Aini adalah seorang istri setia yang harus menerima kenyataan pahit: suaminya, Varo, berselingkuh dengan adik kandungnya sendiri, Cilla. Puncaknya, Aini memergoki Varo dan Cilla sedang menjalin hubungan terlarang di dalam rumahnya.
Rasa sakit Aini semakin dalam ketika ia menyadari bahwa perselingkuhan ini ternyata diketahui dan direstui oleh ibunya, Ibu Dewi.
Dikhianati oleh tiga orang terdekatnya sekaligus, Aini menolak hancur. Ia bertekad bangkit dan menyusun rencana balas dendam untuk menghancurkan mereka yang telah menghancurkan hidupnya.
Saksikan bagaimana Aini membalaskan dendamnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bollyn, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 24: Pahitnya Malam Pengantin dan Video Viral
Malam kian merayap di desa itu, namun ketenangan tak kunjung singgah di kediaman Ibu Dewi. Alih-alih suasana syahdu yang biasanya menyelimuti pengantin baru, suara keributan yang memekakkan telinga justru menggema, menembus dinding-dinding kayu rumah yang kini terasa seperti penjara. Ibu Sarah dan Ibu Dewi duduk berhadapan di ruang tamu yang berantakan, raut wajah mereka sama-sama memerah, menyimpan amarah yang siap meledak kapan saja.
"Ini semua murni kesalahan dari cara kamu mendidik anak, Dewi!" bentak Ibu Sarah sambil menunjuk wajah Ibu Dewi dengan jari yang gemetar hebat. "Cilla itu yang memulai semua ini! Dia yang menggoda anak saya, dia yang merayu Varo sampai Varo kehilangan akal sehatnya dan melupakan istrinya sendiri!"
Ibu Dewi tidak terima dengan tuduhan itu. Ia menggebrak meja kayu di depannya hingga gelas-gelas di atasnya berdenting keras.
"Apa kamu bilang? Kamu menyalahkan anak saya?! Heh, tolong sadar diri ya! Anak kamu itu yang memang sudah dasarnya laki-laki tidak setia dan gatal! Varo itu sudah punya istri secantik dan sebaik Aini, tapi matanya masih saja melirik adiknya sendiri. Jangan lempar kesalahan ke anak saya!"
"Anak saya tidak akan bertindak sejauh ini jika tidak dipancing oleh perempuan ini!" seru Ibu Sarah kembali, kali ini sorot matanya yang tajam mengarah ke Cilla yang sejak tadi hanya duduk meringkuk di sudut sofa sambil memegangi perutnya.
Cilla langsung mendongak, matanya yang sembap karena tangis kini berganti dengan tatapan ketus yang penuh pembangkangan.
"Ibu kalau bicara tolong dijaga ya! Jangan sebut aku perempuan gatal. Kami berselingkuh karena memang kami sama-sama suka, bukan cuma aku yang mau! Mas Varo juga yang bilang kalau dia bosan dengan Mbak Aini!"
Ibu Dewi memijat pelipisnya yang berdenyut hebat. Kepalanya terasa ingin pecah mengingat rasa malu yang harus ia tanggung besok pagi saat bertemu tetangga.
"Ini semua salah Aini! Kalian semua kenapa bisa seceroboh itu sampai tidak mengetahui kalau Aini akan datang ke sini membawa massa dan sahabatnya yang bermulut tajam itu? Dia benar-benar licik sekarang, dia merencanakan semua ini dengan sangat matang hanya untuk menghancurkan martabat keluarga kita di depan seluruh warga desa!"
Varo yang sejak tadi hanya terdiam dengan pandangan kosong, tidak menyahut sepatah kata pun. Ia duduk di kursi plastik di sudut ruangan, bayangan saat Aini melempar kertas hasil laboratorium di depan mukanya tadi siang terus berputar seperti kaset rusak di pikirannya. Kertas itu bukan sekadar lembaran putih, melainkan bukti nyata yang membongkar kebohongannya selama bertahun-tahun tentang kondisi kesehatannya sendiri.
"Mas! Kamu dengar tidak kami bicara apa?!" bentak Cilla kesal karena merasa diabaikan oleh suaminya sendiri.
