KEKASIH HALALKU

KEKASIH HALALKU

Bab 1

Siang itu, seorang gadis pulang dari sekolah dengan wajah lesu. Langkahnya berat saat memasuki kamar. Tanpa berpikir panjang, ia menutup pintu rapat-rapat lalu melempar tas sekolahnya ke sembarang arah. Tubuhnya merosot, bersandar pada dinding kamar. Ia melipat kedua kakinya, memeluk lutut dengan tangan gemetar.

"Tuhan, kenapa hidup aku begini banget, sih? Aku capek, Tuhan! Kapan aku bisa seperti orang-orang yang selalu dikenal, diperhatikan, dan disanjung banyak orang?" suaranya bergetar, disertai isak tangis yang mengalir deras, membasahi kedua pipinya.

Gadis itu adalah Nafisa Zahra Fitriani, seorang gadis pemalu dan introvert yang hidup dalam kesederhanaan. Ia tinggal di Desa Suka Jaya, Kota Bandung, sebagai putri tunggal dari pasangan Pak Antoni dan Bu Revi Anita. Ayahnya bekerja sebagai petani, sementara ibunya hanya seorang ibu rumah tangga. Kehidupan mereka bergantung pada hasil kerja keras Pak Antoni, yang kadang mengelola ladang sendiri, kadang menggarap ladang milik orang lain.

"Nafisa! Nafisa! Kamu nggak makan, Nak? Ayo keluar, makan dulu," panggil Bu Revi dari balik pintu kamar.

"Aku nggak lapar, Bu. Nanti aja makannya," jawab Nafisa dari dalam kamar, suaranya lemah.

"Tumben kamu nggak lapar. Biasanya pulang sekolah langsung makan," ucap Bu Revi, heran.

"Ibu makan aja dulu, nggak usah tunggu aku," balas Nafisa.

"Ya sudah, tapi nanti kamu harus makan, ya. Jangan sampai sakit," kata Bu Revi, lalu meninggalkan pintu kamar.

Di dalam kamar, Nafisa masih sibuk bertarung dengan pikirannya sendiri. Ia menghela napas panjang, menatap lurus ke depan.

"Huft… aku capek. Tapi ya sudahlah, lebih baik aku sholat Zuhur dulu. Semoga nanti hati ini bisa tenang," gumamnya pelan.

Setelah menyelesaikan sholat, Nafisa bersimpuh, mencurahkan seluruh keluh kesahnya kepada Sang Pencipta.

"Ya Allah, hamba benar-benar tidak berdaya. Mengapa Engkau menciptakan hamba dengan sifat seperti ini? Hamba capek menjadi anak yang pemalu dan pendiam seperti ini. Kapan hamba bisa seperti teman-teman hamba yang berani berbicara di depan umum, punya banyak teman, dikenal banyak orang, cantik, dan percaya diri? Hamba hanya gadis pendiam, pemalu, tak dikenal, dan jauh dari kata cantik seperti wanita-wanita di luar sana, " ia menunduk lemah.

"Ya Allah, jika memang ini adalah ujian dari-Mu, tolong kuatkan hamba, karena hamba terlalu rapuh untuk terus-menerus diuji." lirih Nafisa dalam doanya, air matanya kembali mengalir deras, membasahi sajadah tempatnya bersujud.

Setelah merasa cukup tenang, Nafisa bangkit dari duduknya. Ia melepas mukena, melipatnya rapi, lalu menyimpannya di lemari. Dengan langkah perlahan, ia keluar dari kamarnya dan menuju dapur, tempat ibunya sedang mencuci piring.

"Bu..." panggil Nafisa pelan.

"Iya, Nak. Udah sholat, kan? Kalau sudah, buruan makan dulu!" sahut Bu Revi sambil tetap sibuk dengan pekerjaannya.

"Sudah, Bu. Ayah udah makan belum?" tanya Nafisa sembari melirik ke sekitar, menyadari ayahnya tidak ada di rumah.

