NovelToon NovelToon
Kau Dan Aku Selamanya

Kau Dan Aku Selamanya

Status: sedang berlangsung
Genre:One Night Stand / Selingkuh / Crazy Rich/Konglomerat / Pelakor / Cinta Seiring Waktu / Suami Tak Berguna
Popularitas:4.8k
Nilai: 5
Nama Author: Seraphine E

Hidup Audy runtuh ketika pengkhianatan dalam rumah tangganya terbongkar. Di tengah luka yang menganga, kariernya justru menuntutnya berdiri tegak memimpin proyek terbesar perusahaan. Saat semua terasa mustahil, hadir Dion—direktur dingin yang perlahan menaruh hati padanya, menjadi sandaran di balik badai. Dari reruntuhan hati dan tekanan ambisi, Audy menemukan dirinya kembali—bukan sekadar perempuan yang dikhianati, melainkan sosok yang tahu bagaimana melawan, dan berhak dicintai lagi.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Seraphine E, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 21

Diruangannya, Audy berdiri tegak, ekspresinya berusaha tetap tenang meski dadanya sedikit berdebar. Yunita mendekat dengan wajah khawatir.

“Dy… nggak usah terlalu dipikirin, adik kamu emang gila, sinting.…”

Audy menghela napas, lalu merapikan jas kerjanya. “Aku tahu Yun, dari dulu dia emang meledak-ledak begitu.”

"Aku heran sama kamu Dy, dia kayak gitu tapi kamu masih aja baik sama dia. Kalau aku jadi kamu, mungkin aku udah cakar habis mukanya yang sok kecantikan itu" geram Yunita.

Audy tertawa kecil, "Mungkin dulu aku begitu Yun, sebelum aku tahu kalau dia bisa setega itu sama aku. Aku merasa bukan kesalahan dia kalau dia lahir dari hasil hubungan gelap. Makanya seenggaknya masih ada sebagian kecil dari aku yang mau menganggap dia sebagai adik sendiri"

Yunita menggelengkan kepalanya, "Gini nih kalau jadi orang terlalu baik. Akhirnya orang anggep kamu remeh, nggak suami kamu, adik kamu, bahkan orang tua yang udah nelantarin kamu. Dy, jadi orang baik itu emang bagus, tapi ya nggak gini juga. Sekali-kali, orang seperti mereka perlu dihajar juga biar mereka nggak seenaknya"

Dion yang sejak tadi menahan diri akhirnya ikut bicara. Suaranya rendah, tapi berusaha tidak terdengar terlalu menggurui atau ikut campur.

“Apa yang dibilang Yunita ada benarnya Dy, mungkin sekarang kamu bisa melawan mereka hanya dengan kata-kata, tapi kamu nggak tahu apa yang bisa mereka lakuin kalau mereka nekat, bisa-bisa kamu—”

Audy menoleh, menatap Dion lurus. “Tenang saja Dion, aku yakin semuanya akan baik-baik saja. Dia nggak akan berani macam-macam, bagi dia, image yang dia bangun di dunia maya jauh lebih penting”

Yunita berusaha membantah lagi, tapi memilih diam. Sementara Dion, memilih untuk tidak melanjutkan ucapannya.

Melihat cara Audy menghadapi Jenny barusan—dingin, dan tegas—membuat Dion ingin sekali lagi melihat sisi lain dari wanita itu.

...***...

Di sisi lain, Jenny sudah duduk di dalam mobilnya di parkiran. Tangannya menekan setir begitu kencang, hingga buku jarinya memutih. Air mata marah menggenang di matanya, karena merasa sudah dipermalukan.

“Anjing... Sejak kapan dia tahu…? Sejak kapan, hah?!” Jenny menggeram, lalu meninju setir. Pikirannya berputar cepat, mengingat foto di ponsel Audy. Itu jelas bukan foto biasa, jelas diambil ketika dia bersama Chandra di kamar tidur di rumah Audy.

“Mas Chandra…” gumamnya dengan suara penuh racun. “Jangan-jangan mas Chandra tahu soal ini, tapi diem aja? Makanya dia ragu-ragu denger rencanaku buat balas Audy?!”

Dadanya bergemuruh, dia merasa dikhianati. Jenny mengusap air matanya kasar. Sorot matanya kini berubah, bukan hanya marah, tapi penuh dendam.

“Oke mbak. Kita liat sampai kapan kamu bisa terus bersikap arogan sama aku.”

Jenny mengusap air matanya dengan kasar, lalu meraih kunci mobil. Tangannya gemetar karena campuran marah dan malu. Jari telunjuknya segera menekan tombol start, tapi tiba-tiba dia merasakan perutnya bergejolak.

