Salsabillah Khairunnisa Kirani, 25 tahun. Terpaksa harus menikah dengan Adrian Mangku Kusumo, 25 tahun. Karena perjodohan orang tua mereka, padahal mereka sama-sama memiliki kekasih.
Sabillah tak tahu mengapa Adrian selalu menuduhnya menjadi penyebab kehancuran Ajeng, kekasih Adrian.
Hingga di tujuh bulan pernikahan mereka, Sabillah melihat Adrian bersama wanita yang tengah hamil tua, dan wanita itu, kekasih Adrian.
Apakah Adrian sudah mengkhianati pernikahan mereka? Meski mereka sepakat untuk berpisah setelah dua tahun pernikahan mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Isma Wati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kehilangan Lagi?
Ajeng merasa percuma menekan Arthur untuk bicara, dia sudah lelah, tetapi laki-laki itu tetap bungkam. Malah memintanya untuk pulang ke Jakarta terlebih dahulu.
"Kembalilah ke tempat mu, Alief harus sekolah."
"Jangan memerintahkan ku, siapa kamu berani mengatur ku?"
"Aku tidak akan menjelaskan apapun untuk saat ini, tapi berjanjilah untuk tidak melakukan hal bodoh ini lagi," ucapnya datar.
Ajeng semakin dibuat emosi, nafasnya memburu ingin menumpahkan segala kekesalanya.
"Dan jangan ganggu apapun yang berkaitan dengan tuan, Adrian. Dan menyentuh miliknya yang membuatnya marah, semua rahasia itu aman jika kamu tidak melakukan apapun dan mengikuti semua arahan ku."
Ajeng menatap tajam Arthur, heran. Menyentuh milik Adrian? Apa Adrian benar telah menemukan mantan istrinya? Apa ada sesuatu yang membuat Adrian betah disini, dan tidak mau menemuinya?
"Jangan ingin tahu apapun jika ingin hidup mu aman," Arthur memperingati seolah tahu apa yang ada dipikiranya. "Aku sudah memberikan uang pada teman mu itu, dan aku pastikan setelah ini dia tidak akan mengganggu mu lagi."
Lihatlah, laki-laki ini bahkan tahu semua rahasianya? Dari mana dia bisa tahu sedetail itu?
"Lusa kamu sudah bisa keluar dari rumah sakit, aku sudah menyiapkan tiket pesawat untuk kalian." Benci sekali, kenapa harus Arthur yang begitu perhatian padanya, sedikitpun hati Ajeng tidak tersenyuh.
Tapi untuk sekarang dia menurut saja, Ajeng butuh penjelasan tentang kejadian yang menimpanya tujuh tahun yang lalu.
* * *
"Aku lihat, setiap hari ada om-om datang kerumah kamu. Apa mereka calon bapak bàru kamu?" tanya seorang bocah perempuan cantik pada Eka. Dia adalah teman main Eka. Rumahnya berjarak tiga rumah dari Eka, namanya Raisa.
Sore ini Sabillah mengajak anaknya berjalan-jalan keliling tempat mereka tinggal. Rumah Sabillah ini bukan terletak di perumahan, jadi jarak dari satu rumah kerumah lain, cukup jauh. Eka dan temanya ini sedang berdua duduk di kursi yang terbuat dari kayu besar yang dibelah dua, dibawah pohon nangka yang sejuk.
Sedang Sabillah sedang mengobrol dengan tetangganya yang selalu membantu Sabillah menjaga anak-anaknya, wanita itu ia anggap sebagai kerabatnya, juga yang ditetuakan Arjuna dan Sabillah. Yang Sabillah pangggil dengan sebutan Julak.
"Bukan," jawab Eka menggelengkan kepala, "aku tidak mau punya bapak baru."
"Oh, kata umak ku, itu calon bapak baru kamu. Tapi kenapa kamu tidak mau? Mereka sepertinya orang kaya, pakaian mereka selalu rapih, mobilnya juga keren-keren. Mereka dari Jakarta ya?'
Eka yang tidak suka obrolan ini turun dari tempat duduknya menghampiri Sabillah.
"Julak rasa kamu harus membatasi tamu-tamu itu, sebab sudah ada desas desus mengenai kamu. Status janda memang suka dipandang miring oleh warga." Nasihat wanita itu memberi tahu Sabillah.
"Ia Julak, Sabill mengerti."
"Umak, ayo kita pulang." Eka menyeret tanganya.
"Sebentar sayang, Umak lagi ngobrol dulu."
"Ayo Umak, Eka mau pulang." Eka memaksa.
"Eka kamu kenapa? Ayo kita main lagi." Ajak teman Eka tadi.
"Tuh diajak main sama Raisa." Sabillah mengusap rambut Eka, menunjuk kearah Raisa yang menghampirinya, berharap Eka mau bermain dengan temanya itu.
Karena Sabillah rasa Eka perlu teman bermain, tidak mau Eka terlalu menyendiri dan asik dengan ponselnya. Cukup dia yang susah bersosialisasi, dia tak mau anaknya mengalami itu. Sedangkan mainan yang dibelikan Adrian, dia tak mau menyentuhnya sama sekali.
Sabillah juga ingin menjelaskan perihal Adrian dan Jimmy yang sering datang. Ingin menanyakan juga tentang keputusan yang akan ia ambil.
"Tidak mau, Eka tidak mau main, Umak. Ayo kita pulang." Tolak Eka keras, melipat tanganya diperut.
"Pulanglah, Nak. Eka sepertinya sedang dalam mood tidak baik. Nanti malam Julak main kerumah kamu."
"Baik Julak, terima kasih. Kami pulang dulu."
