Dia adalah pria yang sangat tampan, namun hidupnya tak bahagia meski memiliki istri berparas cantik karena sejatinya dia adalah pria miskin yang dianggap menumpang hidup pada keluarga sang istri.
Edwin berjuang keras dan membuktikan bila dirinya bisa menjadi orang kaya hingga diusia pernikahan ke-8 tahun dia berhasil menjadi pengusaha kaya, tapi sayangnya semua itu tak merubah apapun yang terjadi.
Edwin bertemu dengan seorang gadis yang ingin menjual kesuciannya demi membiayai pengobatan sang ibu. Karena kasihan Edwin pun menolongnya.
"Bagaimana saya membalas kebaikan anda, Pak?" Andini.
"Jadilah simpananku." Edwin.
Akankah menjadikan Andini simpanan mampu membuat Edwin berpaling dari sang istri?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tri Haryani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB. 34 Maaf
Sayup-sayup Andini dan Edwin yang tengah kembali berpagut mendengar bel apartement berbunyi. Edwin melepas pagutan bibir mereka kemudian menghela nafas membuat Andini menatap kasihan padanya.
Edwin sedang menahan hasratnya meminta Andini memuaskan dirinya tanpa penyatuan seperti biasanya tapi terganggu oleh tamu tak diundang yang menekan bel apartement tidak sabaran. Entah siapa yang datang yang jelas orang itu sangat mengganggu mereka.
"Pak ...."
"Tidak apa-apa, An, kamu buka saja pintunya," kata Edwin padahal dilubuk hatinya dia mengutuk seseorang yang sudah mengganggu kegiatannya.
"Anda bagaimana?"
"Saya baik-baik saja."
"Maaf, sudah membangunkan dia," kata Andini menunjuk pada sesuatu yang berdiri tegak dibalik celana Edwin.
Edwin tersenyum, dia mencium Andini sekilas, mengusap puncak kepala gadis itu lalu pergi kekamar mandi.
Andini merapihkan dress yang dia kenakan, menyisir rambut yang berantakkan, mengoles kembali lips gloss dibibirnya kemudian keluar dari kamar.
"Sebentar!" teriak Andini karena bel apartementnya terus ditekan tidak sabaran.
Ceklek.
"Kak Bima?"
"Lama sekali buka pintunya?" Bima melangkah begitu saja masuk kedalam apartement melewati Andini yang tadi membukakan pintu untuknya.
Andini menutup pintu apartement kemudian menghampiri Bima yang kini sudah duduk disofa. Andini duduk disebelah Bima setelah mengambilkan minum untuk lelaki itu.
Bima melirik tas milik Edwin yang tergeletak dilantai membuatnya menghela nafas panjang. Bima bisa menduga bila sekarang Edwin ada diapartement adiknya.
"An," panggil Bima.
"Iya Kak," jawab Andini menatap pada sang Kakak yang sepertinya ingin berbicara serius padanya.
"Sebelum cinta kamu semakin dalam untuk Pak Edwin Kakak minta sebaiknya kamu berhenti menjadi simpanannya," titah Bima.
"Kak ...."
"Kakak hanya tidak ingin kamu kecewa dan sakit hati, Andini."
"Kak Bima, Kakak tahu sendiri kan aku tidak mungkin bisa berhenti. Aku sudah terlanjur menjadi simpanan Pak Edwin dan seterusnya akan begitu hingga Pak Edwin sendiri yang melepaskan aku."
"Bila menunggu saat itu tiba kamu pasti akan kecewa dan sakit hati, An."
"Aku tidak apa-apa, Kak."
"Tapi Kakak khawatir padamu, An."
"Kakak tidak usah mengkhawatirkan apa yang belum tentu akan terjadi. Aku baik-baik saja."
"Hahh! Ya sudah lah, An, Kakak hanya bisa mengingatkan selebihnya kamu sendiri yang akan menjalaninya. Kakak harap kamu benar-benar akan baik-baik saja."
"Terima kasih, Kak."
Bima mengangguk kemudian mengambil minuman kaleng didepannya, membuka minuman itu kemudian menenggaknya.
Bima kembali menatap Andini.
"Kakak baru tahu, An, kalau istri Pak Edwin itu Bu Mona--GM ditempat aku bekerja."
"Hahh? Yang benar Kak?"
Bima mengangguk. "Entah bagaimana nasib Kakak bila nanti hubungan kamu dengan Pak Edwin terbongkar," kata Bima kemudian menenggak lagi minuman kaleng ditangannya.
"Maaf," lirih Andini.
Bima tersenyum. Dia lalu mengusap kepala Andini. "Tak apa, An, ini juga karena Kakak yang hendak menjualmu pada Pak Louis waktu itu."
Bima lalu bangkit dari duduknya. "Kakak pulang, An," pamit Bima.
"Tidak makan malam dulu disini, Kak?" tanya Andini.