"Ayah kamu belum pulang dari kebun, Nak. Rencananya Ibu mau nganterin makan siang ke sana."

"Biar aku aja, Bu. Nafisa yang nganterin. Sekalian Nafisa mau makan di ladang sama Ayah."

"Ya sudah kalau begitu, tunggu sebentar. Ibu siapkan bekalnya dulu."

Setelah semua bekal siap, Nafisa segera berangkat ke ladang. Ladang tempat ayahnya bekerja tidak terlalu jauh dari rumah, hanya perlu berjalan beberapa menit. Sesampainya di sana, Nafisa melihat ayahnya sedang sibuk mencangkul di bawah terik matahari.

"Ayah..." panggil Nafisa dengan suara lantang.

"Eh, anak Ayah! Tumben kamu ke sini, Nak," sahut Pak Antoni, tersenyum melihat putri semata wayangnya. Ia berjalan menghampiri Nafisa.

"Nafisa bawa makan siang untuk Ayah. Ayah belum makan, kan?"

"Iya, Ayah belum makan."

"Ya sudah, Ayah makan dulu. Nanti kerja lagi setelah makan."

Pak Antoni mengangguk. "Kamu sudah makan belum, Nak?"

"Belum, Ayah. Nafisa sengaja bawa bekal juga biar bisa makan bareng Ayah."

Pak Antoni tersenyum lembut, mengusap kepala Nafisa dengan penuh kasih sayang. "Ya sudah, tunggu sebentar. Ayah cuci tangan dulu."

Setelah mencuci tangan, mereka berdua duduk bersama di bawah pohon rindang, menikmati makan siang yang sederhana tapi penuh kehangatan.

"Sa, kamu kan sekarang udah kelas 12. Rencana kamu nanti mau kuliah di mana?" tanya Pak Antoni di sela-sela makannya.

Nafisa terdiam sesaat. "Aku nggak ada rencana buat kuliah, Yah," jawabnya sambil terus mengunyah makanannya.

"Loh, kok gitu?"

"Aku pikir, setelah lulus sekolah, aku mau langsung kerja aja, biar bisa bantu Ayah sama Ibu."

Pak Antoni menatap Nafisa serius. "Ayah sama Ibu lebih senang kalau kamu kuliah, Nak. Kamu masih muda, masa depan kamu masih panjang. Sayang kalau nggak kuliah."

"Iya, Yah, tapi Nafisa nggak mau jadi beban buat Ayah sama Ibu. Kuliah itu mahal. Lagian, Ayah kan tahu Nafisa anaknya pendiam, pemalu, dan susah bicara di depan orang banyak. Nafisa takut nggak bisa ikut kegiatan di kampus yang penuh tuntutan itu," jawab Nafisa panjang lebar, dengan suara pelan namun sarat rasa rendah diri.

Pak Antoni menarik napas panjang. "Sa, kamu nggak pernah jadi beban buat Ayah sama Ibu. Justru, kami ingin kamu punya kehidupan yang lebih baik dari kami. Memang kuliah itu nggak mudah, tapi itu kesempatan kamu untuk belajar dan melatih keberanianmu."

Nafisa menggeleng pelan. "Nafisa nggak yakin, Yah. Rasanya... Nafisa lebih cocok kerja aja."

Pak Antoni menghela napas. "Kalau kamu nggak kuliah, kamu mau kerja apa, Nak?"

Sebelum Nafisa sempat menjawab, tiba-tiba terdengar suara tabrakan keras dari arah jalan dekat ladang. Mereka berdua langsung berdiri, mencuci tangan dengan tergesa, dan berlari ke sumber suara.

Sesampainya di lokasi, mereka terkejut melihat sebuah mobil menabrak pohon besar di pinggir jalan. Nafisa dan ayahnya segera mendekati mobil itu, menemukan seorang pria muda berpakaian baju koko dengan sorban yang terjatuh dari kepalanya. Dahinya terluka, dan ia terlihat setengah sadar.