Wanita itu mengangguk, menatap kasihan pada Sabillah yang terlihat sedang dalam kebingungan. Dia tahu apa yang dirasakan Sabillah saat ini.
Setelah sampai dirumah, Eka mengatakan perasaanya saat ini pada Sabillah.
"Umak, Eka tidak mau punya bapak baru." Katanya ketus, padahal pintu baru saja ditutup, tapi dia langsung mengutarakan keridak inginanya. Bukan tidak sopan pada ibunya, tapi Eka tidak suka ada yang menggantikan posisi Arjuna.
"Lho, Sayang. Siapa yang bilang Eka mau punya bapak baru?" Berjongkok menyamakan tinggi badan Eka.
"Tidak tahu, tapi Umak tidak boleh terima teman-teman bapak lagi datang kerumah."
Sabillah menghela nafas, mengerti perasaan anaknya. "Iya, Umak tidak akan menerima mereka lagi. Tapi Eka mau tidak kalau kita pulang kerumah oma di Jakarta, biar nggak ada yang ganggu kita?"
* * *
Lusanya, Adrian datang kerumah Sabillah dengan membawa banyak makanan untuk mereka sarapan bersama, turun dari mobil dengan menenteng dua paperbag sedang berwarna coklat. Satu berisi buah-buahan, dan satu lagi berisi berbagai sarapan.
Penjaga yang ia tugaskan menjaga rumah Sabillah membukakan pintu mobil.
"Maaf Tuan, nona Anda sudah berangkat mengantar anaknya kesekolah," ujarnya memberitahu menundukkan kepala.
"Oh ya, sudah lama?" Adrian melihat jamnya. Masih cukup pagi, mungkin Sabillah tidak ingin anaknya terlambat.
"Sepuluh menit yang lalu, menggunakan taksi." Memberitahu sebelum ditanya.
"Baiklah, aku akan menunggu saja."
Duduk didepan pintu, menunggu sambil mengirim pesan pada Sabillah. Centang satu, tapi Adrian tidak ambil pusing.
Hingga Adrian menunggu satu jam, dan menghubungi nomor Sabillah tapi tidak aktif. Adrian sudah pasti khawatir.
"Arthur, cari tahu keberadaan Sabillah. Karena nomornya tidak aktif." Perintahnya pada sang asisten. Yang dijawab iya oleh Arthur.
Adrian jadi tak tenang, ia coba mengintip kedalam rumah Sabillah melalui celah hordeng yang tidak tertutup. Tidak ada yang mencurigakan, dia kembali menghubungi Arthur untuk mencari sekolah Eka.
Sampai disekolah Eka, Adrian dibuat terkejut dengan kabar yang disampaikan guru Eka, yang mengatakan jika Eka keluar dari sekolah karena pindah sekolah.
"Astaga Sabill, kamu ninggalin aku lagi?" Adrian mengusak rambutnya. Perasaanya semakin tak menentu, baru saja dia menemukan Sabillah selama tujuh tahun, dan mendapat semangat baru dekat dengan Sabillah dan anak-anaknya, tapi kini ditinggalkan lagi tanpa jejak.
Masih ada rasa trauma, dia tidak mau kehilangan lagi.
"Arthur, Sabillah menghilang, tolong carikan secepatnya untuk ku."
Dari suaranya, Arthur sudah menebak Adrian begitu kacau, tidak pernah Adrian mengucapkan kata tolong selama ini padanya. Dia juga cukup terkejut dengan perginya Sabillah. Arthur ingin Adrian bahagia dan bersatu dengan mantan istrinya.
Mengarahkan segala kemampuanya, Arthur ingin cepat mendapatkan informasi tentang Sabillah, dia tidak tega jika Adrian harus bersedih lagi. Adrian sudah sangat berjasa dalam hidupnya. Dan Arthur dapat menghela nafas lega saat mendapat kabar tentang wanita itu.
"Tuan, nona baru saja terbang kembali ke Jakarta bersama anak-anaknya. Sepertinya beliau akan pulang kerumah orang tuanya."
"Siapkan tiket pesawat untuk ku sekarang. Aku ingin pulang." Adrian tidak mau jika harus kehilangan jejak lagi.
"Baik Tuan."
Karena dia harus menunggu penerbangan satu jam lagi, Adrian kembali kerumah Sabillah. Ia memukulii penjaga itu yang tidak mampu menjaga Sabillah, dan tidak memberi tahunya jika Sabillah akan pergi.
"Maaf, Tuan. Ampun," mohon salah satunya yang sudah babak belur menangkupkan kedua tangan. "Tapi memang nona pergi tidak membawa apa-apa. Anaknya juga memakai seragam sekolah dan tas sekolah saja, tidak membawa apa-apa."
Termasuk koper, yang membuat pengawal itu tidak merasa curiga sama sekali. Tapi mereka tidak tahu betapa cerdiknya Sabillah dalam mengelabui mereka. Adrian menghentikan kegilaanya yang memukulii keduanya tanpa ampun.
Ternyata memang Sabillah sengaja menghindarinya. "Sabillah, jangan lakukan itu lagi." Ia pun bergegas ke bandara.
* * *
Dipesawat yang baru saja mendarat, satu persatu penumpang meninggalkan tempat duduknya. Sedang mereka yang merasa kerepotan memilih turun belakangan, tidak ingin berdesakan dengan penumpang lainnya.
Dan tinggalah dua wanita dengan kerepotanya masing-masing, yang satu sibuk karena membawa kedua anaknya. Yang satu lagi karena tubuhnya belum merasa terlalu baik untuk perjalanan jauh.
Keduanya sama-sama terdiam saat pandangan mata mereka tidak sengaja bertemu.