“Heughh…” Jenny menunduk, tangan kirinya refleks menekan perut. Rasa mual naik begitu cepat, hingga ia buru-buru membuka pintu mobil. Dengan tergopoh-gopoh, Jenny menunduk dan hampir muntah di samping mobilnya.

Beberapa orang di parkiran sempat melirik, membuat Jenny semakin malu. Dia mencoba menegakkan tubuhnya dengan susah payah, mengatur napas, lalu menutup pintu mobil dengan keras.

“Duh kenapa tiba-tiba perutku nggak enak begini sih…?” bisiknya sambil menekan dada, mencoba menenangkan diri. Tenggorokannya masih terasa asam, wajahnya pucat.

Jenny bersandar di kursi pengemudi, matanya terpejam. Di kepalanya, semua amarah pada Audy dan rasa kecewa pada Chandra bercampur dengan rasa khawatir yang baru.

Apa asam lambungku kumat lagi? Atau…

Pikiran itu belum tuntas, tapi tatapan Jenny mendadak kosong, gelisah. Sebuah kemungkinan yang terlintas di benaknya membuatnya menelan ludah dengan susah payah. Cepat-cepat dia membuka ponselnya, dan melihat ke sebuah aplikasi.

“Tidak… jangan bilang…” gumamnya lirih, suaranya nyaris gemetar.

"Nggak... Nggak... Nggak mungkin" Jenny menggeleng kuat-kuat, mencoba menepis apa yang bercokol di pikirannya sekarang.

...***...

Jenny terbangun dengan kepala berat dan tubuh lemas. Matahari baru merangkak naik di balik gorden apartemennya, disampingnya Chandra tampak masih tidur lelap.

Dengan tangan bergetar, dia meraih tas belanjaan kecil yang semalam dia sembunyikan di laci kamar mandi.

Kotak mungil itu sudah menunggunya. Kotak yang berisi alat test kehamilan.

Jenny menghela napas panjang, lalu berjalan ke kamar mandi. Keringat dingin mulai membasahi pelipisnya meski udara pagi masih sejuk. Dia mengikuti instruksi dengan terburu-buru, menunggu dengan gelisah sambil menggigit bibir.

Beberapa menit kemudian, garis merah itu muncul. Dua garis.

Jenny menatapnya lama, tubuhnya seakan membeku. “Astaga…” suaranya pecah, nyaris tidak terdengar. Tangannya bergetar semakin hebat, hingga test pack itu jatuh ke lantai.

Air matanya mengalir tanpa bisa ditahan. Dia panik, takut, dan marah pada dirinya sendiri.

“Siallll, ini serius aku hamil?! Tapi ini anak siapa??” Jenny memukul dada sendiri, napasnya tersengal.

Dalam benaknya, bayangan wajah Chandra muncul, lalu berganti dengan wajah-wajah samar pria lain yang pernah mengisi malamnya. Dia tidak tahu siapa yang sebenarnya bertanggung jawab atas janin itu. Sebagai seorang selebgram, dia seringkali melobby beberapa pria untuk memberinya sebuah project, yang kemudian menuntunnya menjadi selebgram tenar.

Jenny meremas rambutnya frustasi. “Sialll, Mas Chandra baru aja ngenalin aku sama produser film, dan mereka juga udah yakin kalau gue bakal main di film baru mereka. Tapi kalau gue ketauan hamil, bisa kacau semuanya.”

"Nggak, aku nggak bisa. Aku nggak siap"

Jenny berjalan mondar-mandir di kamar mandi, seperti binatang yang terjebak dalam kandang. Lalu, seolah mendapatkan ide cemerlang, dia berhenti di depan cermin. Matanya bengkak, wajah cantiknya tampak asing bagi dirinya sendiri.

“Aku nggak bisa pertahanin bayi ini,” bisiknya dingin. “Aku harus ambil keputusan. Sekarang juga.”

Dengan tangan gemetar, Jenny meraih ponselnya. Ia menatap layar sejenak, lalu menekan kontak sebuah klinik yang ia tahu bisa menangani hal-hal “darurat” seperti ini secara diam-diam.

Jari-jarinya bergetar, tapi akhirnya ia menekan tombol panggil.

"Halo" sapa Jenny.

...***...

Jenny melangkah masuk ke sebuah bangunan kecil di kawasan yang cukup sepi. Dari luar, klinik itu terlihat biasa saja, papan namanya samar tertutup dedaunan, seperti ingin menyembunyikan diri dari perhatian banyak orang. Jenny menundukkan wajahnya, masker hitam menutupi sebagian besar ekspresi cemasnya.

