Dalam tahap Revisi!!!
Menceritakan seorang gadis introvert dan sangat pemalu yaitu NAFISA ZAHRA FITRIANI. Ia terus merasa insecure dengan dirinya, dan selalu menganggap dirinya tidak pantas untuk siapapun. Namun hal itu berubah ketika seorang pria datang ke dalam hidupnya yang memberi banyak kisah cinta manis dalam hidup nafisa. Pria itu adalah orang yang ditolong nafisa saat ia mengalami kecelakaan mobil, pria itu jatuh hati pada nafisa saat pandangan pertama. dia adalah AZLAN SYARAHIL,seorang ustadz muda yang sangat tampan dan di kagumi semua orang. Ia merasa nafisa telah mengambil hatinya dengan kesederhanaannya yg tidak ia temukan pada wanita manapun.
"Cintamu menyempurnakan diriku"
_NAFISA ZAHRA FITRIANI
"Aku mencintaimu itu bukan tanpa alasan, tapi karena kesederhanaanmu yang tiada kutemukan pada orang selain dirimu "
_AZLAN SYARAHIL
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon achamout, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 34
Setelah menempuh perjalanan selama kurang lebih dua jam, Ustadz Azlan, Nafisa, dan Bimo akhirnya tiba di Singapura. Mereka turun dari pesawat dengan membawa barang-barang bawaan mereka.
"Mas, kita udah sampai? Ini beneran Singapura?" tanya Nafisa dengan nada penuh kekaguman sambil melihat sekelilingnya.
"Iya, sayang, kita udah sampai. Ini Singapura," jawab Ustadz Azlan dengan senyum lembut, menikmati ekspresi senang istrinya.
"Gimana, Sa? Indah kan?" Bimo ikut menimpali.
"Iya, Bang, indah banget," ucap Nafisa tanpa berkedip, menikmati pemandangan yang benar-benar berbeda dari biasanya.
Di tengah kekaguman Nafisa, sebuah mobil hitam mewah berhenti di depan mereka. Seorang sopir berseragam keluar dan membukakan pintu mobil. "Please, Sir, let me assist you with your luggage," kata sopir itu sopan.
Ustadz Azlan mengangguk dan mengajak Nafisa serta Bimo masuk ke mobil. "Ayo, ini memang mobil jemputan kita," ujarnya.
Di kejauhan, Sasya dan Satria yang sejak tadi mengintai mereka dari balik kerumunan langsung memanggil taksi. "Follow that black car!" perintah Sasya kepada sopir taksi.
Mobil hitam mewah yang membawa Ustadz Azlan berhenti di depan The Fullerton Hotel Singapore, sebuah hotel megah dan ternama di Singapura. Hotel itu memiliki desain arsitektur yang memukau dan menjadi salah satu destinasi pilihan para tamu VIP.
"Thank you, Sir," kata Ustadz Azlan kepada sopir saat turun dari mobil.
"You're welcome, Sir," balas sopir dengan ramah.
Ketiganya masuk ke dalam hotel, disambut oleh staf yang sudah menunggu. Salah satu staf hotel memandu mereka menuju kamar yang telah dipesan.
"Please, Sir, this is the room we have prepared for you," kata staf itu sambil membuka pintu kamar mewah.
"Thank you. Then, what about my friend? Where is his room?" tanya Ustadz Azlan dengan sopan.
"For your friend, his room is next door. Here is his room key, Sir," jawab staf tersebut sambil menyerahkan kunci kamar.
"Okay, thank you," ucap Ustadz Azlan sebelum menyerahkan kunci itu ke Bimo. "ini kunci kamar lo," katanya.
"Yah, nggak bisa ya gue tidur di kamar lo? Gue males tidur sendirian," keluh Bimo.
"Mana bisa! Gue kan tidur sama Nafisa. Kalau nggak mau sendirian, makanya cepat cari istri biar ada yang nemenin," balas Ustadz Azlan sambil menggoda. Ia membuka pintu kamar dan mengajak Nafisa masuk.
"Yeee, lo kira cari istri gampang? Cariin dong, Lan," protes Bimo.
"Cari sendiri! yaudah gue masuk dulu, dadah" sahut Ustadz Azlan sambil menutup pintu, meninggalkan Bimo yang hanya bisa menghela napas.
"Dasar ustadz bucin," gumam Bimo kesal sambil menghentakkan kaki dan berjalan masuk ke kamarnya.
Setelah memasuki kamar, Ustadz Azlan langsung merebahkan diri di atas kasur yang empuk dan rapi. Napasnya terasa lega setelah perjalanan panjang.
"Kamarnya bagus banget, ya, Mas," ucap Nafisa sambil mendekat dan duduk di tepi kasur, matanya menyapu seluruh ruangan yang elegan.
