NovelToon NovelToon
Cinta Dua Bersaudara

Cinta Dua Bersaudara

Status: tamat
Genre:Cintapertama / Tamat
Popularitas:93
Nilai: 5
Nama Author: Siti Gemini 75

Di Kota Pontianak yang multikultur, Bima Wijaya dan Wibi Wijaya jatuh hati pada Aisyah. Bima, sang kakak yang serius, kagum pada kecerdasan Aisyah. Wibi, sang adik yang santai, terpesona oleh kecantikan Aisyah. Cinta segitiga ini menguji persaudaraan mereka di tengah kota yang kaya akan tradisi dan modernitas. Siapakah yang akan dipilih Aisyah?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Siti Gemini 75, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Belum Siap untuk Terikat

Suara denting sendok beradu dengan cangkir kopi memenuhi sebuah kafe di Tunjungan Plaza. Alunan musik jazz yang lembut tak mampu menutupi kegelisahan yang merayapi hati Andini Pramesti. Jemarinya yang lentik memainkan sedotan di gelas iced latte-nya, memutar-mutarnya tanpa minat. Matanya sesekali melirik ke arah pintu masuk, berharap sosok yang ditunggu-tunggu segera muncul. Setiap kali pintu terbuka, jantungnya berdegup kencang, namun selalu berakhir dengan kekecewaan.

Sudah hampir setengah jam Andini menunggu. Setengah jam yang terasa seperti berjam-jam. Janji bertemu pukul tujuh malam, dan sekarang jam sudah menunjukkan pukul setengah delapan. Keterlambatan ini bukan yang pertama, dan Andini tahu betul, bukan pula yang terakhir.

Akhirnya, sosok yang ditunggu-tunggu muncul. Abi Manyu Anggara, dengan rambut sedikit berantakan yang seolah sengaja dibiarkan tak terurus, dan kaos oblong hitam yang dipadukan dengan jaket denim lusuh, berjalan santai menghampirinya. Langkahnya ringan, seolah tak merasa bersalah telah membuat Andini menunggu.

"Maaf telat," ucap Abi tanpa nada penyesalan, lalu mendaratkan bokongnya di kursi tanpa menunggu jawaban Andini. Bahkan, ia tak menyadari raut wajah Andini yang sudah masam. "Tadi ada urusan mendadak."

Andini menghela napas panjang, berusaha meredam emosi yang mulai mendidih. Keterlambatan Abi sudah menjadi bagian dari rutinitas dalam hubungan mereka. Lima tahun bersama, dan Abi masih saja sulit menghargai waktu, apalagi perasaannya.

"Urusan apa?" tanya Andini, berusaha menyembunyikan kekesalannya di balik nada bicara yang datar.

"Biasa, anak-anak bengkel minta ditemenin ngoprek motor," jawab Abi sekenanya, lalu meraih menu yang tergeletak di meja dan mulai memilih minuman. Matanya menelusuri daftar minuman dengan seksama, tanpa sedikit pun menoleh ke arah Andini.

Andini terdiam. Hatinya mencelos, terasa seperti ditusuk ribuan jarum. Abi selalu lebih mementingkan teman-temannya, motornya, bahkan hobinya yang tak jelas itu daripada dirinya. Ia merasa seperti hanya menjadi pelengkap dalam hidup Abi, bukan prioritas.

"Bi," panggil Andini setelah beberapa saat hening yang terasa begitu menyakitkan.

Abi hanya bergumam sebagai jawaban, matanya masih terpaku pada menu. Ia bahkan tak repot-repot menatap Andini barang sedetik pun.

"Kita udah lima tahun pacaran," lanjut Andini, suaranya sedikit bergetar menahan tangis. "Kamu nggak pernah kepikiran untuk... membawa hubungan ini ke jenjang yang lebih serius?"

Abi akhirnya mengangkat wajahnya, menatap Andini dengan tatapan yang sulit diartikan. Ada kebingungan, keheranan, dan sedikit ketidaksukaan di sana. "Serius gimana?"

