NovelToon NovelToon
Takdirku Di Usia 19

Takdirku Di Usia 19

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Nikahmuda
Popularitas:6.1k
Nilai: 5
Nama Author: Putri Pena

Mentari, seorang gadis pemalu dan pendiam dari Kampung Karet, tumbuh dalam keluarga sederhana yang bekerja di perkebunan. Meskipun terkenal jutek dan tak banyak bicara, Mentari adalah siswa berprestasi di sekolah. Namun, mimpinya untuk melanjutkan pendidikan pupus setelah lulus SMA karena keterbatasan biaya. Dengan tekad yang besar untuk membantu keluarga dan mengubah nasib, Mentari merantau ke Ubud untuk bekerja. Di usia yang masih belia, kehidupan mempertemukannya dengan cinta, kenyataan pahit, dan keputusan besar—menikah di usia 19 karena sebuah kehamilan yang tidak direncanakan. Namun perjalanan Mentari tidak berakhir di sana. Dari titik terendah dalam hidupnya, ia bangkit perlahan. Berbekal hobi menulis diary yang setia menemaninya sejak kecil, Mentari menuliskan setiap luka, pelajaran, dan harapan yang ia alami—hingga akhirnya semua catatan itu menjadi saksi perjalanannya menuju kesuksesan. Takdirku di Usia 19 adalah kisah nyata tentang keberanian, cinta, perjuangan, dan harapan. Sebuah memoar penuh emosi dari seorang gadis muda yang menolak menyerah pada keadaan dan berjuang menjemput takdirnya sendiri.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Putri Pena, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 35. Aku dan Bintang

📝 Diary Mentari – Bab 35

“Kadang hati perempuan bukan tak tahu arah, hanya butuh waktu untuk merasa aman dalam setiap langkah yang akan dijalani.”

...****************...

Aku masih tidak menyangka bahwa semua ini nyata. Rasanya seperti menonton drama di televisi, tapi kali ini akulah tokoh utamanya. Sudah sebulan aku dekat dengan Bintang, dan semuanya terasa alami, hangat, tanpa paksaan. Dia tidak pernah membuatku merasa kecil, tidak pernah menuntutku menjadi seseorang yang bukan diriku. Tapi justru karena itulah… aku takut. Takut terlalu nyaman, takut menggantungkan harap pada seseorang yang bisa saja pergi.

Pagi itu, saat aku membereskan baju-bajuku di kamar kos, aku tidak sengaja menemukan dress biru lembut yang kubeli bersama Mba Eka di Pasar Ubud beberapa minggu lalu. Waktu itu aku hanya iseng mencoba karena Mba Eka memaksaku, katanya sebagai “hadiah karena sudah gajian.” Aku lupa kalau aku pernah membelinya. Dress itu belum pernah kupakai. Masih tergantung rapi di belakang pintu, tertutup jaket lusuh dan blus kerja sehari-hari.

“Aku cerita ke teman-teman soal Bintang,” gumamku pelan saat duduk bersama Yuli dan Mba Eka saat istirahat siang.

Yuli langsung menoleh cepat, wajahnya penuh antusias. “Terus, terus? Kamu suka dia nggak?”

Aku tersipu. “Aku… nyaman sih. Tapi belum tahu ini cinta atau cuma karena dia baik.”

Mba Eka menepuk lenganku dengan gemas. “Mentari, kadang kenyamanan itu justru awal dari cinta. Kamu harus berani ngasih nama hubungan kalian. Kasian cowoknya udah nunggu sebulan loh.”

Aku terdiam. Mereka benar. Dan malam ini, Bintang memintaku untuk memberikan jawaban. “Nanti malam aku tunggu jawabanmu ya? Aku nggak mau menunggu lebih lama lagi,” katanya lewat pesan yang kuketik ulang berkali-kali sambil merenung di tempat tidurku.

Aku belum tahu harus menjawab apa. Tapi aku tahu, aku tak ingin kehilangan seseorang sebaik Bintang.

“Kamu udah punya dress bagus buat kencan nanti malam?” tanya Mba Eka sambil menyusun baju di rak toko.

Aku tersenyum kecil. “Aku pake yang ada aja, Mba.”

Mba Eka melotot. “Mentari! Ini kencan, loh! Jangan seadanya. Kamu kan pernah beli dress biru muda sama Mba waktu itu, masih ingat? Pakai itu aja! Kamu cantik, Mentari. Jangan sembunyi terus di balik kesederhanaan.”

Aku hanya mengangguk. Ada getar kecil di dadaku. Bukan karena malu, tapi karena aku merasa akan memasuki babak baru yang belum pernah kutuliskan dalam diari sebelumnya. Bab tentang seseorang yang mungkin bisa kusebut ‘kekasih’ untuk pertama kalinya dalam hidupku.