"Tidak, An, nanti Kakak mengganggu kalian," ucap Bima melirik sinis pada Edwin yang baru keluar dari kamar hanya mengenakan celana kolor. Rambut Edwin setengah basah dia baru saja mandi dan belum mengenakan pakaian.
"Kamu memang mengganggu kami," sahut Edwin berjalan menghampiri Bima dan Andini.
Bima mencebik dia mengusap kepala Andini lalu pamit sekali lagi dan pergi dari apartement.
Andini masih menatap pintu apartement yang baru saja Bima tutup. Ada rasa bersalah dihati Andini karena sudah membuat Bima mengkhawatirkan dirinya. Tapi mau bagaimana lagi, karena Andini tidak mungkin berhenti menjadi simpanan Edwin.
Andini menoleh pada Edwin yang menatapnya penuh tanya.
"Ada apa Bima datang?" tanya Edwin.
"Kak Bima hanya mengkhawatirkan saya," jawab Andini.
"Apa karena saya?" tanya Edwin lagi.
Andini tersenyum, dia tak menjawab dan memilih menarik lengan Edwin mengajaknya menuju meja makan untuk makan malam.
"Wahh, kamu bahkan sudah menyiapkan makan malam untuk kita, An," kata Edwin langsung duduk dimeja makan.
"Iya, Pak, saya sengaja masak karena saya yakin anda akan datang kemari."
Edwin tertegun. Dia memang sudah berjanji pada Andini bila akan sering mengunjunginya. Edwin tidak bisa membayangkan bila Andini sudah menunggunya namun dirinya tak mengunjunginya, gadis itu pasti akan kecewa.
"Silahkan dimakan, Pak." Andini menyodorkan piring yang sudah berisi nasi, sayur dan lauk dihadapan Edwin.
"Kamu juga makan," titah Edwin.
"Iya saya juga akan makan, Pak." Andini hendak mengambil piring namun tangannya ditahan oleh Edwin.
"Saya suapin kamu makan," kata Edwin.
Andini menatap Edwin lebih dulu seolah dia sedang berfikir sejenak lalu menganggukkan kepala.
Edwin makan menggunakan tangan. Dia mengambil potongan ayam, mencampurnya dengan nasi lalu menyuapkan pada Andini. Edwin terus melakukan seperti itu menyuapi Andini dan bergantian dengan dirinya hingga makanan dipiringnya habis dan mereka nambah satu piring lagi.
Edwin membantu Andini membereskan meja makan setelah selesai makan malam. Dia mencuci piring sementara Andini mengelap meja makan dan membersihkan dapur.
"Sudah jam 20.00 anda tidak pulang, Pak?" tanya Andini.
Saat ini mereka tengah duduk disofa setelah tadi kekenyangan terlalu banyak makan. Entahlah rasanya makan malam tadi begitu lezat bagi keduanya karena mereka sangat menikmatinya.
"Tidak. Saya akan menginap disini," jawab Edwin.
"Istri anda kenapa lagi?" tanya Andini heran.
"Tidak kenapa-kenapa. Dia hanya ingin menginap dirumah orang tuanya."
"Kenapa anda tidak ikut menginap?"
"Sebetulnya istri saya mengajak saya menginap juga hanya saja saya tidak mau."
"Kenapa begitu."
"Ada sesuatu yang tak bisa saya ceritakan padamu," kata Edwin membuat raut wajah Andini seketika berubah.
"Saya pikir kedekatan kita ini membuat kita tidak memiliki privasi semacam itu. Tapi ternyata saya salah," ucap Andini sontak saja membuat Edwin menoleh padanya.
Andini tersenyum getir pada kenyataannya dia hanyalah seorang simpanan dan perkataan Edwin itu telah menyadarkan dirinya.
Edwin merasa bersalah pada Andini karena sudah berkata demikian. Dia tidak bermaksud seperti itu hanya saja dia tidak ingin Andini tahu bila dirinya memiliki masalah dengan mertuanya.
"Maaf," hanya kata itu lah yang mampu Edwin ucapkan.
Andini melepas tangan Edwin yang merangkul tubuhnya, dia lalu berlari masuk kedalam kamar sembari mengusap air mata yang tanpa dia inginkan keluar begitu saja. Andini hanya menutup pintu kamar, dia tak menguncinya karena dia tahu Edwin pasti akan tidur dikamarnya dan seranjang dengannya.
Andini merebahkan tubuhnya diatas ranjang, menarik selimut menutupi tubuhnya hingga leher, memiringkan tubuhnya lalu memejamkan matanya.
Edwin menyusul Andini masuk kedalam kamar, menaiki ranjang lalu merebahkan tubuhnya disebelah Andini yang memunggunginya. Edwin memeluk Andini erat.
"Maaf, An, saya tidak bermaksud seperti itu," lirih Edwin namun Andini tak menyahut. Dia memilih pura-pura tidur dan tak mengherani Edwin.