"Ibu, lepaskan aku. Tolong Bu. Aku mohon jangan jual aku!"
Terdengar tangis pilu seorang wanita yang sedang diseret beberapa bodyguard memasuki sebuah Rumah bordir.
Wanita itu masih bermohon belas kasihan pada ibu tirinya yang telah menjualnya pada seorang germo pemilik bordir itu.
Rindiani seorang gadis malang yang berumur 22 tahun harus menerima kenyataan pahit, setelah sebulan sang Ayah meninggal dunia, dia dijual oleh ibu tirinya.
Pada akhirnya ia di keluarkan dari rumah bordir itu dengan harga yang cukup mahal dengan seorang Dokter tampan.
Dokter itu menikahinya secara siri. Tetapi siapa sangka kebaikan dokter itu membuat rindi jatuh cinta kepada dokter yang sudah mempunyai istri sah itu.
Lanjut ikuti alur ceritanya ya. Kisah ini agak banyak mengandung bawang. Bagi yang suka cerita sedih silahkan mampir ya🙏🤗
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dewi Risnawati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hadiah dari suami
"Rindi, kenapa kamu harus pergi? Kamu juga istri Arfan, kita akan bicarakan ini bersama. Mama juga tidak yakin jika Arfan membiarkan kamu pergi. Bukankah kamu dan Arfan juga saling mencintai?" ujar Mama mencegah keputusan Rindi.
"Bu, sepertinya ini keputusan yang terbaik, aku ingin Mas Arfan dan Mbak Elin bahagia," ujar Rindi.
"Rin, kamu harus bicarakan hal ini pada Arfan dan Elin. Kamu jangan pergi begitu saja. Mama juga tidak akan mengizinkan, sebelum kita berunding bersama." Mama Zahra masih tetap mencegah Rindi untuk pergi.
Jujur Mama Zahra sangat menyayangi Elin, tetapi dia juga menyayangi Rindi. Karena kedua menantunya itu sangat baik dan menghormatinya.
"Lagi ngapain nih?" tanya Sania yang ikut masuk kedalam kamar Rindi, ia tadi tak sengaja mendengar obrolan kedua wanita beda generasi itu.
Sania ikut melihat koper dan tas yang sudah tersusun rapi di depan lemari pakaian. Dia melihat Rindi dan Mama sedang menangis.
"Kak Rindi, mau kemana? Tetaplah disini. Kami tidak pernah menganggap kakak sebagai orang lain. Dari pertama kita kenal, hatiku sudah tertarik atas segala kebaikan kakak, bagiku kak Elin dan kak Rindi sama. Kalian sama-sama Kakak iparku, wanita baik dan berhati lembut. Aku berharap kalian bisa akur."
Sania mencoba mengutarakan seperti apa kedudukan Rindi diruamah itu, agar Rindi tak merasa di sisihkan, padahal mereka sangat menyayanginya.
"Tapi, Bu..."
"Jangan panggil Ibu lagi. Panggil aku Mama. Kamu sudah dengar apa yang dikatakan adik iparmu? Kamu dan Elin sama dimata kami, kalian menantu Mama." Mama Zahra kembali menegaskan pada menantunya itu.
"Tapi, Ma. Bagaimana jika Mbak Elin tidak menerimaku sebagai madunya? Aku tidak ingin memaksakan kehendak. Karena Mbak Elin lebih berhak atas diri Mas Arfan."
"Nak, kamu belum mendengar penjelasan mereka. Nanti Mama akan memberitahu tentang semua ini, Mama minta besok kalian harus bicara agar semuanya jelas," ujar Mama.
"Aku setuju dengan pendapat Mama. Kalian harus bicara dari hati ke hati. Aku berharap Kak Elin bisa menerima kehadiran Kakak." Sania ikut menimpali.
Rindi menyusut air mata, dan menatap Mama dan adik iparnya. Sedikit lega mendengar ucapan mereka. Rindi sangat bersyukur, karena mereka begitu baik.
"Yasudah, sekarang kamu istirahat ya. Besok dibicarakan." Mama Zahra mengusap rambut wanita itu dengan lembut.
"Istirahat ya, Kak. Semoga kebahagiaan selalu menyertai kalian." Sania juga ikut pamit dan memberikan harapan dan Do'a.
"Terimakasih, ya Ma, Nia." Rindi tersenyum. Dan dibalas dengan anggukan oleh kedua wanita baik itu. Mereka segera keluar dari kamar Rindi.
Baru beberapa menit Rindi menutup pintu kamarnya, terdengar suara pintu itu terbuka kembali, Rindi menoleh, melihat siapa yang datang.
"Mas Arfan! Kapan pulang?" tanya Rindi melihat kehadiran Pria yang sudah tiga hari ini tak ia temui. Karena masih suasana lebaran, Arfan pamit untuk menemani Elin pulang ke kampung halaman orangtuanya yang ada diluar kota, walau masih daerah Medan juga.
