Mei Lin, seorang dokter muda dari tahun 2025, sedang dalam perjalanan darurat untuk menyelamatkan nyawa seseorang ketika sebuah kecelakaan tak terduga melemparkannya ke masa lalu. Terhempas ke laut dan terbangun di tengah medan perang, ia menemukan dirinya berada di kamp Pangeran Mahkota Rong Sheng dari Dinasti Xianhua, yang terluka parah dan sekarat.
Dengan insting medisnya, Mei Lin menggunakan alat-alat modern dari ransel besarnya untuk menyelamatkan nyawa sang pangeran, mengira ini hanyalah lokasi syuting drama kolosal. Namun, kesalahpahaman itu sirna saat anak buah Rong Sheng tiba dan justru menangkapnya. Dari situlah, takdir Mei Lin dan Rong Sheng terjalin.
Di tengah intrik istana dan ancaman musuh, Mei Lin harus beradaptasi dengan dunia yang sama sekali asing, sementara pengetahuannya dari masa depan menjadi kunci bagi kelangsungan hidup dinasti. Bisakah seorang dokter dari masa depan mengubah takdir sebuah kerajaan kuno?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon R. Seftia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 18: Menjaga Jarak
Menangis dipelukan Rong Sheng, Mei Lin mengeluarkan semua air mata yang selama ini ia tahan. Pelukan itu disaksikan oleh para pelayan, dan akhirnya hal itupun sampai ke telinga Rui Xi.
Rui Xi yang mendengar hal itu, langsung bergegas menuju tempat dimana para pelayan melihat Rong Sheng dan Mei Lin berpelukan tanpa perduli dengan apa yang orang lain pikirkan jika sampai melihat hal itu.
Sesampainya Rui Xi di tempat itu, ia berusaha keras untuk menahan amarahnya. Ia berjalan mendekat kearah Rong Sheng dan Mei Lin.
"Pangeran...." Suara Rui Xi terdengar getir.
Mendengar suara Rui Xi, Rong Sheng langsung melepaskan pelukannya. Melepaskan Mei Lin dan kemudian menghadapi Rui Xi dengan wajah yang tampak merasa bersalah. Di sisi lain, Mei Lin berusaha keras menghapus jejak air matanya, dan kemudian berdiri kembali menghadap Rui Xi dengan mata yang merah akibat menangis.
"Putri...." Rong Sheng tampak bingung untuk memberikan penjelasan kepada Rui Xi. "Maafkan aku, tapi, ini tidak seperti yang kau pikirkan." Rong Sheng berusaha menjelaskan, tak ingin Rui Xi berpikir yang bukan-bukan tentang dirinya dan Mei Lin.
"Memangnya apa yang mungkin aku pikirkan, pangeran?" Rui Xi menatap Rong Sheng, kemudian menatap Mei Lin yang hanya menunduk tak bersuara.
Rong Sheng hanya bisa terdiam, merasa jika dirinya memang salah dan tak pantas untuk bicara saat itu.
"Aku sedang berusaha keras untuk mempersiapkan pernikahan kita yang tinggal beberapa hari lagi. Tapi, di sini kau justru sedang memeluk gadis lain, tak segan memperlihatkan hal tak pantas itu di depan para pelayan. Hal itu benar-benar melukai harga diriku pangeran," ucap Rui Xi dengan suara yang terdengar getir.
"Bukankah sebelumnya kau sudah berjanji kepadaku untuk menjauhi tabib ini? Kau sudah berjanji kepadaku, pangeran. Kau berjanji tidak akan lagi berurusan dengannya. Kau berjanji tidak akan lagi dekat dengannya. Demi diriku! Lalu, kenapa... kenapa kau masih melakukannya? Apakah mungkin kau memiliki perasaan untuknya?"
Pertanyaan mengejutkan dari Rui Xi sontak saja membuat Rong Sheng dan Mei Lin terkejut. Dan yang awalnya Mei Lin tak ingin ikut campur, akhirnya ia terpaksa bicara, menjelaskan situasinya kepada Rui Xi.
"Tidak. Tidak seperti itu Tuan Putri." Mei Lin berusaha untuk menjelaskan. "Tidak akan mungkin ada perasaan seperti itu diantara kami berdua. Pangeran hanya berbaik hati membantuku untuk menemukan seseorang dan menemukan jalan pulang untukku. Dia merasa bertanggung jawab, karena dia lah yang membawaku ke tempat ini. Hanya itu hubungan di antara kami berdua. Tidak lebih dari itu. Aku bisa bersumpah jika perlu," jelas Mei Lin.
Rui Xi mendengarkan, tetapi kemudian membuang muka. Tak ingin mempercayai apa yang baru saja Mei Lin katakan.
"Aku benar-benar tidak peduli dengan hubungan rumit macam apa yang terjalin di antara kalian berdua. Tapi, satu hal yang aku minta, tolong, tolong jangan mempermalukan diriku dengan menujukkan kemesraan yang tak pantas di depan umum. Hanya itu permintaanku. Kumohon, tolong lakukan itu untukku." Rui Xi menekankan keinginannya, dan kemudian ia pergi meninggalkan Rong Sheng dan Mei Lin.
