Nagendra akankah mencair dan luluh hatinya pada Cathesa? Bagaimana kisah selanjutnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Erika Ponpon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
2
Bab 2: Ditolak Pakai Nada Datar
Hari pertama jadi asisten pribadi CEO dingin ternyata…
lebih berat daripada skripsi yang dikerjain dua hari sebelum sidang.
Jam tujuh pagi aku sudah berdiri di depan ruangannya. Bahkan matahari belum bangun sepenuhnya, tapi Pak Nagendra sudah duduk di balik meja, mengetik seperti sedang hack sistem pertahanan dunia.
Tanpa menoleh, dia berkata,
“Kamu telat satu menit.”
“Pak… saya datang lebih awal enam menit.”
“Kamu berdiri di luar pintu selama tujuh menit.”
…Gimana dia tahu? Pakai CCTV di pelipis?
Hari itu berlalu dengan segunung tugas absurd: menyortir email yang semua isinya pakai bahasa legal kayak mantra kuno, mengarsipkan kontrak setebal bantal hotel, sampai mencari pena favorit Pak CEO yang warnanya biru dongker dengan ujung emas yang ’nempel pas di tangan kanan’ (katanya).
Sumpah, aku mulai curiga pena itu sebenarnya tongkat sihir.
⸻
Jam lima sore, aku akhirnya bebas. Hampir. Karena sebelum pulang, aku dihadang kenyataan pahit:
macet.
Tapi Tuhan sepertinya masih menyayangiku sedikit.
Dari kejauhan, aku lihat mobil sedan hitam berhenti di depan lobi. Jendelanya diturunkan, dan muncullah wajah familiar yang bikin aku refleks tersenyum.
Reynard.
Dia sahabat lamaku sejak SMA. Sekarang kerja di perusahaan sebelah. Tinggi, good looking, dan sering bikin aku tertawa di saat hidup ingin menyeretku ke jurang.
“Cathesa! Ayo naik, aku anterin!”
Tanpa pikir panjang, aku melompat masuk ke dalam mobilnya. Belum sempat pakai seatbelt, aku lihat seseorang di trotoar seberang sedang membuka pintu mobil mewah berwarna abu-abu metalik.
Nagendra.
Dia berdiri di sana, mengenakan coat gelap, rambutnya agak berantakan karena angin sore, wajahnya… tetap seperti biasa: ekspresi “aku benci segalanya kecuali udara.”
Mataku refleks melihat ke arahnya. Dan, untuk sesaat, aku pikir—mungkin—dia akan mengangguk. Atau sekadar melirik.
Tapi tidak.
Dia melihat ke arahku, lalu masuk ke mobilnya. Tanpa ekspresi. Tanpa sapaan. Tanpa anggukan. Seolah aku ini… kursi taman.
Aku diam.
Reynard melirikku. “Kenapa? Kamu kenal dia?”
Aku tertawa canggung. “Iya. Bosku. CEO. Sumber stres dan… inspirasi diet mendadak.”
Reynard tertawa. “Dia kelihatan… dingin banget.”
“Dia bukan dingin. Dia kutub selatan versi manusia.”
Tapi entah kenapa, dadaku sedikit sesak.
Bukan karena dia cuek. Tapi karena… aku peduli. Padahal seharusnya tidak.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Dalam perjalanan pulang, Reynard cerita tentang proyek barunya, tapi pikiranku terbang ke arah yang lain. Ke Nagendra. Ke caranya menatapku pagi tadi—datar tapi tajam. Ke caranya tidak melihatku barusan—dan entah kenapa, itu lebih menyakitkan daripada dimarahi.
Dan untuk pertama kalinya… aku mulai bertanya-tanya:
“Kenapa dia bilang jangan jatuh cinta padanya… kalau dia bahkan tidak peduli aku ada?”
Mobil Reynard meluncur pelan ke arah pintu keluar gedung. Aku duduk di jok penumpang dengan kepala miring ke jendela, memperhatikan mobil mewah yang kini sudah jauh di depan.
Mobil itu membawa seseorang yang baru saja melihatku langsung… dan memilih untuk tidak melihat sama sekali.
Aku mencoba tertawa.
“Wah, cowok itu bener-bener anti-sosial ya,” kataku sambil mengatur seatbelt yang agak nyangkut di bahu.
Reynard melirik ke arahku, satu alisnya terangkat. “Kamu tersinggung?”
“Enggak lah! Hahaha! Aku? Tersinggung karena dia cuek? Tidak mungkin. Aku bukan tipe cewek baperan cuma karena cowok dingin nge-ghosting secara visual.”
Reynard tertawa. “Ghosting secara visual tuh gimana?”
“Ya… aku ada di hadapan dia. Tapi dia melihatku kayak aku makhluk mitos yang tidak perlu ditanggapi.”
