Dibawah langit kerajaan yang berlumur cahaya mentari dan darah pengkhianatan, kisah mereka terukir antara cinta yang tak seharusnya tumbuh dan dendam masa lalu yang tak pernah padam.
Ju Jingnan, putri sulung keluarga Ju, memegang pedang dengan tangan dingin dan hati yang berdarah, bersumpah melindungi takhta, meski harus menukar hatinya dengan pengorbanan. Saudari kembarnya, Ju Jingyan, lahir dalam cahaya bulan, membawa kelembutan yang menenangkan, namun senyumannya menyimpan rahasia yang mampu menghancurkan segalanya.
Pertemuan takdir dengan dua saudari itu perlahan membuka pintu masa lalu yang seharusnya tetap terkunci. Ling An, tabib dari selatan, dengan bara dendam yang tersembunyi, ikut menenun nasib mereka dalam benang takdir yang tak bisa dihindari.
Dan ketika bunga plum mekar, satu per satu hati luluh di bawah takdir. Dan ketika darah kembali membasuh singgasana, hanya satu pertanyaan yang tersisa: siapa yang berani memberi cinta di atas pengorbanan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon NurfadilaRiska, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Penyusup dan Tabib Ling An
Saat Jingnan masih terpaku, suara Weifeng membuatnya kaget, dan ia segera menoleh ke arah sumber suara.
Weifeng datang bersama beberapa prajurit.
"Nannan, kau tidak terluka kan?" Weifeng langsung memegang kedua pundak Jingnan, melihat dari kiri ke kanan memastikan gadis di depannya tidak terluka sedikitpun.
"Hah…" nafasnya lembut, seakan ia lega melihat Jingnan baik-baik saja. Kemudian Weifeng langsung memeluk gadis itu.
"Sudah, Gege. Aku bukan anak kecil lagi," Jingnan melepaskan pelukan Weifeng.
"Di mata Gege, kau masih kecil," Weifeng tersenyum menatap Jingnan, sementara gadis itu masih terbayang kata-kata tabib Ling An. Yap, seseorang tadi adalah tabib Ling An.
Jingnan sudah tahu namanya, karena tabib itu baru beberapa hari tiba di kota Yunxi, namun namanya seolah sudah tersebar di seluruh kota. Ia dikenal sebagai tabib tampan yang baik hati. Namun di mata Jingnan, ada yang janggal dengan kedatangan tabib ini. Ia belum sepenuhnya percaya dengan identitas Ling An.
Jingnan kemudian mendekat ke arah mayat yang ditemukan tadi. Ia memeriksa tubuh itu dengan seksama.
"Apa benar ini dia?" batin Jingnan. Dadanya terasa sesak oleh rasa tidak percaya. Mayat itu tergeletak begitu saja, seolah menyimpan jawaban… namun justru membuat semuanya terasa tidak masuk akal.
Apa orang ini benar penyusup yang ia kejar tadi? Dan… apakah ia sosok yang sama yang muncul malam itu?
Atau jangan-jangan ini hanya tipuan dan mayat yang sengaja diletakkan untuk menutup jejak, membuat semua orang percaya bahwa ancamannya sudah berakhir?
Semakin lama ia menatap tubuh itu, semakin kuat firasat bahwa ada sesuatu yang tidak beres dengan semua ini.
"Sebenarnya siapa dia? apa dia mata-mata?" Weifeng mendekat, memperhatikan Jingnan yang masih menunduk memeriksa mayat itu. ia ikut memeriksa kantong hanfu penyusup tersebut—mencari apakah ada sesuatu yang disembunyikan, petunjuk apa pun yang bisa menjelaskan identitasnya.
namun setelah beberapa saat, ia menggeleng pelan. "Tidak ada apa-apa. kosong."
seolah-olah penyusup itu datang tanpa meninggalkan jejak… atau seseorang sengaja memastikan agar tidak ada satu pun bukti tersisa.
Hati Jingnan masih gelisah memikirkan semua ini.
Ketika malam membawa bayang hitam dan pagi menghadirkan sosok baru, kerajaan Zhenhua berdiri di ambang perubahan.
Musuh bergerak dalam diam, cinta menyusup tanpa izin, dan takdir dua saudari mulai menari mengikuti irama yang sama sekali baru.
Pagi hari di kerajaan Zhenhua yang berada di kota Yunxi berjalan seperti biasa. Namun bagi Jingnan dan Jingyan, hari itu menjadi awal dari sesuatu yang berbeda. Jingnan masih sibuk memikirkan penyusup berselubung hitam yang ia kejar semalam dan kata-kata tabib Ling An, sementara Jingyan, seperti kebiasaannya, memilih keluar istana dengan pakaian rakyat biasa agar dapat berjalan tanpa dikawal siapa pun.
Setelah kejadian di pasar kemarin, ketika ia dan Ling An menolong seorang pedagang tua dari pemerasan—Jingyan masih memikirkan pemuda tabib berhati mulia itu. Cara Ling An menolong tanpa ragu, tanpa imbalan, dan tanpa rasa takut, meninggalkan kesan yang sulit ia jelaskan. Karena itulah, hari ini ia sengaja ingin kembali ke daerah pasar. Bukan hanya untuk mendatangi gurunya saja, tetapi… entah kenapa ia berharap bertemu Tabib Ling An lagi.