"Ya... menikah," jawab Andini lirih, menundukkan kepalanya. Ia tak sanggup menatap mata Abi lebih lama. Ia takut melihat penolakan di sana.

Abi terdiam sejenak, lalu menghela napas panjang. Helaan napas yang terdengar berat dan seolah mengandung beban yang tak terungkapkan. "Din, aku kan udah bilang. Aku belum siap nikah."

"Kenapa?" tanya Andini, air mata mulai menggenangi pelupuk matanya. Ia berusaha sekuat tenaga untuk tidak menangis di depan Abi. "Apa ada yang salah denganku? Apa aku kurang baik buat kamu? Apa kamu nggak cinta lagi sama aku?"

Pertanyaan-pertanyaan itu meluncur begitu saja dari bibirnya, tanpa bisa ia kendalikan. Ia sudah terlalu lama memendam semua perasaan ini, dan sekarang, semuanya meledak menjadi luapan emosi yang tak terbendung.

Abi menggaruk kepalanya yang tidak gatal, tampak frustrasi. "Din, bukan gitu. Kamu tahu kan aku sayang sama kamu. Tapi... aku masih pengen bebas. Aku masih pengen ngejar mimpi-mimpiku. Aku belum siap untuk terikat dengan pernikahan."

"Mimpi apa lagi, Bi?" Andini menyahut, suaranya meninggi. Ia tak peduli lagi dengan tatapan orang-orang di sekitar mereka. "Kita udah lima tahun bersama. Kamu bilang mau jadi builder motor, aku dukung. Kamu bilang mau buka bengkel sendiri, aku bantu modal. Apa lagi yang kurang? Apa aku harus nunggu sampai kamu sukses jadi pembalap MotoGP baru kamu mau nikahin aku?"

Air mata Andini akhirnya tumpah, membasahi pipinya. Ia merasa dipermainkan, merasa tidak dihargai, dan merasa bodoh karena telah mencintai Abi selama ini.

Abi menghela napas lagi, kali ini lebih keras. Ia meraih tangan Andini, mencoba menggenggamnya. "Din, dengerin aku..."

Andini menarik tangannya dengan kasar. "Nggak! Aku nggak mau denger apa-apa lagi! Aku capek, Bi. Aku capek nunggu, aku capek ngertiin kamu, aku capek sama semua ini!"

Ia bangkit dari duduknya, meraih tasnya, dan berjalan cepat meninggalkan Abi yang terpaku di tempatnya. Ia tak peduli dengan tatapan orang-orang yang menatapnya dengan iba. Yang ia inginkan saat ini hanyalah pergi, menjauh dari Abi, dan melupakan semua kenangan tentang mereka.

Di tengah keramaian Tunjungan Plaza, Andini merasa sendirian. Ia merasa kehilangan arah, kehilangan harapan, dan kehilangan cinta. Ia tak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, namun satu hal yang pasti: ia tidak bisa terus bertahan dalam hubungan yang membuatnya merasa tidak berarti.

Sementara itu, Abi masih duduk terpaku di kafe, menatap kepergian Andini dengan tatapan kosong. Ia tahu ia telah menyakiti Andini, namun ia tak tahu bagaimana cara memperbaikinya. Ia merasa terjebak antara cinta dan kebebasan, antara komitmen dan mimpi-mimpinya. Ia mencintai Andini, namun ia juga takut kehilangan dirinya sendiri.

Di tengah kebimbangan itu, ia teringat pada adiknya, Pramudya. Mungkin, Pramudya bisa memberikan saran atau setidaknya menjadi tempatnya berkeluh kesah. Pramudya, adiknya itu, selalu menjadi penasihat terbaiknya, meskipun seringkali dengan cara yang menyebalkan. Pramudya selalu bisa melihat sesuatu dari sudut pandang yang berbeda, dan selalu punya jawaban untuk setiap masalah.

Abi menghela napas lagi, kali ini lebih dalam. Ia meraih ponselnya dan mencari nama Pramudya di daftar kontaknya. Jari-jarinya ragu sejenak sebelum akhirnya menekan tombol panggil.

"Halo?" suara Pramudya terdengar dari seberang sana.