Pria itu tersenyum bahagia saat melihat wajah istri keduanya. Tiga hari tak bertemu membuat rindunya menggebu. Arfan tak menjawab pertanyaan Rindi ia segera memeluknya.
"Mas kangen banget sama kamu, sayang. Kamu kangen, nggak?" tanyanya melerai pelukan, menatap mata teduh itu dengan dalam, sesekali bibirnya mencuri kecupan pada bibir merah muda itu.
Rindi hanya mengangguk, bibirnya juga tak kuasa untuk mengutarakan, bagaimana rindu dirinya pada sosok yang kini sedang dalam dekapannya.
"Aku sangat rindu, Mas...." Desisnya dengan menguatkan pelukannya. Menikmati aroma tubuh Arfan yang selalu membuat dirinya nyaman dalam dekapan Pria itu.
"Ini buat kamu." Arfan mengeluarkan sebuah kotak kecil dari saku celananya.
"Apa ini, Mas?" tanya Rindi tidak mengerti, hatinya begitu bahagia mendapatkan hadiah dari sang suami.
"Buka saja, Dek."
Rindi segera membuka kotak beludru yang berwarna biru Dongker itu. Seketika matanya berbinar melihat sebuah kalung yang terbuat dari emas putih dengan permata kecil terbuat dari berlian. Senyum mengembang dari bibirnya.
"Ya Allah, indah sekali, Mas." Rindi mengambil kalung itu dan memberikan pada Arfan meminta agar suaminya membantu untuk memasangkan. Tentu saja dengan senang hati Arfan menerimanya.
Arfan mengenakan di leher jenjang wanita itu. Terlihat begitu cantik dan cocok. "Bagaimana? Apakah kamu suka?" tanya Arfan sembari mengecup tengkuk Rindi yang putih bersih.
Rindi mengangguk menatap benda mewah itu, hatinya begitu bahagia mendapatkan hadiah dari suami yang sangat dicintainya. Namun, seketika ia teringat oleh kakak madunya.
Rindi segera memutar tubuhnya, dan menatap Arfan. "Mas, apakah Mbak Elin..."
"Sudah, Sayang, aku juga membelikannya dengan model yang sama. Aku sudah berjanji akan berbuat adil pada kalian berdua. Aku tahu ini mungkin tidak mudah, Dek, Tapi sebisa dan semampuku agar tak membedakan kasih sayangku, pada kalian berdua," ujar Arfan membuat Rindi bahagia mendengarnya.
"Terimakasih ya, Mas. Aku sangat bahagia. Tapi, apakah Mbak Elin bisa menerima aku, Mas?" tanya Rindi ragu.
Arfan menatap mata teduh itu begitu dalam, terlihat dimata itu ada keraguan dan rasa takut. Pria itu meraih pinggang Rindi untuk kembali merapat kepadanya.
"Kamu jangan cemas ya. Elin pasti menerima kamu," jawab Arfan, Pria itu berusaha untuk membuang rasa takut dan cemasnya.
Rindi hanya bisa mengangguk, meskipun hatinya masih ada keraguan. Tetapi dia mencoba untuk tetap tenang, apapun keputusan dari Elin dia akan menerima dengan ikhlas. Sebesar apapun rasa sayangnya pada Arfan, tapi Elin lebih berhak dan berkuasa. Dia sadar pernikahannya dan Arfan hanya dibawah tangan, sah di agama tapi tidak dimata hukum.
Maka dari itu, Rindi sangat sadar pada posisinya. Meminta membagi cinta dari istri sah, tidaklah hal yang mudah. Hanya wanita terpilih dari Allah yang mampu melakukan hal itu.
Rindi kembali memeluk suaminya dengan erat. Rasanya ada kenikmatan tersendiri baginya. Hidup dimadu dan waktu yang dibagi, membuat rasa cinta dan rindu semakin tumbuh.
Wanita itu merasa selalu jatuh cinta. Mungkin karena beberapa hari tak bertemu, merasa di apeli oleh kekasih halal. Rindi berharap hubungannya dan suami, juga kakak madunya akan selalu bahagia.
"Mas, sudah makan?" tanya Rindi menangkup kedua pipi Arfan.
"Belum, Sayang, nanti saja aku minta disediakan oleh Bibik," ujar Arfan, sembari melu mat bibir merah muda sang istri.
Rindi membalas perlakuan suaminya, merasa sudah habis oksigen, Rindi melerainya. Ia juga melihat reaksi tubuh Arfan yang mode on. Sesuatu dibawah sana sudah menantang.
"Aku sediakan makan untuk kamu ya, Mas," ujar Rindi tersenyum melihat wajah suaminya kusut seperti jeruk purut.
"Masih lama ya, Sayang?" tanya Arfan mencuri kecupan dipipi Rindi.
"Masih, Mas. Baru sepuluh hari..."
Bersambung....
Happy reading 🥰
hanya sehari saja thor dia terlahir setelah itu menghadap sg ilahi 😭😢😢