Mengejar Cinta Suami Dingin

Terduduk lemas, di hadapan Alan, Dilara hanya bisa menundukan kepala. Tubuhnya yang gemetar, semakin lemah. Perempuan itu sadar, detik ini pasti rahasia yang disimpan sudah pasti akan terbongkar. Menilik dari reaksi dan ekspresi wajah Alan, sepertinya pria itu cukup tergangu dengan masalah-masalah yang akhir-akhir ini datang secara silih berganti.

Alan terdengar menghela nafas dalam. Sementara pandangannya tak teralihkan dari wajah sang istri yang memucat.

"Apa selama ini, di belakangku kau memiliki hubungan dengan Diego?."

Wajah Dilara yang tertunduk, langsung terangangkat. Cepat perempuan itu menggelengkan kepala.

"Tidak."

"Tapi kenapa dia seperti tau banyak tentangmu juga tau dengan kondisi pernikahan kita?."

Dilara menggeleng lagi kemudian berucap, "Entahlah, tapi demi Tuhan, aku tidak mengenalnya apa lagi sampai memiliki hubungan."

Alan memejamkan mata sesaat.

"Tapi kenapa Ibumu datang bersamanya?."

Tidak ada jawaban, Dilara hanya bisa menggelengkan kepala.

Ibunya dan Diego. Dilara sendiri tak mengerti kenapa Ibunya bisa mengenal Diego. Datang tiba-tiba serta menuduh Alan yang tidak-tidak. Dilara akui, pada awal-awal menikah, Alan memang cukup buruk dalam memperlakukannya. Akan tetapi semakin hari, sikap Alan perlahan mulai membaik. Begitu pun dengan kehidupan pernikahannya. Dirinya dan Alan sudah bahagia, tetapi kenapa harus muncul masalah seperti ini?.

"Dilara, kau tau aku sangat membenci kebohongan atau pun perselingkuhan meski sekecil apa pun."

Perempuan itu menelan ludah.

"Sekarang yang kuinginkan adalah kau bisa berkata jujur."

Perasaan Dilara mulai tak nyaman. Apa kali ini juga akan mempertanyakan tentang pernikahan mereka dulu?.

"Dilara, angkat kepalamu dan lihatlah aku," titah Alan pada sang istri.

Dilara pun patuh. Ia tatap sepasang mata tajam sang suami yang juga sedang menatapnya.

"Sepertinya masih ada banyak hal yang tak kuketahui tentang pernikahan kita."

Dilara menelan ludahnya susah payah. Sementara kedua tangan yang berada di pangkuan, meeremas kesepuluh jemari yang ada.

"Saat menikah, aku memang tak tau tentang asal usul, siapa keluargamu bahkan tempat tinggalmu. Kakek yang mengurus semua sampai pernikahan kita sah secara Agama dan Negara. Semula kufikir itu tak akan menjadi masalah, tetapi kata-kata yang aku dengar dari Ibumu, memantik rasa ingin tahuku dan ingin mencari jawabannya dari dirumu."

Alan menjeda sejenak pembicaraan. Ia tatap wajah sang istri yang kian memucat.

"Dilara, apa kau mencintaiku?."

"Honey, kenapa perlu bertanya. Tentu saja aku mencintaimu."

Alan tersenyum miring kemudian membuang wajah.

"Lalu apa alasanmu dulu sampai mau dinikahkan denganku?. Dilara, aku tau begitu banyak rahasia yang kau simpan bersama Kakek, dan sekarang aku ingin kau berkata jujur sebelum aku mencari tahunya sendiri."

Dilara diam. Kepalanya tak mampu lagi tegak, perempuan itu tertunduk pada akhirnya.

"Dilara, bicaralah," titah Alan dengan suara meninggi. "Katakan semuanya sebelum aku mencaritahunya sendiri."

Karna mereka selalu mengatakan kemiskinanmu yang kami manfaatkan.

Dilara menghela nafas. Ia menegakkan kepala. Biarlah, saat ini ia akan mengatakan semuanya.

"Kakek memberikan rumah dan menjamin kehidupan layak adik-adikku jika aku mau menikah denganmu. Bukan hanya itu, Kakek juga menanggung biaya pendidikan adik-adik sampai sekolah menengah."

Alan memejamkan mata seiring helaan nafas kasar yang keluar dari mulutnya. Wajah Alan terlihat kecewa. Ia mengepalkan kedua tangan sampai buku-buku jarinya memutih.

"Apa lagi, aku yakin yang kakek tawarkan bukan hanya ini?."

"Kakek akan menjamin pendidikan adik-adik sampai perguruan tinggi dan memberi beberapa aset jika aku berhasil melahirkan seorang pewaris."

Dilara memejamkan mata saat vas yang ada di atas meja dibanting secara kasar oleh Alan.

"Jadi itu Alasanmu selalu memakai pakaian minim dan terus-terusan menggodaku?. Kau ingin aku sentuh, kau ingin aku hamili agar bisa menjamin pendidikan adik-adikmu dan mendapatkan aset?." Alan tertawa, lebih tepatnya menggejek Dilara. "Tak kusangka, kau serendah ini, Dilara!. Kau tidak mencintaiku, dan dengan bodohnya aku merasa jika kau mencintaiku." Suara Alan terdengar tajam, seperti sebilah pisau yang menyayat sekujur tubuh Dilara. Begitu sakit dan perih. Sepasang mata perempuan itu mulai berkaca, dan bisa berair kapan saja.

Alan bangkit. Saat ini dirinya enggan untuk melihat wajah Dilara. Ia mengusap wajah kasar. Sungguh, ia kecewa. Lalu apa arti perhatian Dilara selama ini, selalu melayaninya meski ia perlakukan dengan semena-mena. Memanggilnya dengan sebutan 'Honey', yang Alan kira sebagai panggilan sayang untuknya, tapi nyatanya?.

"Pergilah," titah Alan tanpa melihat Lara. "Bukankah Kakek sudah memberimu rumah?. Aku tidak ingin melihat wajahmu. Pergi, dan bawa apa pun dirumah ini yang ingin kau miliki." Alan melangkah pergi, meninggalkan Dilara yang mulai menangis. Tubuh Perempuan itu sampai terjatuh ke lantai. Dilara sadar, dirinya sudah diusir. Ia akan angkat kaki, meninggalkan rumah yang sudah berbulan-bulan ini ia tempati.

Tbc.