Hidup Aranti sudah hancur sejak 1 bulan lalu, setelah siswi kelas 2 SMA itu diperkosa oleh Davin—kakak kelasnya. Namun, Aranti harus menegakkan bahunya lantaran kejadian tersebut menghadirkan seonggok janin yang akhirnya tumbuh di dalam rahimnya.
Ketika semua orang termasuk orang tua Aranti memaksa Aranti untuk menggugurkan janinnya kemudian menganggap tidak pernah terjadi apa-apa. Demi masa depan sang janin, Aranti terpaksa menerima tanggung jawab Davin yang sangat ia benci, atas perbuatan pemuda itu kepadanya.
Setelah menikah, Aranti tinggal bersama keluarga Davin, sementara Davin melanjutkan kuliahnya di luar kota. Namun, meski orang tua Davin merupakan orang paling terpandang di desa Aranti tinggal, mereka justru memperlakukan Aranti layaknya budak. Fatalnya, kepulangan Davin tiga bulan kemudian, justru dibarengi dengan seorang wanita bernama Anggita.
“Anggita sedang hamil anakku dan aku akan menikahinya, apalagi orang tuaku sangat setuju. Jadi, jika kamu tidak suka, aku akan langsung menceraikanmu!” ucap Davin tanpa merasa bersalah sedikit pun.
Lantas, apakah kali ini Aranti masih akan bertahan di tengah kenyataannya yang berjuang sendiri?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rositi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab Tiga Puluh Empat
“Dikasih hati masih minta jantung ya, kalian!” tegas wanita paruh baya bertubuh agak gendut dan tak lain ibu Maria.
Sambil mengawasi wajah-wajah pembantunya yang kompak menunduk, ibu Maria berkata lantang. “Selain Cici, Markus, dan juga Anggita, ... siapa lagi yang suka ngaku-ngaku kalau rumah ini, rumah kalian?!”
“HAHHHH?!” refleks ibu Susi yang memang langsung syok berkat ucapan ibu Maria barusan.
Ibu Susi perlahan sempoyongan dan berakhir terduduk di lantai sana yang terasa sangat dingin. Selain jantungnya yang berdetak sangat kencang, dadanya juga terasa sangat sesak. Sakit luar biasa yang ia rasa juga perlahan membuatnya tak berdaya. Padahal, ia tak sampai berdarah-darah akibat lukanya. Namun, apa yang ibu Maria tegaskan barusan menegaskan, bahwa kecurigaannya Anggita sekeluarga hanya ngaku-ngaku kaya, benar adanya.
“Ya ampun ... berarti aku beneran rugi bandar! Semua uang sudah keluar ditransfer ke Davin. Bahkan efek toko yang terlalu sepi, sekadar beli barang buat isi toko lagi saja, aku beneran enggak bisa. Karena setelah ditinggal Aranti, toko beneran mati!” batin ibu Susi berakhir sesak napas parah. “Lah ini ... bisa-bisanya Davin ketipu pembantu buntung yang ngaku-ngaku jadi bos!” Jauh di bawah alam sadarnya, ibu Susi terus meratapi nasibnya. Mengenai kefatalan Davin yang ditipu Anggita mentah-mentah. Juga, mengenai suaminya yang kini entah di maba? Karena sekadar kabar saja, suami ibu Susi tak lagi mengabarinya.
Davin yang sudah berlutut di hadapan mamanya langsung heboh mengkhawatirkan bahkan ketakutan karena keadaan sang mama. “Ma ... Mama kenapa, Ma?!”
Teriak khawatir Davin, mengecohkan fokus yang ada di sana. Semuanya, termasuk Anggita dan orang tuanya yang awalnya duduk di lantai, langsung menjadikan Davin sebagai fokus perhatian.
“Ibu Susi kena serangan jantung, atau memang langsung sakratul maut, ya?” pikir Anggita di tengah wajahnya yang masih basah oleh air mata. Keadaan tersebut tak luput dari kemarahan ibu Maria yang berdalih akan melaporkan Anggita maupun orang tuanya ke polisi. Karena apa yang Anggita dan orang tuanya lakukan sangat merugikan ibu Maria.
Terlebih sejauh ini, ibu Maria tipikal orang kaya yang tak mau diekspos kekayaannya. Jangankan menggembar-gemborkan rumahnya yang sangat megah. Sekadar mengirim barang pesanan kepadanya saja, ibu Maria selalu melakukannya ke rumah yang tidak semegah yang ia tempati.
“Dikejar-kejar orang pajak, urusannya berat!” batin ibu Maria. “Bisa-bisanya kamu ngaku rumah ini sebagai rumahmu. Kamu foto-foto di instagram, tikto.kan dan siap menerima wawancara di sini. Kamu enggak izin ke saya, dan kamu sengaja melakukan segala tawaran sekaligus pertemuan, ketika saya tidak di rumah. Bahkan sekarang kamu menginapkan orang tanpa seizin saya juga!” kesal ibu Maria yang tak segan mendorong kepala Anggita, sekuat tenaga.
