KEKASIH HALALKU
Siang itu, seorang gadis pulang dari sekolah dengan wajah lesu. Langkahnya berat saat memasuki kamar. Tanpa berpikir panjang, ia menutup pintu rapat-rapat lalu melempar tas sekolahnya ke sembarang arah. Tubuhnya merosot, bersandar pada dinding kamar. Ia melipat kedua kakinya, memeluk lutut dengan tangan gemetar.
"Tuhan, kenapa hidup aku begini banget, sih? Aku capek, Tuhan! Kapan aku bisa seperti orang-orang yang selalu dikenal, diperhatikan, dan disanjung banyak orang?" suaranya bergetar, disertai isak tangis yang mengalir deras, membasahi kedua pipinya.
Gadis itu adalah Nafisa Zahra Fitriani, seorang gadis pemalu dan introvert yang hidup dalam kesederhanaan. Ia tinggal di Desa Suka Jaya, Kota Bandung, sebagai putri tunggal dari pasangan Pak Antoni dan Bu Revi Anita. Ayahnya bekerja sebagai petani, sementara ibunya hanya seorang ibu rumah tangga. Kehidupan mereka bergantung pada hasil kerja keras Pak Antoni, yang kadang mengelola ladang sendiri, kadang menggarap ladang milik orang lain.
"Nafisa! Nafisa! Kamu nggak makan, Nak? Ayo keluar, makan dulu," panggil Bu Revi dari balik pintu kamar.
"Aku nggak lapar, Bu. Nanti aja makannya," jawab Nafisa dari dalam kamar, suaranya lemah.
"Tumben kamu nggak lapar. Biasanya pulang sekolah langsung makan," ucap Bu Revi, heran.
"Ibu makan aja dulu, nggak usah tunggu aku," balas Nafisa.
"Ya sudah, tapi nanti kamu harus makan, ya. Jangan sampai sakit," kata Bu Revi, lalu meninggalkan pintu kamar.
Di dalam kamar, Nafisa masih sibuk bertarung dengan pikirannya sendiri. Ia menghela napas panjang, menatap lurus ke depan.
"Huft… aku capek. Tapi ya sudahlah, lebih baik aku sholat Zuhur dulu. Semoga nanti hati ini bisa tenang," gumamnya pelan.
Setelah menyelesaikan sholat, Nafisa bersimpuh, mencurahkan seluruh keluh kesahnya kepada Sang Pencipta.
"Ya Allah, hamba benar-benar tidak berdaya. Mengapa Engkau menciptakan hamba dengan sifat seperti ini? Hamba capek menjadi anak yang pemalu dan pendiam seperti ini. Kapan hamba bisa seperti teman-teman hamba yang berani berbicara di depan umum, punya banyak teman, dikenal banyak orang, cantik, dan percaya diri? Hamba hanya gadis pendiam, pemalu, tak dikenal, dan jauh dari kata cantik seperti wanita-wanita di luar sana, " ia menunduk lemah.
"Ya Allah, jika memang ini adalah ujian dari-Mu, tolong kuatkan hamba, karena hamba terlalu rapuh untuk terus-menerus diuji." lirih Nafisa dalam doanya, air matanya kembali mengalir deras, membasahi sajadah tempatnya bersujud.
Setelah merasa cukup tenang, Nafisa bangkit dari duduknya. Ia melepas mukena, melipatnya rapi, lalu menyimpannya di lemari. Dengan langkah perlahan, ia keluar dari kamarnya dan menuju dapur, tempat ibunya sedang mencuci piring.
"Bu..." panggil Nafisa pelan.
"Iya, Nak. Udah sholat, kan? Kalau sudah, buruan makan dulu!" sahut Bu Revi sambil tetap sibuk dengan pekerjaannya.
"Sudah, Bu. Ayah udah makan belum?" tanya Nafisa sembari melirik ke sekitar, menyadari ayahnya tidak ada di rumah.
"Ayah kamu belum pulang dari kebun, Nak. Rencananya Ibu mau nganterin makan siang ke sana."
"Biar aku aja, Bu. Nafisa yang nganterin. Sekalian Nafisa mau makan di ladang sama Ayah."
"Ya sudah kalau begitu, tunggu sebentar. Ibu siapkan bekalnya dulu."
Setelah semua bekal siap, Nafisa segera berangkat ke ladang. Ladang tempat ayahnya bekerja tidak terlalu jauh dari rumah, hanya perlu berjalan beberapa menit. Sesampainya di sana, Nafisa melihat ayahnya sedang sibuk mencangkul di bawah terik matahari.
"Ayah..." panggil Nafisa dengan suara lantang.
"Eh, anak Ayah! Tumben kamu ke sini, Nak," sahut Pak Antoni, tersenyum melihat putri semata wayangnya. Ia berjalan menghampiri Nafisa.
"Nafisa bawa makan siang untuk Ayah. Ayah belum makan, kan?"
"Iya, Ayah belum makan."
"Ya sudah, Ayah makan dulu. Nanti kerja lagi setelah makan."
Pak Antoni mengangguk. "Kamu sudah makan belum, Nak?"
"Belum, Ayah. Nafisa sengaja bawa bekal juga biar bisa makan bareng Ayah."
Pak Antoni tersenyum lembut, mengusap kepala Nafisa dengan penuh kasih sayang. "Ya sudah, tunggu sebentar. Ayah cuci tangan dulu."