Pak Antoni membuka pintu mobil dengan hati-hati, lalu membantu pria itu keluar. "Nak, kamu nggak apa-apa?" tanyanya cemas.

"Saya nggak apa-apa, Pak. Tapi kepala saya pusing..." ucap pria itu pelan sebelum akhirnya pingsan di pelukan Pak Antoni.

"Yah, dia pingsan! Gimana ini?" tanya Nafisa panik.

"Kita bawa dia ke rumah, biar bisa diobati," jawab Pak Antoni cepat. Ia kemudian meminta bantuan beberapa warga yang lewat untuk mengangkat pria itu.

Sesampainya di rumah, mereka membaringkan pria itu di kamar tamu. Pak Antoni segera memanggil bidan terdekat untuk memeriksa keadaannya. Nafisa, ibu, dan ayahnya menunggu dengan cemas di dekat pintu.

"Dia siapa, Yah?" tanya Bu Revi bingung, ia tidak tau siapa pria yang dibawa anak dan suaminya ini pulang.

"Ayah juga nggak tahu, Bu. Tapi tadi pas Ayah sedang makan di ladang sama Nafisa, tiba-tiba kami mendengar suara tabrakan. Kami langsung bergegas ke sumber suara dan melihat sebuah mobil menabrak pohon. Ayah segera mendekati mobil itu dan melihat ada seorang pria di dalamnya. Setelah Ayah berhasil mengeluarkannya dari mobil, dia pingsan. Jadi, Ayah bawa dia ke sini untuk diobati," jelas Ayah.

Bu Revi memandang pria itu dengan saksama. "Tapi kalau dilihat dari penampilannya, kayaknya dia bukan orang sembarangan, Yah."

"Kenapa Ibu bilang begitu?"

"Lihat saja, dia pakai baju koko dan sorban. Sepertinya dia seorang ustadz," jawab Bu Revi yakin.

"Iya, Bu. Nafisa juga lihatnya begitu," timpal Nafisa.

"Dan dia masih muda. Kalau memang ustadz, itu luar biasa. Jarang ada anak muda sekarang yang mau jadi ustadz," tambah Pak Antoni.

"Permisi, Pak, Bu. Saya sudah selesai mengobati luka di keningnya. Ini ada obat yang bisa diminum jika nanti dia merasa pusing," ujar Bu Bidan saat menghampiri Nafisa dan orang tuanya.

"Oh, iya. Terima kasih banyak, Bu Bidan," jawab Ayah Nafisa.

"Kalau begitu, saya permisi dulu, Pak, Bu," kata Bu Bidan sambil beranjak pergi.

"Iya, Bu. Terima kasih," balas Ibu Revi.

Tak lama setelah Bu Bidan pergi, suara lirih terdengar dari dalam kamar.

"Akhh... saya di mana ini?" tanya pria itu, yang baru saja sadar dari pingsannya.