Di dalam, klinik itu tidak begitu ramai, bahkan cenderung sepi. Hanya satu dua orang yang terlihat, yang Jenny yakin mempunyai tujuan yang sama dengannya. Aroma antiseptik menusuk hidung. Seorang perawat menyapanya singkat, lalu mengantarkan Jenny ke ruang konsultasi.

Seorang pria paruh baya dengan jas putih duduk di balik meja. Jenny langsung berasumsi kalau dia adalah—dokter. Wajahnya tenang, tapi sorot matanya tajam, seolah bisa membaca isi kepala Jenny.

“Silakan duduk.” Suaranya datar namun berwibawa.

Jenny menelan ludah, lalu duduk dengan gugup. Ia meremas jemari hingga buku-buku jarinya memutih.

“Kita lakukan pemeriksaan singkat dulu ya,” ucap dokter itu, sambil menyuruh Jenny tidur di ranjang periksa.

“Usia kehamilan Anda masih sangat dini. Prosedurnya bisa dilakukan dengan relatif aman. Tapi…” Dia menatap Jenny lekat-lekat. “Saya harus pastikan dulu. Anda yakin dengan keputusan ini?”

Jenny menghela napas berat. “Ya. Saya yakin dok. Lagipula nggak ada pilihan lain. Saya… Saya nggak mau karir saya hancur hanya karena ini.”

Dokter itu tidak segera menulis apapun. Dia bersandar ke kursi, menimbang kata-katanya. “Anda harus mengerti, prosedur ini bukan tanpa risiko. Bisa ada komplikasi, efek samping jangka panjang, bahkan kemungkinan gangguan kesehatan reproduksi di masa depan. Anda betul-betul siap dengan konsekuensi itu?”

Jenny menatapnya balik, matanya berkaca-kaca tapi keras kepala. “Nggak masalah… daripada kehilangan semua yang sudah saya bangun, saya lebih baik kehilangan janin ini. Saya yakin. Lakukan saja, Dok.”

Hening sejenak. Hanya suara detak jam dinding yang terdengar.

Akhirnya dokter itu mengangguk perlahan. “Baiklah. Kalau begitu kita akan jadwalkan tindakan dua hari lagi. Anda akan diberi instruksi medis yang harus dipatuhi sebelum datang ke sini.”

Jenny menarik napas lega, meski hatinya justru makin kacau. Dia menerima selembar kertas berisi jadwal dan catatan persiapan. Jemarinya bergetar saat menggenggamnya.

“Terima kasih, Dok,” ucap Jenny, suaranya serak.

Saat melangkah keluar dari ruang itu, langkahnya terasa ringan tapi sekaligus mengerikan. Dia sudah memutuskan jalannya sendiri—jalan yang mungkin kelak akan menghantuinya.

"Ckrek" bunyi jepretan kamera dari kejauhan, yang tidak disadari oleh Jenny.

Ada sosok lain yang sejak dia keluar dari apartemen, mengikutinya dan memperhatikannya dari jauh, lalu memotretnya diam-diam.

Entah apa tujuannya, tapi senyumnya melebar saat melihat foto Jenny yang berhasil dia tangkap.

...****************...

...****************...

1
Widya Herida
lanjutkan thor ceritannya bagus
Widya Herida
lanjutkan thor
Sumarni Ukkas
bagus ceritanya
Endang Supriati
mantap
Endang Supriati
engga bisa rumah atas nama mamanya audi.
Endang Supriati
masa org penting tdk dpt mobil bodoh banget audy,hrsnya waktu dipanggil lagi nego mau byr berapa gajinya. nah buka deh hrg. kebanyakan profesional ya begitu perusahaan butuh banget. td nya di gaji 15 juta minta 50 juta,bonus tshunanan 3 x gaji,mobil dst. ini goblog amat. naik taxi kwkwkwkwkkk
Endang Supriati
audy termasuk staff ahli,dikantor saya bisa bergaji 50 juta dpt inventaris mobil,bbm,tol,supir,by perbaikan mobil di tanggung perusahaan.bisa ngeclaim entertaiment,
Endang Supriati
nah itu perempuan cerdas,sy pun begitu proyek2 sy yg kerjakan laporan 60 % sy laporkan sisanya disimpan utk finslnya.jd kpu ada yg ngaku2 kerjja dia,msmpus lah.
Syiffa Fadhilah
good job audy
Syiffa Fadhilah
sukur emang enak,, menghasilkan uang kaga foya2 iya selingkuh lagi dasar kadal
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!