"Kamu masih memikirkan ucapan Mbak Aini yang mau menceraikan kamu itu, kan? Kamu masih mengharapkan dia kembali? Jawab aku, Mas!"
Varo menoleh perlahan, menatap Cilla dengan tatapan yang sangat dingin dan sulit diartikan. Kehangatan yang biasanya ada saat mereka berselingkuh kini lenyap tak berbekas.
"Cilla... aku mau tanya sesuatu. Dan aku ingin kamu jujur, sekali saja dalam hidupmu."
Cilla mengerutkan kening, mencoba mencari pegangan pada sandaran sofa.
"Tanya apa lagi, Mas? Aku sedang pusing dan lelah menghadapi semua kekacauan ini!"
"Kertas yang dilempar Aini tadi... itu hasil tes kesuburanku yang asli dari rumah sakit di Jakarta. Kamu tahu betul kan kalau dokter sudah lama mendiagnosa aku memiliki masalah serius dengan kesuburanku? Dulu, saat aku pertama kali memberitahumu tentang hal itu dengan hati hancur, kamu justru tertawa kecil dan bilang hasil medis itu bisa salah. Kamu meyakinkanku kalau dengan pola hidup sehat dan ramuan herbal, kesuburanku bisa membaik dan kita tetap bisa punya anak. Itulah satu-satunya alasan aku tidak curiga sedikit pun saat kamu tiba-tiba mengaku hamil," ucap Varo dengan suara rendah namun bergetar karena emosi yang tertahan.
Varo menarik napas panjang, matanya kini menatap tajam ke arah perut Cilla yang masih tampak rata.
"Tapi setelah melihat bagaimana Aini begitu yakin dan tertawa di depan mukaku tadi... aku jadi mulai berpikir jernih. Apa benar anak yang kamu kandung itu adalah darah dagingku? Mengingat kondisi kesehatanku yang sebenarnya belum pernah dinyatakan sembuh total oleh dokter mana pun?"
Seketika suasana di ruang tamu itu menjadi senyap seperti kuburan. Ibu Dewi dan Ibu Sarah terdiam kaku. Cilla terkesiap, wajahnya yang tadi kemerahan kini berubah menjadi pucat pasi.
"Mas! Apa maksudmu bicara begitu?! Kamu meragukan anakmu sendiri di depan ibumu dan ibuku? Kamu mau menuduhku tidur dengan pria lain dan menjadikanmu sebagai tameng, begitu?!"
"Aku hanya bertanya berdasarkan logika medis, Cilla! Karena secara ilmiah, peluangku untuk menghamilimu itu hampir mustahil! Kenapa dulu kamu begitu yakin bisa hamil kalau bukan karena ada sesuatu yang kamu sembunyikan dariku?" teriak Varo tiba-tiba dengan suara yang menggelegar hingga membuat burung-burung di pohon luar berterbangan.
Ibu Dewi langsung mendekat dan memeluk Cilla dengan protektif.
"Varo! Jangan berani-berani kamu menuduh anak saya yang bukan-bukan untuk menutupi rasa malumu! Kamu sudah menghamilinya, kamu sudah merusak masa depannya, sekarang kamu mau lepas tangan dengan alasan medis yang tidak masuk akal itu? Picik sekali cara berpikirmu!"
"Varo tidak bermaksud menuduh sembarangan, Bu," gumam Varo sambil menangkup wajahnya dengan kedua tangan, tampak sangat frustrasi.
"Tapi sekarang aku benar-benar berada di titik terendah. Semua warga sudah tahu perselingkuhan ini. Karierku di kantor juga terancam hancur jika Aini benar-benar melaporkanku ke divisi HRD. Kita benar-benar hancur secara finansial dan sosial, dan aku bahkan tidak tahu apakah janin yang aku perjuangkan ini benar-benar anakku atau bukan."
Ibu Sarah mendengus, ikut memanas dan merasa mendapatkan dukungan.
