Kinanti Amelia, remaja pintar yang terpaksa harus pindah sekolah karena mengikuti ayahnya.
Ia masuk ke sekolah terbaik dengan tingkat kenakalan remaja yang cukup tinggi.
Di sekolah barunya ia berusaha menghindari segala macam urusan dengan anak-anak nakal agar bisa lulus dan mendapatkan beasiswa. Namun takdir mempertemukan Kinanti dengan Bad Boy sekolah bernama Kalantara Aksa Yudhstira.
Berbekal rahasia Kinanti, Kalantara memaksa Kinanti untuk membantunya belajar agar tidak dipindahkan keluar negeri oleh orang tuanya.
Akankah Kala berhasil memaksa Kinan untuk membantunya?
Rahasia apa yang digunakan Kala agar Kinan mengikuti keinginanya?
ig: Naya_handa , fb: naya handa
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Naya_handa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Nasi goreng spesial
Pagi itu, sarapan buatan Kinanti, tercium sangat lezat. Seisi ruangan dipenuhi wangi bumbu yang ditumis lalu dicampur dengan nasi dan telur. Kinanti berniat membuat nasi goreng spesial dengan telor ceplok di atasnya.
Setelah sekian purnama, baru sekarang lagi Kinanti membuat nasi goreng. Waktunya cukup luang untuk membuat sarapan yang lebih berat dari sekedar roti bakar.
Dengan kedua tangannya, Kinanti menaruh dua piring nasi goreng itu di atas meja makan. Lukman yang baru keluar dari kamarnya, melihat kesibukan sang putri yang sedang mengiris mentimun untuk ia taruh sebagai garnish. Ia begitu menyukai pekerjaan yang berhubungan dengan memasak dan menata sesuatu dengan indah.
“Bikin apa anak ayah?” Lukman yang baru keluar, membawa serta sebuah travel bag yang sudah ia isi penuh dengan pakaian.
“Bikin nasi goreng dong. Ayah lupa ya sama wanginya? Padahal udah Kinan tambahin kemangi loh.” Kinanti berseru dengan semangat.
“Ohh pantesan wangi banget,” timpal Lukman seraya mendekat.
Sejujurnya ia berbohong pada Kinanti karena sebenarnya ia tidak mencium wangi apapun. Fungsi indra penciumannya mulai menurun. Menurut dokter hal ini terjadi karena kanker di saluran nafas Lukman sudah mulai bermetastasis atau menyebar.
“Ayo sini duduk, kita sarapan dulu.” Kinanti melambai-lambaikan tangannya pada Lukman agar sang ayah segera mendekat.
Lukman mendekat dengan segera. Ia duduk di salah satu kursi yang berhadapan dengan Kinanti.
“Cantik sekali nasi gorengnya, persis buatan ibu.” Lukman memuji dengan sepenuh hati.
“Hehehehe, iyaaa. Soalnya semalem Kinan mimpi ibu."
"Oh ya? Mimpinya gimana?" Lukman benar-benar penasaran. Sudah lama putrinya tidak bercerita mimpi bertemu dengan sang ibu.
"Em, Ibu bilang, ibu mau jemput ayah. Tapi Kinan bilang ayah punyanya Kinan, gak boleh di ambil sama ibu. Udah gitu ibu ngilang gitu aja. Kinan sedih banget ayah.” Wajah ceria Kinanti berubah sendu, mimpi itu benar-benar terasa seperti nyata.
Deg!
Jantung Lukman seolah berhenti berdetak. Kalimat Kinanti seolah menjadi pengingat kalau waktunya tidak lama lagi. Tapi ia masih berusaha terlihat baik-baik saja, ia bahkan tersenyum demi tidak membuat putrinya bersedih.
“Itu kan cuma mimpi, Kinan gak boleh bersedih. Kan Kinan tau kalau ayah gak akan pernah ninggalin Kinan,” ucap Lukman dengan penuh harap. Ia mengusap pipi sang anak dengan sayang.
Sesungguhnya di banding rasa takut Kinanti, rasa takutnya lebih besar. Ia selalu berpikir, apa yang akan terjadi pada putrinya jika ia pergi lebih dulu? Siapa yang akan menjaganya kelak, saat waktunya bersama Kinanti benar-benar habis.
“Iya, Kinan tau. Makanya Kinan bikin nasi goreng khas buatan ibu karena mungkin alasan Kinan mimpiin ibu gara-gara Kinan kangen banget sama ibu.” Kinanti balas mengusap tangan Lukman yang menangkup sebelah wajahnya.
“Anak yang pinter. Jadi, Kinan gak usah sedih lagi ya.” Lukman mengusap kepala Kinanti dengan sayang.
“Iya ayah. Tapi ngomong-ngomong ayah mau pergi kemana? Kok ngeluarin travel bag segala?” Kinanti sedikit memincingkan matanya untuk melihat travel bag yang bertuliskan “Ayah”.
“Oh, itu.” Lukman ikut memandangi travel bag yang ia simpan di atas kursi.
“Ayah ada kerjaan keluar kota sekitar seminggu. Jadi ayah bawa barang cukup banyak biar gak beli-beli di sana,” terang Lukman dengan mata berkaca-kaca.