Malam itu datang seperti pelan-pelan menyelimuti keraguan. Aku mengenakan dress biru lembut itu. Bahannya jatuh, ringan, dan membuatku merasa seperti gadis lain—bukan Mentari si pendiam dari Kampung Karet, tapi Mentari yang siap menjalani hidup di tempat baru, dengan keberanian baru.

Di depan cermin, aku memperbaiki rambutku yang dibiarkan tergerai ikal alami. Tak ada make-up di wajahku, hanya sedikit bedak tabur yang kupinjam dari Yuli. Tapi saat kulihat pantulan diriku, aku tersenyum. Untuk pertama kalinya, aku merasa cukup.

Langkahku sedikit gemetar ketika berjalan menuju tempat kami biasa bertemu—di depan toko patung keluarga Bintang. Udara malam Ubud terasa sejuk, jalanan lengang, lampu-lampu galeri berpendar lembut di antara pepohonan yang berjajar rapi.

Dan di sanalah dia—Bintang—berdiri dengan jaket coklat dan jeans rapi. Saat melihatku, matanya membesar sedikit, lalu tersenyum begitu lebar seperti anak kecil yang melihat kado ulang tahun.

“Ya Tuhan, kamu cantik sekali malam ini, Tari.”

Aku menunduk malu. “Makasih, Bintang. Kamu juga kelihatan… rapi banget.”

Dia tertawa. “Aku harus rapi. Ini malam spesial. Malam kamu ngasih aku jawaban.”

Kami berjalan beriringan menuju sebuah warung kecil yang terletak agak tersembunyi, tapi punya pemandangan sawah yang cantik. Lampu-lampunya redup, suasananya hangat. Kami duduk berhadapan, hanya kami berdua, ditemani semangkuk sup ayam dan segelas es jeruk.

“Aku tahu kamu mungkin belum siap,” kata Bintang setelah hening cukup lama. “Tapi aku suka kamu, Tari. Bukan karena kamu cantik, bukan karena kamu pintar. Tapi karena kamu tulus. Dan aku pengin kamu tahu, aku serius.”

Aku mengangguk pelan. Hatiku berdebar keras. “Aku juga suka kamu, Bintang. Tapi aku masih takut. Aku belum pernah pacaran. Aku belum tahu caranya membagi hati.”

“Berarti…?” tanyanya perlahan.

Aku tersenyum, memandang matanya yang tenang. “Berarti… kita mulai pelan-pelan. Aku mau mencoba, tapi jangan paksa aku jadi seperti orang lain, ya?”

Dia menggenggam tanganku lembut di atas meja. “Aku nggak pernah minta kamu jadi orang lain. Aku cuma minta kamu tetap jadi Mentari—gadis yang aku suka sejak hari pertama aku lihat kamu lewat depan toko.”

Dan di malam itu, untuk pertama kalinya aku membiarkan diriku merasakan apa itu cinta. Bukan cinta yang membakar dan menggebu, tapi cinta yang hangat—yang datang perlahan, tanpa janji-janji manis, tapi dengan kesungguhan.

“Kadang, hati tak butuh keramaian untuk merasa bahagia. Cukup satu nama yang diucap dengan tulus, dan kau tahu, kamu tak lagi sendiri.”

...****************...

Setelah makan malam itu, Bintang mengantarku pulang ke kos seperti biasa. Tapi malam ini terasa berbeda. Angin berembus lebih pelan, langit tampak lebih bersih, dan suasana hatiku penuh dengan sesuatu yang belum pernah kurasakan sebelumnya. Mungkin ini yang mereka sebut cinta. Atau mungkin hanya rasa hangat karena aku tak lagi sendirian di kota ini.

Kami duduk berdua di beranda kecil depan kamarku. Suasana sunyi. Lampu jalan menyala redup. Hanya terdengar suara jangkrik dari kebun di belakang, dan sesekali deru kendaraan yang lewat di kejauhan. Aku bersandar pada tiang kayu, sementara Bintang duduk di sebelahku, tangannya perlahan meraih tanganku.

“Kamu dingin?” tanyanya lembut.

Aku menggeleng. “Nggak, ini malam yang tenang.”

Dia tersenyum. “Kalau kamu dingin, sini aku peluk.”

Tanpa banyak bicara, dia memelukku. Pelukan yang tidak membuatku risih atau takut, justru membuatku merasa hangat dan aman. Tubuhku diam, tapi jantungku berdegup kencang. Untuk beberapa saat kami diam, hanya memandangi langit Ubud yang bertabur bintang.

“Lihat bintang-bintang itu,” kata Bintang pelan. “Mereka diam di tempat, tapi selalu menemani langit. Aku pengen jadi kayak mereka. Nggak ke mana-mana, cuma di sini, nemenin kamu.”

Kata-katanya sederhana, tapi menggetarkan. Aku menoleh ke arahnya. Matanya menatapku, lembut dan jujur. Wajah kami semakin dekat, dan sebelum aku sempat berpikir, bibirnya menyentuh bibirku.

