Seorang pemuda berasal dari golongan menengah berharap mendapakan jodoh anak orang kaya. Dengan perjuangan yang keras akhirnya menikah juga. Menjadi menantu orang kaya, dia begitu hidup dalam kesusahan. Setelah memiliki anak, dia diusir dan akhirnya merantau. Jadilah seorang pengusaha sukses.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Artisapic, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB VII CINTA ITU PERCAYA
Sejak saat itu selama tiga hari tiga malam, Bakrun tidak keluar rumah. Apabila ada teman atau sahabat yang datang, maka Ibunya mengatakan Bakrun sedang main keluar daerah ke saudaranya, atau kadang dijawabnya sedang mencari pekerjaan diajak pamanny, dan kadang pula sedang bekerja di sawah pamannya di kampung ini, kampung itu. Begitulah alasan Ibunya.
Sementara Bakrun di dalam kamar sebelum melakukan sebuah ritual atau apalah yang penting jangan ada cahaya masuk terutama sinar Matahari, maka semua kamarnya ditutup memakai kain , kardus bekas juga kertas lain pokonya apa saja yang penting bisa dipakai. Kemudian setelah semuanya beres, Bakrun mempersiapkan tempat untuk menjalankan semacam wiridan atau bacaan apa untuk setiap malam atau waktu tertentu. Bakrun berharap semua apa yang dilakukannya itu sebuah usaha yang membutuhkan perjuangan. Dirinya sudah yakin dan tekad penuh, apapun godaan , apapun rintangan, semua akan ia terjang.
Hari itu, sudah tiga hari tiga malam, di dalam kamar Bakrun sudah bangun dan siap-siap untuk keluar rumah, tepatnya nanti pukul 09.00 WIB, tampak begitu layu, pucat dan benar-benar lelah, walau makan, minum, dan lainnya ada, tapi sinar matahari tak pernah menyinari tubuh Bakrun. Ia hanya berharap mampu menjalankan dan mampu merubah hidupnya.
Tepat pukul 09.00, Bakrun keluar dari kamar, pagi itu sinar Matahari sudah begitu teriknya, Bakrun keluar kamar dan menuju dapur, mengambil air minum dan masuk kamar kecil atau toilet. Lalu muncul kembali dan membawa secangkir kopi serta beberapa kue. Diambillah tempat duduk yang nyaman, lalu menikmati sarapan pagi.
Seperti biasa, pagi itu Ibunya sudah kembali berusaha jualan jadi pedagang keliling, dan untuk sementara yang mengantar dan menjemput adalah Hadi. Bakrun tidak tahu kalau Hadi sedang duduk di teras , dan Hadi pun tidak tahu kalau di dalam ada Bakrun. Tiba-tiba, Bakrun bersin , " Wwwwaaahiiiiiiiiiiing ", selama tiga kali bersin, membuat Hadi kaget dan langsung masuk ke rumah.
" Wa u ila aha bahang pe ah, ata nya amu Lun," kata Hadi.
" Lho....kamu di sini, nggak pulang luh habis antar Ibu ?" tanya Bakrun kaget melihat Hadi masuk rumah.
" Da i manya aja Lun, atanya eulja ama amang lu, elja apa Lun," tanya Hadi.
" Iya kerja Had, cuma bantu-bantu saja kok, gimana kamu sehat ya ?" tanya Bakrun.
" Ang hu ilah, ce at," jawab Hadi.
" Eh Lun, ata ihu mu tu, amu elja hi ota, ata nya elja ita ha ta," kata Hadi.
" Hush.....sembarangan , masa di kota kerja mencetak bata, ngaco luh, siapa yang bilang begitu, saya gampar nanti", hardik Bakrun.
" I hu ata ci amang ama ci uk mang, hia ilang hi u," he...he....he....sambil tertawa Hadi memberi penjelasan.
" Sudah.....sudah...ngaco tuh...nih makan, kalau mau kopi sana ke belakang, bikin sendiri," kata Bakrun.
" I ap hos, aya au hi ing o pi ya hos," jawab Hadi lalu menuju ke dapur, kebetulan saat lewat ke kamar ia melihat secarik kertas, biar juga Hadi pernah Sekolah dan mengerti cara membaca dan berhitung.
Ia mengambil kertas itu lalu membacanya. Kemudian setelah itu , ia menuju dapur. Beberapa saat kemudian , Hadi datang sambil membawa secangkir kopi, dan duduk di depan Bakrun.
" Jadi teman-teman begitu ya Had, " kata Bakrun.