Ia sengaja memandangi travel bagnya di banding menjelaskan sambil menatap netra bening Kinanti karena ia tidak mau jika kemudian putrinya sadar kalau ia sedang berbohong.
“Kok ayah baru bilang? Semalem kan kita ketemu, kenapa ayah gak cerita?” Kinanti merengut kesal.
Lukman berusaha tersenyum sebelum menoleh putrinya, ia harus menyiapkan dirinya untuk lebih tegar.
“Iyaa, ayah baru dapet infonya mendadak subuh tadi. Kinan taulah kalau ada apa-apa di lapangan, gak pernah bisa di prediksi. Makanya ayah baru bilang sekarang.”
Kinanti tidak lantas percaya, ia memandangi sang ayah beberapa saat seperti menyimpan keraguan.
“Keluar kotanya kemana? Kok bisa lama gitu? Padahal ayah bilang kan kalau kita udah pindah ke Jakarta, kerjaan ayah hanya akan di sekitar jakarta aja.” Kinanti benar-benar menunjukkan kekecewaannya.
“Iyaa, ayah tau kalau ayah udah berjanji sama Kinan. Tapi, ayah juga gak pernah nyangka kalau masih akan dapet kerjaan untuk mengecek tambang di Surabaya. Kinan tenang aja, ini kayaknya gak akan sering-sering kayak waktu sebelumnya.”
“Ayah minta maaf ya karena udah bikin Kinan kecewa,” pinta Lukman dengan sungguh.
Kinanti tidak menimpali, ia lebih memilih beranjak dari tempatnya lalu berhambur memeluk Lukman. Lukman yang tidak pernah bersiap, cukup kaget dengan apa yang dilakukan putrinya.
“Kinan gak kecewa ayah, Kinan hanya khawatir sama ayah. Kinan takut ayah kelelahan dan lupa makan sampe jatuh pingsan kayak waktu itu. Kalau ayah sampai sakit, siapa yang jaga ayah di sana?” suara Kinanti terdengar lemah dan mendayu, penuh kecemasan.
Lukman tidak bisa berkata-kata, ia hanya menengadahkan wajahnya beberapa saat, berusaha menahan air matanya yang segera akan menetes. Beberapa kali ia berusaha bernafas dengan normal untuk menghilangkan rasa tersedak di tenggorokannya yang membuat ia sulit berkata-kata. Sulit sekali mengatakan sesuatu untuk merespon putrinya.
“Ayah akan baik-baik aja kan di sana? Ada sinyal kan di sana?” dua pertanyaan itu yang selalu Kinanti tanyakan setiap kali Lukman akan bepergian jauh.
“Tentu saja ayah akan baik-baik aja. Kan ayah punya Kinan yang menjadi penyemangat ayah.” Susah payah Lukman berbicara dengan tegar. Berusaha menahan tangis di dadanya.
Kinanti melepaskan pelukannya lalu menatap Lukman dengan lekat. Ia juga mengusap pipi Lukman dengan sayang, pipi yang sudah mulai kendur dari wajah yang tampak kelelahan.
“Janji sama Kinan kalau ayah akan selalu ngabarin Kinan. Jangan reject telepon Kinan apalagi bales pesan Kinan keesokan harinya. Janji?” gadis cantik itu menunjukkan kelingkingnya pada Lukman.
“Ya, ayah janji.” Dengan semangat Lukman mentautkan kelingkingnya dengan kelingking Kinanti. Mereka mengeratkannya seolah tengah menguatkan janji satu sama lain.
“Okey, karena ayah mau bepergian, kali ini Kinan akan nyuapin ayah. Biar ayah makannya banyak dan sehat selama di tempat kerja.” Kinanti mengambil piring milik Lukman dan duduk di samping ayahnya.
“Jadi, ayah disuapin nih?” wajah Lukman terlihat sumeringah.
“Iya dong. Dulu kan waktu Kinan kecil, ayah yang nyuapin Kinan. Sekarang, giliran Kinan yang nyuapin ayah. Aaaa....” Kinanti menyuapkan satu sendok nasi goreng pada Lukman.
“Waah, ayah benar-benar merasa terhormat,” ucap Lukman yang lantas membuka mulutnya.
Satu suapan itu berhasil masuk ke mulutnya.
“Gimana, enak?” Kinanti segera bertanya.
“Ya, enak banget. Persis buatan ibu,” sahut Lukman dengan suara yang mulai bergetar.
"Hihihi syukurlah. Kinan akan belajar masak yang lain yang mirip dengan masakan ibu. Jadi kalau kita kangen sama ibu, kita buat makanan yang biasa ibu buat sambil do'ain ibu di surga sana," cicit Kinanti.
"Iya sayang," satu usapan diberikan Lukman di atas kepala anak gadisnya.
Selama sesi sarapan itu, Lukman terus di suapi Kinanti. Setelah habis, berganti Kinanti yang disuapi oleh Lukman. Mereka terlihat bahagia, saling menggoda satu sama lain hingga keduanya tertawa terpingkal-pingkal. Lukman berharap, ini bukan sarapan terakhirnya bersama Kinanti.
*****