Setelah mencuci tangan, mereka berdua duduk bersama di bawah pohon rindang, menikmati makan siang yang sederhana tapi penuh kehangatan.
"Sa, kamu kan sekarang udah kelas 12. Rencana kamu nanti mau kuliah di mana?" tanya Pak Antoni di sela-sela makannya.
Nafisa terdiam sesaat. "Aku nggak ada rencana buat kuliah, Yah," jawabnya sambil terus mengunyah makanannya.
"Loh, kok gitu?"
"Aku pikir, setelah lulus sekolah, aku mau langsung kerja aja, biar bisa bantu Ayah sama Ibu."
Pak Antoni menatap Nafisa serius. "Ayah sama Ibu lebih senang kalau kamu kuliah, Nak. Kamu masih muda, masa depan kamu masih panjang. Sayang kalau nggak kuliah."
"Iya, Yah, tapi Nafisa nggak mau jadi beban buat Ayah sama Ibu. Kuliah itu mahal. Lagian, Ayah kan tahu Nafisa anaknya pendiam, pemalu, dan susah bicara di depan orang banyak. Nafisa takut nggak bisa ikut kegiatan di kampus yang penuh tuntutan itu," jawab Nafisa panjang lebar, dengan suara pelan namun sarat rasa rendah diri.
Pak Antoni menarik napas panjang. "Sa, kamu nggak pernah jadi beban buat Ayah sama Ibu. Justru, kami ingin kamu punya kehidupan yang lebih baik dari kami. Memang kuliah itu nggak mudah, tapi itu kesempatan kamu untuk belajar dan melatih keberanianmu."
Nafisa menggeleng pelan. "Nafisa nggak yakin, Yah. Rasanya... Nafisa lebih cocok kerja aja."
Pak Antoni menghela napas. "Kalau kamu nggak kuliah, kamu mau kerja apa, Nak?"
Sebelum Nafisa sempat menjawab, tiba-tiba terdengar suara tabrakan keras dari arah jalan dekat ladang. Mereka berdua langsung berdiri, mencuci tangan dengan tergesa, dan berlari ke sumber suara.
Sesampainya di lokasi, mereka terkejut melihat sebuah mobil menabrak pohon besar di pinggir jalan. Nafisa dan ayahnya segera mendekati mobil itu, menemukan seorang pria muda berpakaian baju koko dengan sorban yang terjatuh dari kepalanya. Dahinya terluka, dan ia terlihat setengah sadar.
Pak Antoni membuka pintu mobil dengan hati-hati, lalu membantu pria itu keluar. "Nak, kamu nggak apa-apa?" tanyanya cemas.
"Saya nggak apa-apa, Pak. Tapi kepala saya pusing..." ucap pria itu pelan sebelum akhirnya pingsan di pelukan Pak Antoni.
"Yah, dia pingsan! Gimana ini?" tanya Nafisa panik.
"Kita bawa dia ke rumah, biar bisa diobati," jawab Pak Antoni cepat. Ia kemudian meminta bantuan beberapa warga yang lewat untuk mengangkat pria itu.
Sesampainya di rumah, mereka membaringkan pria itu di kamar tamu. Pak Antoni segera memanggil bidan terdekat untuk memeriksa keadaannya. Nafisa, ibu, dan ayahnya menunggu dengan cemas di dekat pintu.
"Dia siapa, Yah?" tanya Bu Revi bingung, ia tidak tau siapa pria yang dibawa anak dan suaminya ini pulang.
"Ayah juga nggak tahu, Bu. Tapi tadi pas Ayah sedang makan di ladang sama Nafisa, tiba-tiba kami mendengar suara tabrakan. Kami langsung bergegas ke sumber suara dan melihat sebuah mobil menabrak pohon. Ayah segera mendekati mobil itu dan melihat ada seorang pria di dalamnya. Setelah Ayah berhasil mengeluarkannya dari mobil, dia pingsan. Jadi, Ayah bawa dia ke sini untuk diobati," jelas Ayah.
Bu Revi memandang pria itu dengan saksama. "Tapi kalau dilihat dari penampilannya, kayaknya dia bukan orang sembarangan, Yah."
"Kenapa Ibu bilang begitu?"
"Lihat saja, dia pakai baju koko dan sorban. Sepertinya dia seorang ustadz," jawab Bu Revi yakin.
"Iya, Bu. Nafisa juga lihatnya begitu," timpal Nafisa.
"Dan dia masih muda. Kalau memang ustadz, itu luar biasa. Jarang ada anak muda sekarang yang mau jadi ustadz," tambah Pak Antoni.
"Permisi, Pak, Bu. Saya sudah selesai mengobati luka di keningnya. Ini ada obat yang bisa diminum jika nanti dia merasa pusing," ujar Bu Bidan saat menghampiri Nafisa dan orang tuanya.
"Oh, iya. Terima kasih banyak, Bu Bidan," jawab Ayah Nafisa.
"Kalau begitu, saya permisi dulu, Pak, Bu," kata Bu Bidan sambil beranjak pergi.
"Iya, Bu. Terima kasih," balas Ibu Revi.
Tak lama setelah Bu Bidan pergi, suara lirih terdengar dari dalam kamar.
"Akhh... saya di mana ini?" tanya pria itu, yang baru saja sadar dari pingsannya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 92 Episodes
Comments
Mukmini Salasiyanti
salken, ustadz
2024-03-04
0