Lembut. Hangat. Ragu-ragu.

Aku menutup mata, membiarkan ciuman pertamaku terjadi. Ciuman yang tak direncanakan, tak dibuat-buat. Di atas kursi kayu, di bawah langit Ubud, di malam paling sunyi yang pernah kurasakan. Dan malam itu, bintang-bintang seakan menjadi saksi bahwa aku baru saja memberikan bagian dari diriku yang paling jujur—perasaan yang belum pernah aku bagi pada siapa pun sebelumnya.

Setelah ciuman itu, kami saling pandang dalam diam. Tidak ada kata-kata manis. Tidak ada janji-janji besar. Hanya napas yang masih terasa di antara bibir kami dan jantung yang berdetak begitu keras di dadaku.

Aku bertanya dalam hati—apakah ini cinta? Ataukah hanya suka sesaat? Aku belum memahaminya. Aku belum tahu. Tapi yang jelas, malam ini aku tak lagi merasa sendiri. Ada seseorang yang bersedia tinggal, walau aku belum bisa memberinya segalanya.

“Kamu nggak nyesel?” tanya Bintang tiba-tiba.

Aku menoleh. “Kenapa harus nyesel?”

Dia mengusap rambutku pelan. “Karena aku cium kamu… dan kamu adalah perempuan pertama yang pernah bikin aku merasa… takut kehilangan.”

Aku tidak menjawab. Hanya memejamkan mata, bersandar di bahunya. Entah ini awal dari luka atau bahagia. Tapi aku ingin mencoba percaya. Percaya pada seseorang yang tidak hanya ingin memilikiku, tapi juga melindungi rasa yang perlahan tumbuh di hatiku.

Malam itu, setelah Bintang pulang dan pintu kamarku kututup perlahan, aku duduk di kasur sambil menatap cermin kecil yang tergantung di dinding. Wajahku masih merah, senyumku masih tertahan. Aku membuka buku diari dan menulis:

“2 bulan sejak aku pindah ke Ubud. 1 bulan sejak aku dekat dengannya. Hari ini, aku resmi punya pacar. Bintang menciumku malam ini. Bukan ciuman yang terburu-buru atau penuh nafsu. Tapi ciuman yang membuatku ingin mempercayainya. Entah ini cinta atau bukan, aku belum tahu. Tapi hatiku sedang belajar… mencintai.”

“Beberapa cinta dimulai dengan kata. Tapi cinta yang jujur… seringkali dimulai dengan keheningan dan sebuah tatapan yang tulus.”

1
Komang Arianti
kapan tarii bahagiaa nya?
Komang Arianti
ngeenesss bangettt ini si mentarii😢😢
Putu Suciptawati
jadi inget wkt adikku potong rambut pendek, kakekku juga marah, katanya gadis bali ga boleh berambut pendek/Facepalm/
K.M
Ditunggu lanjutannya ya kk makasi udah ngikutin ☺️
Putu Suciptawati
/Sob//Sob//Sob//Sob//Sob//Sob//Sob/
K.M: Auto mewek ya kk
total 1 replies
Putu Suciptawati
yah kukiora tari akan menerima bintang, ternyata oh ternyata ga sesuai ekspektasiku
Arbai
Karya yang keren dan setiap bab di lengkapi kalimat menyentuh.
Terimakasih untuk Author nya sudah berbagi kisah, semoga karya ini terbit
K.M: Terima kasih dukungannya kk ☺️
total 1 replies
Putu Suciptawati
ayolah tari buka hatimu unt bintang lupakan cinta monyetmu...kamu berhak bahagia
Putu Suciptawati
senengnya mentari punya hp walaupun hp jdul
Putu Suciptawati
semangat tari kamu pasti bisa
Putu Suciptawati
puisinya keren/Good//Good//Good//Good/
Putu Suciptawati
karya yg sangat bagus, bahasanya mudah diterima.....pokoknya keren/Good//Good//Good//Good/
K.M: Terima kasih banyak sudah menyukai mentari kk ❤️❤️
total 1 replies
Putu Suciptawati
betul mentari tdk semua perpisahan melukai tdk semua cinta hrs memiliki
rarariri
aq suka karyamu thor,mewek trus aq bacanya
rarariri
/Sob//Sob//Sob/
Wanita Aries
Kok bs gk seperhatian itu
Wanita Aries
Paling gk enak kl gk ada tmpt utk mengadu atau skedar bertukar cerita berkeluh kesah.
Aku selalu bilang ke ankq utk terbuka hal apapun dan jgn memendam.
Wanita Aries
Kok ba ngumpul smua dsitu dan org tua mentari menanggung beban
Wanita Aries
Mampir thor cerita menarik
Putu Suciptawati
betul mentari, rumah atau kamar tidak harus besar dan luas yang terpenting bs membuat kita nyaman
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!