Terpopuler

Comments

Mukmini Salasiyanti

Mukmini Salasiyanti

salken, ustadz

2024-03-04

0

lihat semua
Episodes
1 Bab 1
2 Bab 2
3 Bab 3
4 Bab 4
5 Bab 5
6 Bab 6
7 Bab 7
8 Bab 8
9 Bab 9
10 Bab 10
11 Bab 11
12 Bab 12
13 Bab 13
14 Bab 14
15 Bab 15
16 Bab 16
17 Bab 17
18 Bab 18
19 Bab 19
20 Bab 20
21 Bab 21
22 Bab 22
23 Bab 23
24 Bab 24
25 Bab 25
26 Bab 26
27 Bab 27
28 Bab 28
29 Bab 29
30 Bab 30
31 Bab 31
32 Bab 32
33 Bab 33
34 Bab 34
35 Bab 35
36 Bab 36
37 Bab 37
38 Bab 38
39 Bab 39 Cintaku istimewa
40 Bab 40 Jalan2 ke taman
41 Bab 41 Ngambek
42 Bab 42 Nafisa Pingsan
43 Bab 43 Kabar Bahagia
44 Bab 44 Bersyukur
45 Bab 45 Mual
46 Bab 46 Pulang Kampung
47 Bab 47 Takut
48 Bab 48 Terharu
49 Bab 49 Ngidam
50 Bab 50 Pisah Tidur
51 Bab 51 Aku beruntung memilikimu
52 Bab 52 Masa Lalu Nafisa
53 Bab 53 Pengumuman Visual tokoh
54 Bab 54 Nafisa Keguguran?
55 Bab 55 khawatir
56 Bab 56 Reza Tertangkap
57 Bab 57
58 Bab 58
59 Bab 59
60 Bab 60
61 Bab 61
62 Bab 62
63 Bab 63
64 Bab 64
65 Bab 65
66 Bab 66
67 Bab 67
68 Bab 68
69 Bab 69
70 Bab 70
71 Bab 71
72 Bab 72
73 Bab 73
74 Bab 74
75 Bab 75
76 Bab 76
77 Bab 77
78 Bab 78
79 Bab 79
80 Bab 80
81 Bab 81
82 Bab 82
83 Bab 83
84 Bab 84
85 Bab 85
86 Bab 86
87 Bab 87
88 Bab 88
89 Bab 89
90 Bab 90
91 Bab 91
92 Bab 92
Episodes

Updated 92 Episodes

1
Bab 1
2
Bab 2
3
Bab 3
4
Bab 4
5
Bab 5
6
Bab 6
7
Bab 7
8
Bab 8
9
Bab 9
10
Bab 10
11
Bab 11
12
Bab 12
13
Bab 13
14
Bab 14
15
Bab 15
16
Bab 16
17
Bab 17
18
Bab 18
19
Bab 19
20
Bab 20
21
Bab 21
22
Bab 22
23
Bab 23
24
Bab 24
25
Bab 25
26
Bab 26
27
Bab 27
28
Bab 28
29
Bab 29
30
Bab 30
31
Bab 31
32
Bab 32
33
Bab 33
34
Bab 34
35
Bab 35
36
Bab 36
37
Bab 37
38
Bab 38
39
Bab 39 Cintaku istimewa
40
Bab 40 Jalan2 ke taman
41
Bab 41 Ngambek
42
Bab 42 Nafisa Pingsan
43
Bab 43 Kabar Bahagia
44
Bab 44 Bersyukur
45
Bab 45 Mual
46
Bab 46 Pulang Kampung
47
Bab 47 Takut
48
Bab 48 Terharu
49
Bab 49 Ngidam
50
Bab 50 Pisah Tidur
51
Bab 51 Aku beruntung memilikimu
52
Bab 52 Masa Lalu Nafisa
53
Bab 53 Pengumuman Visual tokoh
54
Bab 54 Nafisa Keguguran?
55
Bab 55 khawatir
56
Bab 56 Reza Tertangkap
57
Bab 57
58
Bab 58
59
Bab 59
60
Bab 60
61
Bab 61
62
Bab 62
63
Bab 63
64
Bab 64
65
Bab 65
66
Bab 66
67
Bab 67
68
Bab 68
69
Bab 69
70
Bab 70
71
Bab 71
72
Bab 72
73
Bab 73
74
Bab 74
75
Bab 75
76
Bab 76
77
Bab 77
78
Bab 78
79
Bab 79
80
Bab 80
81
Bab 81
82
Bab 82
83
Bab 83
84
Bab 84
85
Bab 85
86
Bab 86
87
Bab 87
88
Bab 88
89
Bab 89
90
Bab 90
91
Bab 91
92
Bab 92

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!