Dinda yang berawal mengetahui jika rumah tangganya selalu baik-baik saja, ternyata salah. Kehadiran orang ketiga membuatnya harus berpisah dengan suaminya, yang bernama Dimas.
Awalnya ia rapuh, namun ketika ucapan Dimas penuh dengan penghinaan terhadap Dinda, akhirnya ia bangkit untuk mencari kehidupannya sendiri.
Dimas yang menyesal dengan perbuatannya, perlahan mendekati kembali Dinda untuk meminta maaf. Namun, adanya kehadiran seorang pria yang selalu menjadi pelindung Dinda.
Siapakah dia? Saksikan terus ya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Surya Suryan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 34 Ingin bertemu dengan Ibu
Lidya mencengkram tangannya kuat-kuat, tubuhnya bergetar hebat. Rasa khawatir bercampur rasa takut menjadi tak menentu, pikirannya kalut.
'Tidak, aku tidak boleh di penjara..' Pikirnya.
Dimas hanya mengedipkan matanya, tanda mereka harus segera menangkap Lidya. Jika terlalu lama di biarkan, akan banyak lagi masalah yang akan ia lakukan.
Para polisi segera mendekatinya, namun Lidya tak ingin menyerah begitu saja. Ia lari menjauhi para polisi, hal tak terduga begitu saja terjadi.
'BUGH!!'
Dari arah berlawanan, nampak sebuah mobil menabraknya dengan tak sengaja.
"Lidya.." Teriak Dimas.
Lidya terkapar di jalanan, dengan merasakan kesakitan di bagian perut dan kepalanya akibat benturan tersebut. Hingga ia pun melemas dan tak sadarkan diri.
Dimas dan beberapa polisi dengan sigap membawanya ke rumah sakit. Meskipun sejahat apapun Lidya, ia masih tetap istri dari Dimas.
"Kenapa kau begitu bod*h? Harusnya kau menyerah saja, jangan membuatmu terluka.." Decaknya kesal.
**
Saat waktu makan siang tiba, Dinda berencana ingin menjenguk Ayahnya di rumah sakit. Ia tak ingin membuang waktu terbaiknya dengan sang Ayah.
Dinda sangat bahagia ketika Ayahnya terlihat lebih sehat dari hari sebelumnya.
"Bagaimana kondisi Ayah sekarang?" Tanya Dinda.
"Ayah baik, Nak. Hari ini Ayah di izinkan pulang oleh dokter". Jawab Ayahnya.
"Wah.. Itu kabar yang sangat baik". Sahut Dinda yang nampak kegirangan. Namun seketika wajah sang Ayah nampak datar, tak membalas rasa gembiranya Dinda.
"Kenapa, Yah? Apa masih ada yang sakit?" Tanya Dinda yang sedikit cemas.
"Ayah ingin bertemu dengan Ibu.."
'DEGG'
'Harus bagaimana ini? Apa yang pertama akan aku katakan? Aku khawatir dengan keadaanya jika mengetahui apa yang terjadi. Tapi, sulit untukku mencari alasan lain yang bisa membuat Ayah percaya'. Lirih hati Dinda, ia nampak pucat dengan permintaan yang Ayahnya inginkan. Dalam hatinya ia terus saja memaki dirinya sendiri yang tak bisa menjaga sang Ibu.
"Dinda.. Dimana Ibumu berada? Ayah sudah sangat sehat saat ini, kita menemuinya sekarang". Ajak Ayahnya.
Setelah beberapa menit keheningan, dengan berat hati ia meng-iya kan keinginan sang Ayah.
"Baiklah, Ayah segera bersiap. Kita akan mengunjungi Ibu.." Ucapnya pelan dengan kepala yang menunduk. Ia tak mau menampakan kesedihannya. Berbeda dengan Ayahnya, ia nampak bersemangat dan tak lupa senyumannya pun mengembang dengan sempurna.
"Baik, kau tunggu saja di luar. Ayah akan bergegas menyusulmu". Jawab Ayahnya dengan wajah yang berseri-seri.
Dinda yang melihat Ayahnya sangat antusias, ia lebih mengalihkan pandangan dan bergegas keluar dari ruangan tersebut. Tak sadar, air matanya terjatuh.
"Maafkan aku Ayah.." Lirihnya pelan sambil menghapus jejak air mata tersebut.
**
"Bagaimana kondisinya, dok?" Tanya Dimas terhadap dokter yang telah memeriksa Lidya.
"Kondisi Bu Lidya untuk saat ini tak perlu di khawatirkan, hanya saja janin yang ia kandung tidak bisa di selamatkan". Jelas dokter.
Dimas hanya tertegun mendengar pernyataan tersebut, ia mengalihkan pandangannya terhadap Lidya. Ada perasaan tak tega, namun karena perbuatannya yang melampaui batas , ia harus menjalankan hukuman yang sesuai.
"Maafkan aku Lidya.." Lirih pelan Dimas. Ia pun berlalu meninggalkannya.