“Makhluk mitos itu masih lebih keren, loh,” kata Reynard sambil tersenyum. “Kamu kayak… lampu sen di siang hari.”
Aku mendelik. “Rey, itu hinaan atau pujian?”
“Pujian. Nggak semua orang sadar kamu penting, tapi begitu nggak ada, orang bisa nabrak.”
Aku terdiam. Sebentar. Lalu mengedip cepat.
“Jangan gombal, nanti aku ke-GR-an dan belanja baju couple,” godaku.
Reynard hanya tertawa kecil, tapi tak melanjutkan. Suara di mobil hening sebentar, hanya ada suara klakson dan lagu lawas dari radio.
Di dalam kepala, aku kembali memutar ulang ekspresi Nagendra tadi. Datar. Tak ada seulas senyum, tak ada tanda pengakuan. Padahal… kami habis menghabiskan satu hari kerja bareng, lho.
Dia bahkan tahu aku alergi penghapus cair.
Aku memijat pelipis. “Aku nggak ngerti kenapa aku mikirin ini.”
Reynard menoleh sekilas. “Mikirin siapa?”
Aku terdiam. Kemudian pura-pura merapikan poni. “Nggak. Random aja.”
Tapi ya Tuhan, kenapa rasanya hati ini kayak ditolak tanpa dilamar?
⸻
Sampai di depan rumah, aku turun dengan langkah lemas. Reynard masih menunggu sampai aku benar-benar masuk pagar.
“Thanks ya, Rey,” kataku sambil melambai.
“Besok aku jemput lagi?”
Aku ragu sebentar. “Aku belum tahu. Bosku mungkin suruh aku lembur sambil hitung butiran beras.”
Reynard tertawa. “Kalau dia macam-macam, kasih tahu aku. Aku bakar motornya.”
“Dia naik mobil mewah, Rey…”
“Ya udah, aku gosokin mobilnya pakai nasi goreng bekas.”
Aku tertawa keras. Tapi tawa itu pelan-pelan redup waktu aku masuk kamar dan merebahkan diri di kasur.
Dan saat menatap langit-langit kamar…
Wajah Nagendra yang dingin itu muncul lagi.
Entah kenapa,
aku berharap dia tadi menyapaku.
Sekadar anggukan, atau bahkan… lirikan kecil. Tapi nyatanya?
Dia bahkan tidak menganggapku layak untuk sekadar ditatap dua detik.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Setelah masuk rumah, hal pertama yang kulakukan adalah… menendang sandal sambil drama.
“Ya ampun, The-sa… kamu kenapa?!” tanya Mamaku dari ruang tamu.
“Aku baru aja dighosting sama bos, Ma. Tapi versi IRL,” jawabku sambil menenggelamkan muka ke bantal sofa.
Mama cuma geleng-geleng. “Kamu kalau drama, rating-nya udah bisa nyalip sinetron jam sembilan.”
⸻
Setelah ritual curhat ke Mama dan mandi air super panas yang tidak bisa menghapus rasa diabaikan, aku rebahan di tempat tidur. HP kuambil, niatnya mau scroll-scroll TikTok. Tapi, jari malah berhenti di satu hal:
Kontak bernama: “Jangan Di-SMS: CEO Dingin.”
Itu nomor yang dipakai Nagendra buat SMS-ku kemarin, waktu dia menyuruhku ke lantai 20.
Aku nggak tahu kenapa belum kuhapus.
Atau mungkin… aku tahu, tapi pura-pura nggak tahu.
Aku bolak-balik ponsel itu di tangan.
Lalu aku mengetik pesan.
“Terima kasih atas kerja samanya hari ini, Pak. Semoga sepatu Anda pulih dari trauma nasi goreng.”
Kudet tapi jujur. Kocak tapi sopan.
Setelah berpikir lima menit penuh, aku… tidak jadi kirim.
Aku hapus.
Aku taruh HP.
Aku tarik selimut.
Tapi otak nggak bisa ikut tidur.
Karena, untuk alasan yang bahkan aku sendiri malu mengakuinya…
Aku nungguin dia bales sesuatu yang nggak pernah kukirim.
⸻
Esok paginya, aku terbangun dengan rambut mirip colokan kebakar dan mata bengkak sebelah karena salah posisi tidur. Masih dalam mode setengah zombie, aku buka notifikasi HP.
Satu pesan masuk.
Tanpa nama. Hanya nomor.
Tapi aku tahu siapa itu.
“Datang jam tujuh. Jangan lupa bawa kontrak vendor dan jangan tertinggal pena emas saya lagi.”
Ah.
Pesan profesional.
Datar. Jelas. Seperti template balasan otomatis.
Tapi…
aku tetap senyum-senyum kayak orang bego.