"Gue ganggu nggak?" tanya Abi, suaranya terdengar lesu.

"Nggak juga. Kenapa? Tumben lo nelpon malem-malem," jawab Pramudya dengan nada curiga.

"Gue... berantem sama Andini," ucap Abi akhirnya, mengakui kelemahannya di hadapan sang adik.

Hening sejenak. Lalu, Pramudya bertanya, "Berantem kenapa?"

Abi menceritakan semuanya kepada Pramudya, mulai dari keterlambatannya, pertanyaan Andini tentang pernikahan, hingga pertengkaran mereka yang berakhir dengan kepergian Andini. Ia mencurahkan semua unek-uneknya, semua kebimbangannya, dan semua ketakutannya.

Pramudya mendengarkan dengan sabar, tanpa menyela. Setelah Abi selesai bercerita, Pramudya terdiam sejenak sebelum akhirnya berkata, "Lo emang bego, Bi."

Abi mendengus. "Gue udah tahu itu. Nggak usah diperjelas lagi."

"Ya abisnya, lo sih. Udah punya pacar sebaik Andini, masih aja nggak bisa ngehargain," kata Pramudya. "Lo pikir Andini mau nungguin lo selamanya? Dia juga punya hak untuk bahagia, Bi."

"Gue tahu," jawab Abi lirih. "Tapi gue takut, Pram. Gue takut kalau gue nikah, gue nggak bisa ngejar mimpi-mimpi gue lagi."

"Mimpi itu bisa dikejar sambil nikah, Bi . Asal lo punya komitmen dan saling dukung sama pasangan lo," kata Pramudya. "Lagian, Andini kan selalu dukung lo. Dia bahkan rela bantuin lo modalin bengkel. Kurang apa lagi coba?"

Abi terdiam, merenungkan kata-kata Pramudya. Ia tahu Pramudya benar. Andini selalu ada untuknya, selalu mendukungnya, dan selalu memahaminya. Tapi kenapa ia selalu merasa takut untuk melangkah lebih jauh?

"Terus, gue harus gimana sekarang?" tanya Abi, merasa tak berdaya.

"Samperin Andini, minta maaf, dan jelasin semuanya," jawab Pramudya. "Jangan biarin dia pergi gitu aja. Lo sayang kan sama dia?"

"Sayang," jawab Abi tanpa ragu.

"Ya udah, buktiin," kata Pramudya. "Jangan cuma bilang sayang, tapi nggak ada tindakan. Sekarang, cepet samperin Andini. Gue yakin dia masih nungguin lo."

Abi mengangguk, merasa mendapatkan secercah harapan. Ia mengucapkan terima kasih kepada Pramudya dan segera mematikan telepon. Ia bangkit dari duduknya, meninggalkan kafe dan menuju ke tempat yang ia harap akan menemukan Andini: rumah Andini.

Ia menyusuri jalanan Surabaya yang mulai sepi dengan perasaan bercampur aduk. Ada penyesalan, ada harapan, dan ada tekad untuk memperbaiki semuanya. Ia tahu ini tidak akan mudah, tapi ia berjanji pada dirinya sendiri, ia akan berusaha sekuat tenaga untuk mendapatkan Andini kembali.

Di tengah perjalanan, ia teringat pada kata-kata Pramudya: "Lo emang bego, Bi." Ia tersenyum pahit. Ya, ia memang bego. Tapi ia berjanji, ia tidak akan sebego ini lagi. Ia akan belajar menghargai Andini, ia akan belajar mencintai dengan sepenuh hati, dan ia akan belajar menjadi pria yang pantas untuk Andini.

Ia mempercepat langkahnya, berharap ia belum terlambat. Ia berharap Andini masih memberinya kesempatan untuk membuktikan cintanya. Ia berharap, kisah cinta mereka belum berakhir di malam yang kelam ini. Karena jauh di lubuk hatinya, ia tahu, Andini adalah segalanya baginya. Tanpa Andini, hidupnya akan terasa hampa dan tak berarti.

\*\*\*\*\*\*\*\*\*\*

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!