"Iya, Sayang. Rapi, bersih, dan nyaman," jawab Ustadz Azlan, tersenyum kecil melihat istrinya yang terlihat antusias.
Nafisa bangkit dari tempat duduknya dan berjalan menuju balkon. Ia membuka pintu kaca dengan hati-hati, lalu melangkah keluar. Dari sana, ia disuguhkan pemandangan kota Singapura yang megah.
"Masyaallah, indah banget!" seru Nafisa takjub, matanya berbinar menatap gedung-gedung tinggi dan lalu lintas yang sibuk di bawah sana.
"Sayang, lagi ngapain di situ?" tanya Ustadz Azlan sambil menghampirinya. Ia berdiri di belakang Nafisa, lalu melingkarkan lengannya di pinggang istrinya, memeluknya erat.
"Mas, ngagetin aja!" Nafisa tertawa kecil. "Lihat deh, Mas, pemandangan dari sini bagus banget!" Nafisa menunjuk ke arah lampu-lampu gedung yang berkilauan.
"Iya, bagus. Tapi nanti malam lebih cantik lagi, Sayang. Dari sini, kamu bakal bisa lihat bintang-bintang dengan jelas," ucap Ustadz Azlan lembut di dekat telinganya.
"Kok Mas tahu?" Nafisa menoleh ke arahnya. "Mas sering nginep di sini?"
"Enggak sering, sih. Tapi Mas pernah beberapa kali nginep di hotel ini untuk urusan kerjaan. Jadi Mas tahu," jawabnya.
"Ooo, pantesan," Nafisa mengangguk sambil memandangi langit.
"Eh, Mas, hari ini ada rapat, kan?" Nafisa tiba-tiba ingat sesuatu.
"Iya, ada. Tapi rapatnya baru mulai setelah Zuhur, Sayang. Sekarang juga masih jam setengah sebelas," kata Ustadz Azlan sambil melirik arlojinya.
"Kenapa nggak dari pagi aja rapatnya?" tanya Nafisa penasaran.
"Kalau dari pagi, kita harus berangkat sejak Subuh. Selain itu, pagi hari biasanya para investor sibuk ngurusin kerjaan mereka. Jadwal siang itu waktu yang paling ideal untuk bahas hal penting," jelas Ustadz Azlan sabar.
"Oh, gitu. Tapi perusahaan Mas itu bisnisnya di bidang apa sih, Mas?" Nafisa menatap suaminya penuh rasa ingin tahu.
"Perusahaan Mas fokus di bidang penjualan produk-produk yang bermanfaat untuk masyarakat. Kami juga sering bekerja sama untuk menciptakan inovasi baru yang bisa membantu banyak orang," jawab Ustadz Azlan dengan nada tenang.
"Masyaallah, keren banget, Mas," Nafisa tersenyum lebar. "Sekarang aku ngerti," tambahnya sambil mengangguk.
"Bagus kalau ngerti. Yuk, kita masuk lagi," ajak Ustadz Azlan sambil menggandeng tangan istrinya.
"Iya, Mas," Nafisa menurut dan mengikuti langkah suaminya masuk ke dalam kamar.
Beberapa jam berlalu, suara azan Zuhur berkumandang. Ustadz Azlan segera mengajak Nafisa sholat berjamaah. Setelah selesai, mereka bersiap-siap untuk menghadiri rapat penting.
"Mas, rapatnya di mana? Masih di hotel ini?" tanya Nafisa sambil merapikan jilbabnya di depan cermin.
"Iya, Sayang. Hotel ini sudah menyediakan ruangan khusus untuk rapat kita," jawab Ustadz Azlan sambil mengenakan jasnya.
"Terus, kalau Mas rapat, aku nunggu di mana?" tanya Nafisa lagi.
"Kamu ikut aja, Sayang. Nanti di ruang rapat juga banyak orang. Kamu bisa duduk di lounge sambil nunggu Mas selesai," jelas Ustadz Azlan sambil meraih tas kerjanya.
"Baiklah, Mas," jawab Nafisa sambil tersenyum.
Mereka berdua keluar dari kamar hotel. Lalu berjalan ke kamar bimo dan mengetuk pintu.
"Bim, lo udah selesai belum?" tanya Ustadz Azlan.
"Iya, udah..." jawab Bimo sambil membuka pintu.
Mereka pun berjalan bersama menuju tempat rapat Ustadz Azlan. Beberapa menit kemudian, mereka tiba di tempat rapat yang sudah dipenuhi banyak pengusaha besar. Suasana ruangan sangat formal, penuh dengan diskusi serius para pemimpin perusahaan.
"Welcome, Mr. Azlan Syarahil," sapa seorang pria berpenampilan berwibawa, Pak Alexander, sambil mengulurkan tangannya.
