Siang ini udara panas berembus terasa membakar di ruas jalan depan gerbang Universitas Siliwangi Tasikmalaya. Matahari meninggi mendekati kulminasi. Suara gaduh di sekeliling menderu. Pekikan bersahut-sahutan, riuh gemuruh. Derap langkah, dentuman marching band dan melodi-melodi bersahutan diiringi nyanyian-nyanyian semarak berpadu dengan suara mesin-mesin kendaraan.
Rudi salah satu laki-laki yang sudah tercatat sebagai mahasiswa Unsil selama hampir 7 tahun hadir tak jauh dari parade wisuda. Ia mengusap peluh dalam sebuah mobil. Cucuran keringat membasahi wajah pria berkaca mata berambut gondrong terikat ke belakang itu. Sudah setengah jam ia di tengah hiruk pikuk. Namun tidak seperti mahasiswa lain. Pria umur 28 tahun itu bukan salah satu wisudawan, tetapi di sana ia hanya seorang sopir angkot yang terjebak beberapa meter di belakang parade.
Rudi adalah sopir angkot. Mahasiswa yang bekerja sebagai sopir angkot....
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Andi Budiman, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
34. Kekhawatiran Seorang Ayah
Sebuah rumah tampak megah. Siapa pun memandang mungkin akan cepat mengira kalau penghuninya selalu bahagia. Apa yang diinginkan serba lekas tercapai. Tak akan pernah ada kekurangan apa pun. Para penghuninya mungkin selalu tersenyum dan tak pernah kehabisan kesempatan untuk tertawa.
Rumah itu besar dan mewah, bergaya eropa klasik. Tiang-tiangnya tinggi dan besar. Kokoh, indah, berhiaskan beton berukir. Berbagai tanaman hias di depannya menambah indah suasana. Kolam jernih dengan ikan-ikan berkejar-kejaran. Seorang tukang kebun merawat taman dan kolam itu dengan apik dan penuh dedikasi.
Lantainya mengkilap dari marmer pilihan, jendela-jendelanya tinggi dilengkapi tirai-tirai bludru. Beberapa mobil mewah terparkir dalam garasi tampak selalu terawat dan siap digunakan. Seorang sopir menjaganya dan merawat mobil-mobil itu dengan terampil.
Ada juga seorang penjaga keamanan yang selalu waspada karena rumah itu bukan rumah kosong belaka. Isinya tak hanya mobil mewah dan tanaman-tanaman hias langka, tetapi benda-benda antik yang dipajang di sepanjang koridor dan ruang tamu, lukisan-lukisan unik, pajangan-pajangan kaligrafi besar, dan koleksi buku-buku langka.
Semua pasti mengira orang-orang di dalamnya selalu bahagia. Senantiasa bersuka cita dan tak pernah menanggung susah. Tetapi nyatanya kebahagiaan manusia itu tak selalu diukur dengan harta.
Seorang laki-laki tua tampak sedang merenung di ruang keluarga, sebuah ruangan besar dengan pajangan buku-buku, ornamen-ornamen klasik dan benda-benda antik. Akhir-akhir ini sebuah pemikiran mengganggunya. Kebimbangan menghantui.
Beberapa menit kemudian seorang wanita anggun menghampiri, membawakan segelas susu. Pria tua itu tersenyum dan berterimakasih. Akhirnya di ruang besar dan mewah itu dia tak sendirian, melainkan ditemani si wanita.
Mereka duduk berdua di atas sebuah sofa berbahan kulit sapi asli. Si wanita tampak cemas melihat pria di dekatnya. Tak tahan diam berlama-lama si wanita pun bertanya :
“Ibu lihat akhir-akhir ini Ayah banyak merenung… Sebenarnya apa yang sedang sedang Ayah pikirkan?”
Pria itu tersenyum kemudian menjawab :
“Intan Bu, Ayah sedang memikirkan Intan.”
Si isteri menatap suaminya dengan lembut.
“Intan sudah tingkat tiga, sebentar lagi tingkat empat, kalau tidak ada halangan dia segera diwisuda!”
“Terus apa yang Ayah khawatirkan?”
“Seperti pernah Ayah katakan, ayah ingin melihat anak kita itu sudah punya calon pendamping. Kalau perlu sudah menikah.”
“Iya Ayah, Ibu mengerti…”
“Ayah sudah tua. Kini usia Ayah sudah 69 tahun. Belum lega rasanya melihat anak kita satu-satunya itu belum diperistri seseorang.”
“Iya Ayah, tapi bukankah ada beberapa orang yang suka bertamu menemui ayah? Tampaknya mereka semua memiliki niat baik.”
“Ibu betul, tapi belum satu pun yang menyatakan keseriusan untuk melamar anak kita. Mereka hanya datang bertukar pikiran dan mengobrol, sekali-kali menanyakan kabar Intan, tak lebih dari itu.”
“Mungkin belum ada yang berani Yah...”
“Ya, mungkin.”
“Tetapi Ibu lihat ada satu orang yang tampak cukup berani. Bukankah ia sering berkunjung? Apakah dia belum mengatakan sesuatu?”
“Oh ya, Edgar… ya dia memang sering berkunjung…”
“Bagaimana menurut ayah Nak Edgar ini?”
“Dia dosen teladan, cerdas, berani…”
“Betul. Lalu…?”
“Dia belum menyatakan maksudnya secara serius, tapi dia memang mengaku bahwa dia menyukai anak kita, bahkan dia juga mengatakan bahwa dia mengajar Intan di kampus…”
“Dosen Intan?”
“Ya, Edgar adalah Dosen Intan…”
“Bagaimana orangnya, selain pandai dan berani?”
“Dia baik, banyak sekali prestasinya, banyak pengalamannya, dia suka membicarakannya di sini.”
“Ada lagi yang lain?”
“Ada, tapi ya… sudahlah tak perlu dibicarakan, mungkin itu hanya pandangan-pandangan pribadi ayah saja, selebihnya harus anak kita sendiri yang menilai…”
“Terus bagaimana baiknya, kita tunggu saja?”
“Ya, tentu, kita tunggu! Bukan hanya Edgar tetapi yang lainnya juga. Siapa saja yang lebih dulu.”
“Yang lainnya siapa Yah? Dosen juga?”
“Macam-macam Bu, dosen ada, anak pejabat kampus juga ada, bahkan dosen pascasarjana juga ada, masih muda. Terakhir kali datang ke sini anak seorang pengusaha."
“Kalau ada salah satu dari pemuda-pemuda itu yang datang dan berani menyatakan maksudnya, sudah pasti diterima?”
“Tentu tidak, kita perlu menanyakannya pada anak kita, karena walau bagaimana pun pada akhirnya Intan yang akan menimbang segala sesuatunya dengan hati dan pikiran dia sendiri, karena dia juga yang akan menjalani semuanya kelak bila telah berumah tangga.”
“Ibu sependapat Yah!”
“Anak kita sudah dewasa Bu...”
“Iya, kita harus percaya padanya. Ibu melihat Intan itu perempuan berhati lembut. Walau sesekali manja, pikiran-pikirannya sebenarnya sudah matang dan dewasa. Dia cukup bisa diandalkan dalam membuat keputusan.”
“Intan seperti ibunya, lembut dan dewasa.”
“Tetapi ia juga cerdas dan bijak seperti ayahnya…”
Kedua pasang suami isteri itu tersenyum.