" Iya Lun, a hi aya ci ha peycaya Lun, o al nya ahi aya aca eltas hi amal lu Lun, ha a an apa cu ," kata Hadi sambil menyindir Bakrun.
Mendengar itu Bakrun langsung lari menuju kamar, dan benar saja ia tadi lupa menyembunyikannya. Nasi sudah menjadi bubur, apa hendak di kata. Kini Bakrun menguras pikiran supaya Hadi itu terpengaruh dan lupa bunyi bacaan itu.
" Hey....pe a," kata Bakrun sampul menyentuh pundak Hadi.
" aha Lun, aya a het nih," tanya Hadi.
" Kamu tadi......kamu tadi baca apa , ayo jawab," hardik Bakrun.
" Ng ha Lun , haca aha ci, ng ha," kata Hadi sengaja berbohong. Lalu..." ahi aya ewat cu ihat a mal lu aha ohk," katanya.
" Hey....itu tulisan, itu di kertas tadi , itu salah tulis , paham ?!" kata Hadi penuh galau.
" Oooooooh hi u , ya", jawab Hadi.
" Yang benarnya ini, " kata Bakrun sambil menulis di kertas lalu menyerahkannya ke Hadi. Dengan pesan jangan dibagikan.
" Ini tulisan yang benar, dan ini buat kamu supaya banyak cewek kecantol sama kamu, yang mirip sama Andhika ", kata Bakrun, membuat Hadi jingkrak-jingkrak di situ.
Setelah menerima kertas itu, Hadi berpamitan mau menjemput ibu Bakrun di tempat biasa.
" Eh Lun , aya au em put ihu amu ya," kata Hadi sambil pergi dan tangannya mengambil sepotong ubi.
" Iya...hati-hati," jawab Bakrun.
Dalam hati Bakrun berharap Hadi lupa akan semuanya, dan hanya kertas itu nanti yang dapat bicara. Pikirannya menerawang dan membayangkan andai saja itu benar-benar terjadi, sungguh sesuatu yang menggegerkan kampung. Seorang Bakrun akan membuat semua menjadi salut dan mengagumi atas usahanya itu. Dirinya tersenyum sendiri dan tertawa hingga membuat seseorang di luar sana masuk ke rumahnya.
" Hoy.....gila luh, sampai kaget luh, lagi jalan mau ke warung, saya dengar suara ketawa, kapan luh datang PE A ?" tanya Heru.
Bakrun yang tidak sadar akan halusinasinya itu kaget dan...
" Eh , kamu Her, tadi malam Her, itu habis ngetwain si Hadi, cari apa ke warung ?" kata Bakrun sambil bertanya.
" Biasa Run, pengen es teh," jawab Heru.
" Oooh, ku kira mau ngajak mbok Ipah buat Mingguan," kelakar Bakrun sambil cekakakan.
" Ngaco luh, sembarangan !" hardik Heru.
" Kalau pengen ngopi, bikin sendiri ya, biasa aja lah, anggap rumah sendiri, terus luh sapu tuh lantai, oh iya sekalian cuci piring," kelakar Bakrun sambil masuk kamar.
Sementara itu Heru ke dapur membuat secangkir kopi sambil mengepalkan tangannya.
Setelah itu kedua sahabat tadi kembali ke ruang depan. Kebetulan saat mau duduk, dari balik jendela, Heru melihat Dakir lewat.
" Hey bro, sini.....bos kita sudah datang nih", teriak Heru.
Dakir yang sedang berjalan menuju warung berhenti dan menengok ke arah rumah Bakrun, lalu ia mengangkat tangannya.
" Bentar bro, ke warung dulu ya," jawab Dakir.
Bersamaan dengan Dakir melanjutkan jalannya, muncul dari belokan gang, Hadi sedang mendorong sepeda dengan barang dagangan Ibunya Bakrun. Sambil berjalan, Hadi penuh pelu dan keringat. Kemudian ia memarkir sepeda di bawah pohon mangga, lalu menurunkan barang bawaanya dibantu Heru dan Bakrun.
" Wah.....calon bapak tiri Bakrun ini hebat, rajin penuh semangat," celoteh Heru.
" Hush.....sembarangan, ngaco luh Komodo," hardik Bakrun sambil mengangkat bakul menuju dapur.
Sementara itu Ibu Sukesih langsung menuju ke belakang, dan di ruang depan rumah Bakrun telah kumpul kembali, Bakrun, Hadi, Dakir dan Heru. Semuanya berbincang-bincang sesekali terdengar suara cekakakan.