Gurunya, Tabib Sen Liang, sudah menunggu di ruang kecil tempatnya meracik obat-obatan tradisional.
"Kau terlambat lagi," tegur Sen Liang sambil menatap Jingyan yang masuk dengan rambut dikepang sederhana dan pakaian sederhana seperti gadis desa.
"Aku hanya ingin menghirup udara pagi," jawab Jingyan sambil tersenyum, mencoba mengalihkan perhatian. Sen Liang menghela napas panjang.
"Kau ini putri kedua Ju. Tidak sopan membuat shifumu menunggu."
Jingyan menggaruk pipinya pelan. "E… soal itu, aku tidak memakai identitasku sebagai putri kalau keluar istana, Shifu… jadi jangan bilang begitu keras-keras."
Sen Liang memutar bola matanya. "Justru karena itu aku harus bilang keras-keras."
Jingyan hanya tersenyum kecil, lalu melihat sekeliling ruangan.
"Shifu, di mana Qing Lang? Apa dia tidak datang?" Ia duduk sambil celingukan, matanya mencari keberadaan pemuda itu.
"Tadi Qing Lang sudah datang, tapi ia keluar sebentar. Katanya ingin membeli sesuatu." Sen Liang tersenyum tipis, dan dalam hatinya sempat melintas satu dugaan kecil ‘Apa gadis ini juga menyukai Qing Lang?’
"Shifu…" Qing Lang akhirnya muncul sambil membawa dua kantong kertas minyak berisi sesuatu. Namun langkahnya terhenti seketika begitu melihat Jingyan yang langsung menoleh ke arahnya.
"Kau sudah datang," ucapnya sambil tersenyum lembut.
Jingyan mengangguk pelan. "Huum."
"Apa yang kau beli, Qing Lang?" tanya Sen Liang.
"Beberapa kue untuk shifu… dan kue kesukaan Jingyan," jawabnya tanpa ragu. Ia menyodorkan satu kantong ke arah Jingyan.
Senyum Jingyan terbit seketika, cerah dan spontan. "Untukku?!"
Qing Lang ikut tersenyum melihat ekspresinya.
Sementara itu, Sen Liang hanya menggeleng pelan dan tersenyum.
‘Aiya… benar-benar pasangan yang serasi,’ batinnya.
"Satu lagi untuk shifu," Qing Lang menyerahkan kantong kedua.
"Kau memang murid yang baik. Selalu tahu kesukaan shifu," ujar Sen Liang sambil tertawa kecil dan menerima kue itu.
Setelah menikmati gigitan pertama, ia tiba-tiba berkata, "Oh iya, Qing Lang, Jingyan… bisakah kalian menemani shifu mengunjungi beberapa pasien di desa?"
Qing Lang langsung mengangguk. "Tentu, Shifu."
"Maaf, Shifu… sepertinya kali ini Jingyan tak bisa."
Padahal alasannya jelas—setelah pelajaran ini selesai, ia akan berkeliling pasar mencari keberadaan tabib Ling An itu.
Sen Liang langsung berhenti mengunyah kuenya. "Hm? Kenapa? Bukannya kau selalu suka berkeliling desa?"
"Kenapa? Bukannya kau memang suka menemani Shifu berkeliling desa?" tanya Qing Lang heran.
Keduanya berbicara hampir bersamaan, membuat Jingyan reflek menggaruk kepalanya yang sebenarnya tidak gatal.
"Emmm… hari ini aku mau membuat obat untuk Nannan jiejie! Iya—aku lupa belum membuatnya," ucap Jingyan sambil tersenyum, mencoba terlihat meyakinkan.
"Ooh, jadi kau belum membuatnya, ya?" Qing Lang mengangguk pelan.
"Iya, semalam aku lelah sekali, jadi langsung istirahat. Dan aku belum sempat membuatnya," jawab Jingyan dengan senyum samar.
Sen Liang mengangguk sambil kembali menikmati kuenya, namun matanya tak lepas dari dua muridnya itu. Ia tampak paham bahwa Jingyan sedang menyembunyikan sesuatu.
"Baiklah, baiklah. Kalau begitu setelah pelajaran selesai kau langsung pulang saja. Dan jangan terlalu banyak berkeliaran sendirian, mengerti?"
Jingyan tersenyum kecil. "Baik, Shifu!"
Tentu saja ia sama sekali tidak berniat pulang. Ia justru akan mencari tabib muda tampan yang ditemuinya kemarin.
Pelajaran hari itu berlangsung singkat karena Sen Liang dan Qing Lang harus mengunjungi beberapa pasien di desa pinggiran. Setelah berpamitan, Jingyan kembali berjalan menuju pusat pasar. Tidak lama kemudian, matanya menangkap sosok yang ia kenal—seorang pria muda yang sedang memeriksa pergelangan kaki seorang anak kecil yang menangis.
Ling An.
semangat teruslah aku dukung🔥❤️