Series #2
Keputusan Rayden dan Maula untuk kawin lari tidak semulus yang mereka bayangkan. Rayden justru semakin jauh dengan istrinya karena Leo, selaku ayah Maula tidak merestui hal tersebut. Leo bahkan memilih untuk pindah ke Madrid hingga anaknya itu lulus kuliah. Dengan kehadiran Leo di sana, semakin membuat Rayden kesulitan untuk sekedar menemui sang istri.
Bahkan Maula semakin berubah dan mulai menjauh, Rayden merasa kehilangan sosok Maula yang dulu.
Akankah Rayden menyerah atau tetap mempertahankan rumah tangganya? Bisakah Rayden meluluhkan hati sang ayah mertua untuk merestui hubungan mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Vebi Gusriyeni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 33 : Ratunya Rayden
...----------------...
...•••Selamat Membaca•••...
Di dalam kamar luas bernuansa megah, Maula berdiri membelakangi Rayden, mengenakan gaun tidur tipis dari satin berwarna nude yang hampir menyatu dengan kulitnya. Punggungnya memunggungi jendela, rambutnya tergerai basah sehabis mandi, dan tubuhnya masih sedikit gemetar, bukan karena dingin, melainkan karena tatapan lelaki itu yang membakar seluruh lapisan kesadarannya.
“Jangan menatapku begitu,” tegur Maula karena merasa malu.
Rayden duduk di kursi kulit hitam, mengenakan kemeja putih longgar dengan dua kancing terbuka. Matanya menatap Maula seperti seorang pemilik sah yang melihat properti paling berharga miliknya.
“Berbalik, Piccola,” perintah Rayden, rendah dan dalam
Ia berbalik perlahan, dan Rayden sudah berdiri di hadapannya dalam tiga langkah panjang.
Tangannya terangkat dan menyentuh pipi Maula, turun ke lehernya, lalu bahu. Sentuhan yang lambat namun mutlak, seperti seorang maestro menyentuh instrumen yang hanya dia yang tahu bagaimana cara memainkannya.
“Kau tidak tahu betapa gila aku tanpamu, Piccola,” gumam Rayden sambil mencium pelipis istrinya. “Selama kau terbaring di rumah sakit, aku tidak tidur. Tidak satu malam pun.”
Maula menggigit bibirnya, air mata menggantung di pelupuk. “Terima kasih sudah mencintai aku sedalam ini.”
Rayden mendekap tubuh itu erat, napasnya panas di telinga Maula. “Karena kau memang milikku. Bukan karena kuperdaya. Tapi karena jiwamu tahu ke mana ia harus kembali.”
Jari-jarinya mulai menurunkan tali tipis di bahu Maula, membuat gaun tidur itu meluncur jatuh begitu saja ke lantai, menyisakan tubuh polos yang rapuh sekaligus menantang di bawah cahaya samar. Mata Rayden tak berkedip.
“Kau cantik dalam segala keadaan, Piccola, bahkan ketika kau rapuh dan luka. Dan aku... ingin menandaimu kembali, malam ini,” bisiknya di telinga Maula yang membuat Maula tergoda dan tersipu.
Ia mengangkat Maula dalam pelukannya, membawa ke ranjang besar di tengah ruangan. Membaringkannya perlahan, lalu menindih tubuh itu dengan lembut namun penuh kuasa. Tidak terburu-buru dan ganas.
Rayden menciumi setiap inci tubuh Maula seperti sedang menghafal ulang alur yang telah ia miliki. Lama. Dalam. Lambat.
Ciumannya seperti mantra yang mengikat, menyusup masuk ke dalam sendi-sendi Maula, mengubahnya menjadi kerinduan yang menyakitkan.
“Tidak akan ada orang lain, Piccola. Tak ada pria lain yang bisa menyentuhmu, memilikimu, mencium tubuh ini. Hanya ada aku, you’re mine, Piccola. Kau paham?”
Maula mengangguk. Napasnya berat. “Ya... Ray.”
“Ulangi.”
“Aku milikmu.”
“Bagus.”
Rayden masuk ke dalam tubuh Maula dengan satu gerakan penuh.
Begitu dalam dan tepat memenuhi rahim Maula. Membuat Maula menggigit bibirnya dan mengerang, bukan karena sakit, tapi karena rindu yang akhirnya menemukan jalannya pulang.
Tangan Maula menggenggam seprai, sementara Rayden menahan wajahnya di lekuk leher Maula, mencium, menggigit, dan mengukir tanda tak terlihat yang hanya mereka berdua tahu maknanya.
Rayden bergerak pelan tapi penuh tekanan, seolah-olah ia sedang menulis puisi kepemilikan di tubuh Maula. Gerakannya dalam dan intens, dan setiap kali Maula mencoba menarik napas, Rayden mencium bibirnya, menahan rintihan itu untuk dirinya sendiri.
“Hanya aku yang boleh menelan kenikmatan ini, Piccola.”
Tubuh Maula mengejang dalam pelukan Rayden.