"Nah, benar kan! Ibu juga sejak awal merasa ada yang janggal. Jangan-jangan kamu cuma dimanfaatkan untuk menutupi aib perempuan ini agar dia punya suami yang mapan, Varo! Sudah Ibu bilang dari kemarin, nikahnya sederhana saja! Uang lima juta yang kamu berikan itu sudah terlalu mewah untuk sebuah pesta yang hanya mendatangkan caci maki seperti ini!"
Pertengkaran kedua ibu-ibu itu kembali pecah dengan kata-kata yang lebih kasar. Pak Wijaya hanya bisa diam, memejamkan mata sambil memijat keningnya, menyaksikan istri dan besannya saling caci seperti orang yang tidak pernah makan bangku sekolah.
"SUDAHHH! CUKUP! AKU MAU ISTIRAHAT!" teriak Varo hingga urat-urat di lehernya menonjol keluar. Ia bangkit dengan kasar dan berjalan menuju kamar, disusul oleh Cilla yang masih terisak-isak meski di dalam hatinya ia mulai merasa ketakutan yang luar biasa.
Malam itu berakhir dengan sangat tragis. Ibu Sarah dan Pak Wijaya terpaksa tidur di lantai ruang tamu beralaskan tikar tipis dan bantal yang sudah kempes. Ibu Sarah terus menggerutu tentang punggungnya yang sakit, sementara Ibu Dewi menutup rapat pintu kamarnya tanpa peduli lagi pada tamu-tamunya.
Di dalam kamar pengantin yang seharusnya penuh bunga, suasana justru terasa sangat pengap. Cilla terus mengomel sambil membongkar plastik seserahan untuk mengalihkan pembicaraan soal tes kesuburan tadi.
"Mas! Lihat ini! Ini apa? Barang-barang murahan semua! Warnanya luntur dan bahannya kasar! Aku kan mintanya tas dan sepatu bermerek, bukan barang pasar loak seperti ini! Kamu sudah bohong soal mahar perhiasan, sekarang kamu mau lari dari tanggung jawab soal anak juga?"
"Mas tidak tahu soal isi seserahan itu, Cilla. Itu semua Ibu yang beli karena dia bilang ingin menghemat biaya. Mas sedang tidak memiliki energi untuk membahas barang-barang murahan itu sekarang," jawab Varo pendek sambil merebahkan diri sejenak.
"Kamu kan sudah janji mau menuruti semua keinginanku jika aku mau menikah denganmu! Cincin cuma dua gram, seserahan barang KW, kalau begini caranya lebih baik anak ini aku gugurkan saja! Biar kamu menyesal seumur hidup karena kehilangan keturunan!" ancam Cilla dengan senjata andalannya yang selalu berhasil membuat Varo tunduk.
Namun kali ini, respon Varo sedikit berbeda. Ia hanya menatap langit-langit kamar.
"Jangan bicara seperti itu, Sayang. Mas... Mas hanya sedang bingung. Mas sangat menginginkan anak ini jika memang dia anakku, tapi tolong mengerti posisi Mas yang sekarang sedang di ujung tanduk."
"Malam ini, kamu jangan harap bisa tidur di atas ranjang bersamaku! Tidur di bawah sana, beralaskan selimut saja! Aku tidak sudi tidur seranjang dengan pria yang mulai meragukan kesetiaan istrinya sendiri!" perintah Cilla sambil menarik selimut menutupi seluruh tubuhnya.
Varo pun terpaksa menggelar selimut di lantai yang dingin. Ia meratapi nasibnya yang sangat jauh dari kata indah di malam pertamanya sebagai suami Cilla. Tidur di lantai dengan pikiran yang berkecamuk, sementara benih keraguan tentang janin di perut Cilla mulai tumbuh subur di benaknya, menghancurkan sisa-sisa rasa cintanya pada adik iparnya sendiri.
Keesokan harinya, di hiruk-pikuk kota Jakarta, Aini terbangun dengan tubuh yang terasa jauh lebih ringan dan segar. Sinar matahari pagi menembus celah gorden rumahnya, memberikan semangat baru yang sudah lama tidak ia rasakan. Ia tiba di rumah sangat larut semalam karena kelelahan menempuh perjalanan jauh dari desa setelah aksi heroiknya.
"Hoammm... nyenyak sekali tidurku semalam," gumam Aini sambil melirik jam dinding yang menunjukkan pukul sembilan pagi.