**
Dalam perjalanan, Ayahnya Dinda tampak sumringah. Membuat Dinda semakin bersalah, ia tak bisa mengatakan apapun tentang Ibunya.
"Apa Ibu di rumah sakit yang berbeda dengan Ayah?" Tanya Ayahnya Dinda, yang di balas tersenyum olehnya.
Ahh.. Betapa hatinya teriris saat ini, sehingga matanya berembun. Tapi ia tak mau menampakkan air matanya, agar ayahnya tak merasa curiga. Ia pun menguat-nguatkan hatinya agar tak terlena dengan kesedihan dan penyesalannya.
'Maafkan aku, Ayah.. Aku tak bisa berbicara apapun saat ini". Gumam hati Dinda.
**
Mereka pun sampai di tempat tujuan, namun Ayahnya menyernyitkan dahi karena heran. Ia menatap Dinda dengan penuh tanda tanya dan Dinda tak ingin menatap balik Ayahnya. Ia berjalan, lalu Ayahnya mengekor di belakang.
'Semoga kau tak marah, karena aku tak bisa mejaga Ibu dengan baik..'
'Maafkan aku Ayah.. Aku memang anak yang buruk..'
'Apa aku memang anak pembawa sial? Sehingga kalian tak bisa menikmati hidup dengan bahagia. Maaf..'
'Ibu, aku membawa Ayah saat ini. Semoga Ibu bahagia dengan kedatangannya. Aku masih tak tega untuk mengatakan semuanya..'
Begitu banyak ungkapan penyesalan yang telah Dinda sematkan di hatinya, ia masih sakit hati dengan keadaan. Apa ini sudah takdir? Tapi kenapa takdirnya sangatlah buruk?
Saat Dinda berhenti di depan makam yang masih terlihat baru, ia pun dengan berhati-hati memandang wajah Ayahnya.
"Ini Ibu, Yah.. Maaf aku tak bisa menjaganya, aku memang anak yang tidak berguna". Seketika air mata yang ia tahan, keluar dengan begitu deras.
"Ja-jadi.. Ibu.. "
Ayahnya tak bisa lagi menahan tangis, ia begitu sedih saat tahu apa yang terjadi dengan istrinya.
Tubuh Ayahnya seketika luruh ke tanah, sambil terisak tangis ia bersandar di makam sang istri. Dinda pun segera memeluk Ayahnya, sambil mengusap lembut pungguhnya.
"Maafkan Ayah, Bu.. Ayah salah, tidak bisa menjadi pelindung bagi keluarga kita". Lirihnya.
Suasana sedih menyelimuti hati mereka, Dinda berharap apapun yang terjadi sang Ayah tak membencinya.
**
Kabar kasus Lidya terdengar ke telinga orang tua Dimas, mereka tak menyangka jika menantu barunya akan berbuat sekeji itu. Banyak umpatan dalam hatinya mengenai Lidya, pantas saja dari awal mereka tak setuju dengan pernikahan Dimas.
"Pak, apakah kau memperhatikan pandangan Dinda yang menatap tajam ke arah si wanita rubah itu?" Tanya Utami, dengan memanggil Lidya dengan wanita rubah.
"Benar Bu, kenapa kita tidak menyadari hal itu? Kita harus mendengar penjelasan Dimas, aku tidak mau dia terlibat dalam masalah ini. Jika memang dia terlibat, aku sendiri yang akan memberinya pelajaran". Murka Heru.
Heru bergegas mencari ponselnya, ia dengan cepat menghubungi Dimas.
"Kami menunggu penjelasan darimu, sekarang pulang ke rumah ini". Ucap tegas Heru pada Dimas dalam sebuah panggilan.
Ia pun langsung mematikan panggilan tersebut, pandangannya saling bertemu dengan sang istri yang menyimpan kekhawatiran. Khawatir jika Dimas pun terlibat dalam kasus tersebut.
**
"Ayah.. Kita pulang yuk? Ayah harus segera beristirahat, jangan terlalu banyak beban pikiran". Ucap Dinda yang mengkhawatirkan sang Ayah.
"Kenapa kau tak menceritakannya dari awal?" Tanya Ayahnya membuat Dinda semakin merasa salah.
"Aku khawatir jika kondisi Ayah semakin memburuk setelah apa yang aku sampaikan. Aku telah kehilangan Ibu dan aku gak mau kehilangan Ayah.." Jawab Dinda yang kembali menitikan air matanya.
"Kau tak akan kehilangan Ayah.. Ayah, akan bersamamu sebelum kau menemukan pendamping yang pantas". Ucap Ayahnya.
Hal itu membuat Dinda lega, seringaian tersungging dari bibirnya meski masih ada air mata yang menetes. Ternyata ia tak sedikitpun marah terhadap Dinda.
Dinda tersenyum memandangi Ayahnya dan menghamburkan pelukan kepadanya. Tentu saja hal itu membuatnya nyaman. Benar apa kata Kevin, pelukan bisa membuat seseorang yang tengah bersedih perlahan melerai. Terbukti kini, dada yang terasa sesak perlahan semakin nyaman.
good dinda