"Thank you, sir," jawab Ustadz Azlan sambil tersenyum dan menjabat tangannya.
"Welcome too, Mr. Bimo," lanjut Pak Alexander, kini mengulurkan tangannya ke arah Bimo.
"Yes, sir. Thank you," ucap Bimo dengan sopan.
Pak Alexander kemudian menatap Nafisa dengan bingung. Ia tampak penasaran dengan wanita yang berdiri di samping Ustadz Azlan.
"And this beautiful lady, who is she, Mr. Azlan?" tanyanya sopan.
"Oh, this is my wife. Her name is Nafisa," jawab Ustadz Azlan sambil merangkul Nafisa dengan penuh kasih sayang.
"Oh, Mr. Azlan's wife is very beautiful. Welcome, madam. Nice to meet you,” ucap Pak Alexander ramah sambil ingin menjabat tangan Nafisa. Namun, Nafisa hanya menangkupkan kedua tangannya dengan sopan sambil tersenyum.
Nafisa pun berkenalan dengan beberapa tamu penting yang hadir di acara tersebut, sementara Ustadz Azlan masuk ke ruang rapat khusus bersama para pemimpin perusahaan lainnya. Nafisa memilih menunggu di area luar, dekat meja yang penuh dengan berbagai makanan dan minuman. Sambil menunggu, ia mencicipi beberapa makanan dan berbincang dengan seorang istri pengusaha yang juga menunggu suaminya di tempat tersebut.
Namun, Nafisa tidak menyadari bahwa dari tadi ada dua pasang mata yang terus mengamatinya dengan penuh rencana jahat.
"Sat, Nafisa lagi sendiri tuh. Lo kasih minuman ini ke dia," bisik Sasya dengan senyum licik.
"Ini minuman apa, Sya?" tanya Satria, tampak ragu.
"Udah, lo nggak usah banyak tanya. Yang penting kasih aja. Begitu dia minum, dia bakal pusing terus pingsan. Abis itu, kita bawa dia pergi," jawab Sasya yakin.
"Tapi kalau dia ngenalin gue gimana?"
"Nggak akan. Dia nggak kenal sama lo. Lo pura-pura aja jadi pelayan dan kasih minuman ini ke dia. Dia nggak bakal curiga."
Satria akhirnya menerima gelas minuman dari Sasya dan berjalan mendekati Nafisa. Dengan menyamar sebagai pelayan, ia mendekati Nafisa yang sedang menikmati makanannya.
"Maaf, nyonya. Ini ada minuman untuk Anda," ucap Satria mencoba menyembunyikan kegugupannya.
Nafisa menatap pria itu dengan rasa heran. "Maaf, mas. Mas bisa bicara bahasa Indonesia?"
Mendengar itu, Satria panik. Ia lupa bahwa ia sedang di luar negeri dan tidak seharusnya berbicara bahasa Indonesia.
"Iya, nyonya. Saya orang Indonesia dan bekerja di sini," jawabnya cepat, mencoba memberi alasan.
"Oh, gitu..." jawab Nafisa sambil mengangguk.
"Silakan diminum, nyonya," kata Satria lagi, menyerahkan gelas tersebut.
"Iya, terima kasih," ucap Nafisa ramah sebelum akhirnya meminum air di dalam gelas itu.
Setelah beberapa teguk, Nafisa mulai merasa pusing. Pandangannya kabur, tubuhnya melemas, dan ia pun terjatuh. Saat hampir menyentuh lantai, seorang wanita tua yang berada di dekatnya segera menangkap tubuh Nafisa.
"Hey, you! What's up?" tanya wanita tersebut, khawatir.
Melihat hal itu, Sasya dan Satria segera menghampiri Nafisa. Mereka berpura-pura mengenal Nafisa dan menunjukkan ekspresi terkejut.
"Nafisa! This is my friend, madam. Why is she fainting like this?" ucap Sasya dengan nada cemas palsu.
" I don't know. Suddenly she fainted, so I helped her," jawab wanita tua itu.
"Satria, cepat, lo gendong Nafisa. Dia harus kita bawa ke rumah sakit," perintah Sasya.
Satria segera menggendong Nafisa. "Sorry, ma'am. Let us take her to the hospital. It seems like our friend's illness has recurred," ucap Sasya pada wanita yang menolong Nafisa.
"Yes, you should take her to the hospital immediately," jawab wanita itu.
Tanpa membuang waktu, Sasya dan Satria membawa Nafisa keluar dari hotel. Mereka memasukkannya ke dalam mobil yang sudah mereka siapkan dan segera pergi meninggalkan tempat tersebut. Nafisa dibawa entah ke mana, meninggalkan suasana rapat tanpa ada seorang pun yang menyadari rencana licik mereka.