“Rayden… aku takut kehilanganmu. Aku takut kalau ini cuma nafsu lalu—”
Rayden menghentikan gerakannya. Menatap dalam ke mata Maula.
“Dengar aku baik-baik. Nafsu bisa membuat pria lain meninggalkanmu setelah selesai. Tapi aku... akan tetap di sini bahkan setelah kehidupan ini. Bahkan ketika kau tak punya daya pun... aku masih akan melindungi, menggenggam, dan mengikatmu.”
Maula mulai menangis dan Rayden menyentuh air mata itu dengan bibirnya.
“Aku tak butuh restu dari siapa pun, Piccola. Karena yang kupuja hanya kamu. Dan kau akan bersamaku. Dalam segala hal. Sampai mati.”
Rayden mulai bergerak lagi. Gerakannya kali ini lebih cepat, lebih gelap, lebih penuh rindu yang menyiksa.
Tapi ia mencium Maula dengan penuh cinta. Membisikkan namanya dalam setiap hembusan, menutup dunia dari keduanya.
Maula mulai mengimbangi gerakan suaminya, memeluk dan mencakar punggung polos Rayden di atasnya.
Wajah Rayden kembali menempati leher Maula dan membubuhkan tanda kepemilikan di sana.
Dan ketika klimaks itu tiba... Maula menggenggam erat tubuh Rayden, mengatur nafas yang memburu. Dan Rayden hanya memeluk lebih erat lagi, hingga seolah dunia di luar kamar itu benar-benar mati.
Setelahnya, Rayden tetap memeluk tubuh telanjang Maula dari belakang, menyelimuti mereka berdua dengan duvet tebal, tubuh mereka menempel tanpa celah.
“Besok,” bisik Rayden, “aku akan memutuskan semua hubungan dengan para mafia. Kau butuh istirahat. Dan aku... butuh memilikimu tanpa gangguan dunia.”
Maula menoleh pelan, menyentuh pipi Rayden yang hangat.
“Kenapa?”
“Aku bisa berkuasa tanpa harus menjadi mafia. Aku tidak mau menempatkan kamu dalam bahaya lagi. Aku akan mengembangkan bisnis kita, peluangnya sangat besar dan aku akan memenuhi kehidupanmu sebagaimana Papa memanjakan dan memenuhi keinginanmu.” Maula terharu dan memutar tubuhnya menghadap Rayden.
“Janji jangan tinggalkan aku ketika kau memiliki segalanya.”
Rayden mencium bibir Maula sekali lagi. Lama.
“Aku justru akan menghancurkan dunia... kalau dunia itu mencoba mengambilmu dariku.”
Malam ini mereka tidur dengan nyenyak, keputusan Rayden untuk keluar habis dari dunia mafia sudah mantap. Dia sudah membicarakan hal ini dengan Archer dan Advait. Mereka tidak mau mengambil apa yang diusahakan oleh Rayden.
“Kami akan mengurus semuanya dengan baik, jika suatu saat nanti kau kembali atau tidak. Semua kekuasaan dan pemimpin sejati Vindex masih dirimu, Ray.” Rayden sedikit tenang mendengar jawaban dari Advait beberapa minggu yang lalu.
Rayden membiarkan Maula tertidur lelap di atas tubuhnya, memberikan kenyamanan dan terus mengusap lembut rambut istrinya.
“Sudah cukup semua ini, benar yang dikatakan Papa. Bahwa lingkaran mafia tidak pernah aman untuk keluarga. Setiap musuh akan terus mengincar orang terdekat dan aku tidak mau lagi membuat kamu menderita, Piccola.”
...***...
Barbara terus menatap foto Rayden yang selama ini dia simpan di sebuah kotak kayu antik miliknya. Selama ini Rayden adalah pria yang dia inginkan tetapi sikap dingin dan tak acuh Rayden membuat dia semakin susah untuk mendekat.
“Aku bisa, aku pasti bisa mendapatkanmu Ray. Aku jauh lebih dulu mengenal dan mencintaimu, tapi wanita itu malah memilikimu seutuhnya. Aku tidak mau dan tidak terima, dia tak jauh lebih baik dariku, seorang dokter tidak akan bisa memberikan kehidupan dan cinta penuh untukmu Ray. Mereka akan sibuk dengan pekerjaan dan karir, kau salah memilih wanita ini.” Barbara berkata dengan mata penuh amarah sambil mengusap foto Rayden yang begitu gagah dengan kaos putihnya.
Barbara menempelkan foto Maula yang dia ambil dari sosial media dan menempelkannya di papan dart. Barbara melemparkan satu anak panah kecil ke foto itu dan tepat mengenai kepala Maula.
“Aku akan menghancurkan kalian dengan caraku, kita bermain logika.” Barbara tersenyum sinis lalu melemparkan satu anak panah lagi dan tepat mengenai mata Maula di foto tersebut.
...•••Bersambung•••...
...----------------...
...----------------...
...----------------...