperti seabad sebelum akhirnya tangis nyaring bayi menggema di ruangan itu. Tangis yang pertama. Tangis yang memecah keheningan dunia.
“Selamat, bayi perempuan,” ujar dokter sambil tersenyum. “Sehat, berat 3,2 kilogram.”
Cassie langsung menangis. Tangis kelegaan, tangis kebahagiaan, tangis karena ia tahu semuanya layak diperjuangkan. Bram menatap anak mereka yang diletakkan di atas dada Cassie. Bayi mungil dengan pipi kemerahan dan jari-jari kecil yang masih menggenggam udara.
"Kamu sudah menyiapkan nama anak kita?" tanya Bram pada Cassie.
“Elira…” bisik Cassie lemah.
“Cahaya kita,” lanjut Bram dengan mata berkaca.
Cassie menatap suaminya, bibirnya bergetar. “Terima kasih… karena tetap di sini, tetap memilih aku.”
Bram mencium kening Cassie. “Terima kasih… karena bertahan. Karena melahirkan cinta kita.”
Saat fajar mulai menyingkap tirai gelap di ufuk timur, rumah sakit itu menyimpan kisah tentang seorang perempuan yang pernah terluka, namun memilih tetap berharap.
Cassie masih menatap Bram yang menggendong Elira sambil tersenyum menatapnya. Wanita itu masih tidak bisa menyangka akan dapat melewati ini semua. Ketika dia hampir menyerah akan cintanya pada Bram, justru pria itu berusaha untuk mempertahankannya.
"Terima kasih, Sayang," ucap Cassie.
***
Bersambung...
Terima kasih telah membaca...
Sebentar lagi tamat ya, mohon maaf jauh dari ekspektasi. Novel ini memang kurang peminatnya, sepertinya aku harus membuat novel baru lagi ya. Hehehe. Terima kasih kakak-kakak yang sudah mengikuti novel ini.
misteri??????
Apakah Raina akan melampiaskan balas dendamnya pada Elira? 🤔🤔🤔
Semoga mommy dan baby nya sehat selalu 🤲🙏❤️