Rong Sheng dan Mei Lin sama-sama terdiam.
"Kurasa ini adalah akhirnya," kata Mei Lin. "Mulai sekarang aku akan berjuang sendiri. Aku akan mencari kakakku sendiri, dan aku juga akan berusaha mencari jalan pulang sendiri. Pangeran tidak perlu membantuku lagi. Aku tidak ingin hubungan kalian berdua terganggu hanya karena diriku."
"Tidak, tidak! Aku tidak akan melepaskan tanggung jawab atas dirimu. Aku akan tetap membantu mencari keberadaan kakakmu, dan aku juga akan membantumu menemukan jalan kembali pulang ke dunia asalmu. Aku tidak akan berhenti melakukannya!" tegas Rong Sheng.
Mei Lin terdiam beberapa saat sebelum akhirnya menjawab. "Baiklah. Jika memang itu yang kau inginkan. Tapi satu hal yang harus kita lakukan. Menjaga jarak. Jangan sampai kita melukai Putri Rui Xi lagi. Kita harus menjaga nama baiknya dan harga dirinya. Kalian juga akan segera menikah. Tidak akan baik jika kau dekat dengan wanita lain ketika pernikahmu sudah dekat."
Rong Sheng terdiam. Tak menjawab kata-kata Mei Lin.
"Baiklah. Kalau begitu, aku akan kembali ke kamarku. Dan untuk lukisannya, Zhi Ruo akan membantu. Aku akan bicara langsung dengannya. Setelah selembarannya siap, barulah aku akan memberikan kepadamu." Mei Lin menujukkan batasan yang jelas di antara dirinya dan Rong Sheng, kemudian pergi menjauh darinya.
Melihat Mei Lin semakin menjauh darinya, entah kenapa, tetapi perasaan aneh telah mengganggu ketenangannya. Rong Sheng tak mengerti, kenapa hatinya terasa sakit saat Mei Lin membuat batasan yang jelas di antara mereka berdua.
***
Di tempat lain, lebih tepatnya di ruang kerja para tabib istana, Mei Lin berusaha mencari di mana keberadaan Zhi Ruo. Dan setelah menemukannya, Mei Lin dan Zhi Ruo pun duduk bersama dengan banyak lembaran kertas di atas meja dan juga tinta untuk melukis wajah Mei Lan.
Sebelum menujukkan foto Mei Lan kepada Zhi Ruo, Mei Lin bertanya tentang bagaimana nasib mayat para pembunuh tadi. Apakah Zhi Ruo telah melakukan upacara terakhir untuk mereka? Mei Lin ingin tahu tentang itu, karena Mei Lin terus memikirkannya, takut hal itu akan datang membayangi mimpinya lagi.
"Bagaimana dengan mayat para pembunuh itu? Apa kau sudah mengurusnya? Kau melakukan upacara terakhir untuk mereka?" tanya Mei Lin.
Zhi Ruo mengangguk. "Iya. Kau tenang saja. Aku sudah melakukan semuanya. Aku yakin, jiwa mereka akan tenang. Tidak perlu mengkhawatirkan hal itu, dan sekarang, coba kau jelaskan bagaimana wajah kakakmu itu."
Daripada mendeskripsikan bagaimana wajah Mei Lan, Mei Lin lebih memilih menujukkan foto Mei Lan kepada Zhi Ruo. Hal itu jauh lebih mudah dan efisien.
"Daripada menjelaskan, lebih baik kau lihat sendiri." Mei Lin menyerahkan handphonenya kepada Zhi Ruo. Di layar handphone itu, terlihat jelas wajah Mei Lan. "Itu kakakku. Namanya Mei Lan."
Zhi Ruo tampak terkejut melihat gambar yang ada di handphone Mei Lin. Dia berpikir, bagaimana bisa benda kotak itu membuat lukisan yang terlihat sama persis dengan orang aslinya.
"Luar biasa. Alat-alat dari duniamu benar-benar sangat luar biasa. Bagaimana bisa benda ini membuat lukisan yang terlihat sangat nyata seperti ini?" tanya Zhi Ruo dengan polosnya.
"Nanti saja kagumnya. Sekarang, lukislah. Melukis gambar ini akan membutuhkan waktu yang lama. Kau pasti akan merasa sangat lelah karena harus melukis di banyak kertas." Mei Lin merasa kasihan kepada Zhi Ruo.
"Tidak papa. Hal ini bukan apa-apa dibandingkan ilmu yang telah kau berikan kepadaku. Aku akan berusaha semaksimal mungkin. Semoga saja dengan ini, kau bisa bertemu dengan kakakmu," kata Zhi Ruo.
"Semoga...." Mei Lin benar-benar berharap hal itu benar-benar terjadi. Tidak peduli perlu berapa lama untuk melakukannya... Mei Lin benar-benar berharap hal itu akan terjadi.
***
Bersambung.
aku jadi ngebayangin klw aku kayak gitu pasti sama takut nya ataw bahkan lebih dari itu