"Biasanya jam segini aku sudah harus berkutat di dapur, mendengarkan omelan Ibu Sarah yang tidak pernah puas, atau gedoran pintu Varo yang minta disiapkan perlengkapan kantornya. Ternyata menjadi bebas itu rasanya sangat luar biasa."
Aini memutuskan untuk mandi dengan tenang, menikmati setiap tetes air yang jatuh ke tubuhnya seolah membasuh sisa-Sisa kenangan pahit. Ia berencana untuk makan di rumah makan miliknya sendiri sekaligus melakukan audit stok bahan makanan sebelum kehabisan.
Sesampainya di rumah makan miliknya yang kini mulai berkembang pesat, Aini disambut hangat oleh karyawannya yang paling setia, Santi.
"Assalamu'alaikum! Salam Aini
"Waalaikumsalam, Eh, Mbak Aini sudah pulang? Kapan sampai di Jakarta? Wajah Mbak kelihatan segar sekali hari ini," tanya Santi sambil memperhatikan raut wajah majikannya yang berseri-seri.
"Semalam, San. Bagaimana keadaan di sini selama Mbak tinggal?" tanya Aini antusias.
"Lancar semua, Mbak.
"Aduh, Mbak lapar sekali nih, tadi pagi belum sempat sarapan. Kamu sudah makan?"
"Sudah Mbak tadi pagi sama Beni. Aku siapkan menu spesial buat Mbak. Mbak mau apa? Ayam bakar bumbu meresap sama perkedel jagung?"
"Boleh, minumnya es jeruk segar ya San. Antar ke ruangan Mbak, sekalian Mbak mau cek nota pembelian."
Setelah selesai makan dengan lahap, Aini segera bergegas menuju supermarket terdekat untuk berbelanja kebutuhan pokok. Cuaca Jakarta siang itu memang sangat terik, namun hal itu tidak mengurangi rasa bahagia di hatinya.
Di dalam supermarket yang sejuk, saat ia sedang asyik memilih buah anggur segar untuk pencuci mulut, telinganya tiba-tiba menangkap percakapan yang sangat familiar dari sekumpulan ibu-ibu di lorong buah.
"Eh, Bu RT, sudah lihat belum video yang lagi viral banget di TikTok pagi ini?" bisik salah satu ibu dengan nada bicara yang sangat heboh.
"Video apa tuh? Yang istri sah melabrak pelakor itu ya? Yang suaminya manajer itu?" sahut temannya tak kalah antusias.
"Iya benar! Video seorang istri sah yang sangat berani melabrak suaminya saat sedang melangsungkan pernikahan siri dengan adik kandung si istri sendiri! Seru sekali, lho. Katanya si adik ini sudah hamil duluan sebelum nikah. Tapi yang paling epik itu bagian akhirnya, istrinya pintar sekali, dia melempar kertas bukti dari dokter kalau suaminya itu sebenarnya punya masalah kesuburan alias mandul! Jadi orang-orang sekarang pada tanya, anak siapa coba yang ada di perut si adik itu?"
Aini tertegun kaku. Jantungnya berdegup kencang, perpaduan antara rasa puas dan kaget. Rupanya aksi beraninya kemarin benar-benar direkam oleh banyak orang dan kini menjadi konsumsi publik secara nasional. Bahkan detail tentang surat kesehatan yang ia bawa pun ikut menjadi bahan pergunjingan orang-orang yang sama sekali tidak ia kenal.
"Puas sekali lihat wajah pengantinnya yang kena lempar sisa katering sama warga. Memang pantas dihukum sosial orang-orang yang tidak tahu malu seperti itu! Kasihan kakaknya ya, sudah dikhianati suami sama adik sendiri," tambah ibu-ibu itu lagi sambil terus menatap layar ponselnya.
Aini segera memasukkan anggur ke keranjangnya dan bergegas menuju kasir dengan langkah cepat. Ia ingin segera sampai di rumah dan melihat sendiri sejauh mana "ledakan" yang ia picu kemarin telah menghancurkan hidup Varo dan Cilla di media sosial.
BERSAMBUNG...
...****************...