Anggita yang biasanya sangat arogan, hanya tersedu-sedu. Permintaan maaf juga terdengar lirih keluar dari bibirnya.
“Ini tolong, dong ... tolong mamaku!” heboh Davin tak sedikit pun gentle apalagi bisa diandalkan. Ia hanya nangis sambil mengguncang tubuh sang mama. Berharap, keajaiban termasuk itu bantuan segera datang agar ia tak kewalahan sendiri apalagi jika harus berjuang berlebihan.
“Si ibu Susi mati apa, ya?” batin ibu Cici penasaran, bahagia, tapi kasihan juga.
••••
Ketika Davin dan ibu Susi tengah merasakan kesialan akibat kesalahan fatal mereka. Tidak dengan Aranti yang perlahan tapi pasti, menikmati buah dari kesabarannya.
Bersama mas Narendra dan kedua orang tuanya, Aranti tengah duduk di ruang tamu kediaman orang tua kandungnya. Hanya saja, kedatangan Aranti kali ini di sana benar-benar sebagai tamu. Aranti duduk di antara ibu Arimbi dan mas Narendra. Di bangku kayu yang warga sekitar sebut risban, Aranti menyaksikan serah terima sekaligus kesepakatan dirinya diadopsi oleh ibu Arimbi beserta suami.
Kebersamaan tersebut jug disaksikan oleh aparat setempat. Dari ketua RT, RW, bahkan kades, disaksikan juga oleh perwakilan tetangga.
Sebelum kesepakatan terjadi, orang tua sekaligus kakak-kakak Aranti yang ada di sana, sudah mengetahui semuanya. Bukan perkara Aranti yang akan memiliki kehidupan jauh lebih layak. Yang mana kini, Aranti juga sudah bisa kembali menjadi murid di sekolahannya. Melainkan, ini juga tentang KDRT yang Aranti alami sekaligus dapatkan dari orang tua maupun kakak-kakaknya. Ibu Arimbi sekeluarga yang memang dari lingkungan pengacara, berdalih tak segan untuk memperkarakannya jika kejadiannya sampai terulang.
“Bukan hanya polisi dan aparat desa yang harus bergerak. Karena lingkungan juga harus segera bergerak jika kejadian KDRT terjadi. Agar pelaku KDRT jera, dan korban pun merasa jauh lebih aman. Minimal, korban merasa jauh lebih aman agar mereka tak takut bahkan sekadar ragu meminta tolong. Karena pada kenyataannya, KDRT memang tidak pernah dibenarkan!” tegas mas Narendra yang juga sudah kenal oleh semua yang ada di sana, termasuk itu keluarga Aranti.
Sebagai pengacara yang terbiasa membela rakyat kecil di sana melanjutkan kiprah sang papa, Mas Narendra memang terkenal di kalangan masyarakat. Malahan para aparat desa berusaha untuk lebih dekat, agar kelangsungan jabatan mereka makin awet berkat dukungan mas Narendra sekeluarga.
“Ketika di luar sana banyak orang yang masih sangat berjuang hanya untuk menghadirkan seorang bayi, kalian justru dengan keji membuang aku seperti ini. Bahkan sekadar melirikku saja, kalian tidak melakukannya. Namun aku bersumpah, bersama keluarga baruku, aku akan bahagia. Bersama keluarga baruku, aku akan menjadi orang yang tak kalah sukses dari mereka. Malahan selain aku yang akan mengabdi kepada mereka sebagai orang tua sekaligus keluarga baruku, aku juga akan mengabdi kepada rakyat kecil seperti yang sudah mereka lakukan sejak lama. Enggak apa-apa, Aranti. Kamu tetap jadi anak spesial. Kamu tetap menjadi orang paling beruntung karena bisa mendapatkan kesempatan langka ini!” batin Aranti menguatkan dirinya sendiri. Ia buru-buru membalas genggaman kedua tangan ibu Arimbi yang kebetulan baru saja menggenggam kedua tangannya yang ada di pangkuan.
Ibu Arimbi jelas tengah berusaha menguatkan Aranti. Apalagi sebagai wanita, seorang ibu yang juga pernah menjadi seorang anak, sampai kapan pun, seorang anak akan tetap membutuhkan ibu maupun orang tuanya. Meski kini, anak tersebut juga sudah menjadi orang tua untuk anak sekaligus keluarganya.
“Semangat, ya ... kamu pasti bisa! Kamu bisa bahagia, kamu bisa sukses, kamu bisa membantu sesama seperti yang kamu angankan. Insya Allah, setiap niat baik pasti ada bahkan banyak jalan!” lembut ibu Arimbi sambil menuntun Aranti pergi dari sana.
Tadi, Aranti sempat kembali menyalami orang tua maupun kakak-kakaknya. Namun, lagi-lagi tetap tidak ada interaksi lebih dari mereka, meski Aranti sudah memulainya.
“Iya, ... aku pasti bisa, Ma!” lirih Aranti sambil menunduk berat.