Rara Depina atau biasa di panggil Rara, terpaksa menggantikan ibunya yang sedang sakit sebagai Art di ruamah tuan muda Abian Abraham.
Rara bekerja tanpa sepengetahuan tuan muda Abian. Abian yang pergi kerja saat Art belum datang dan pulang saat Art sudah pergi membuat Rara bisa bekerja tanpa di ketahui Abian.
Apa jadinya saat tak sengaja Abian memergoki Rara tengah berada di apartemennya.
Dilema mulai muncul saat diam-diam Abian mulai jatuh cinta pada pembantu cantiknya itu, dan di tentang oleh keluarga besarnya yang telah memilihkan calon buat Abian.
Akankah Abian mampu mempertahankan Rara di sisinya, cuus baca kelanjutannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Titin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Makan malam
Dapur yang tertata rapi, dan berhias dengan barang-barang mewah itu sedikit ramai dengan kehadiran calon mantu di keluarga Abraham.
Septia Angraini tengah berkunjung kerumah ibu mertuanya saat ini. Tentu saja kedatangan Septi disambut suka cita oleh ibu Bian.
Dengan apron yang membalut tubuhnya dia meramu semua bahan menjadi kue lejat kesukaan Riana ibunya Bian.
Benar-benar wanita sempurna bukan? cantik, karismatik, pandai berkarir juga pandai memasak. Benar-benar menantu idaman.
Bolu tiramitsu dan bronis tape buatan Septi terhidang di meja. Dengan mata berbinar nyonya Riana mencicipi potongan bolu dan bronis buatan Septi.
"Hemm rasanya gak kalah sama yang di jual di toko roti Sep," ujar Riana sembari mengunyah potongan bolu di mulutnya.
"Tante bisa aja, gak seenak itulah tan."
"Benerloh bukan karena kamu calon mantu tante, ini memang bener-bener enak sayang. Beruntung banget Bian dapetin kamu," puji Riana.
"Tapi sepertinya Bian tidak merasa begitu tante," ucap Septi dengan wajah tertunduk lesu.
"Kenapa bilang begitu sayang, tentu saja Bian sangat menyukaimu," ujar Riana dengan tatapan lembut penuh kasih sayang.
"Harusnya begitu tan. Tapi setelah pertunangan kemaren Bian bersikap aneh padaku, sedikitpun dia tak bisa meluangkan waktu untukku." Keluhnya dengan wajah lesu.
"Sayang, Bian memang gila kerja. Kamu kan tau itu."
"Tapikan aku ingin menghabiskan waktu sesekali bersama Bian tante," ucap Septi dengan wajah sedihnya.
"Kamu tenang saja nanti tante yang bilang sama Bian kapan kamu ingin jalan bareng Bian."
Wajah sendu Septi berubah sumringah seketika mendengar ucapan ibu mertuanya.
"Bener ya tante."
"Tentu sayang, Bian gak akan menolak kalau tante yang suruh."
Senyum Septi mengembang sempurna, sudah terbayang olehnya ekpresi Bian nanti saat ibunya meminta menemuinya.
***
"Pak ibu anda sedang di lobi ingin bertemu anda." Resepsionis memberitahu Bian melalui intercom kantor.
"Iya tidak apa suruh ibu masuk."
Ibu masuk ruangan Bian dengan wajah kesal, sejak kapan dia harus lapor dulu saat akan menemui anaknya.
"Sudah hebat kamu sekarang Bian! Bahkan ibumu sendiri harus izin saat ingin menemui mu!" Sentak ibu tak terima.
"Ada apa bu, pagi-pagi sudah emosi begini, duduklah," ucap Bian sembari beranjak bangkit dari kursinya, lalu berjalan menuju Sofa.
"Kamu dengarkan tadi ibu bilang apa?"
"Iya bu, itu hanya antisipasi saja mana tau aku sedang ada rapat penting. Kan gak enak kalau ibu tiba-tiba nyelonong masuk." Kilah Bian yang tak membuat ibunya puas dengan jawaban Bian.
"Ibu ada apa pagi-pagi sudah mengunjungiku?"
"Masalah Septi, nanti pergilah dengannnya untuk makan siang. Semalam dia berkunjung kerumah, dia banyak mengeluh tentang sikapmu yang tak peduli padanya. Jangan hanya kerja yang ada dipikiranmu Bian, wanita itu butuh perhatian. jangan sampai dia bosan dan meninggalkan mu," tutur Ibu dengan lembut.
Bian sudah menduga kalau septi pasti memonta dukungan ibunya.
"Iya baiklah aku akan menemuinya nanti, apa ibu senang sekarang?"
"Bian! kamu ini. Kok ibu yang senang, ini semua demi masa depanmu. jangan sampai kamu kehilangan Septi kedua kalinya. Dia wanita sempurna untuk jadi pendamping hidupmu Bian."
"Iya bu, aku tau. Ibu tenang saja, aku akan memperbaiki hubunganku dengan Septi," ucap Bian dengan senyum memastikan pada ibunya bahwa dia serius dengan ucapannya.
"Bagus itu yang ibu harapkan darimu saat ini. Dengar! ibu gak mau septi mengeluh lagi dengan sikap dinginmu itu."
"Iya baiklah ibu ku sayang." Ibu tersenyum senang dengan kalimat hangat Bian. Lihatlah betapa Septi wanita yang sangat istimewa sejak kepulangannya dia mampu merubah Bian menjadi lebih hangat.
"Ya udah ibu pulang dulu, jangan lupa nanti hubungi Septi, ajak dia makan siang."
"Iya buk hati-hati di jalan," ucap Bian sembari beranjak bangkit lalu mengantar ibunya sampai dipintu.
Bian sudah menduga hal seperti ini pasti terjadi, dan Bian sudah bersiap untuk situasi seperti ini.
Menjelanh makan siang Septi mengiriminya pesan bahwa dia sudah memesan tempat di sebuah Resto bintang lima tak jauh dari kantornya Bian.
Seperti titah ibunya Bian pergi menemani Septi makan siang. Dengan langkah lebar Bian memasuki Resto yang jadi pilihan Septi. Dari jauh Bian bisa melihat senyum yang sangat sempurna dari bibir merah Septi, kecantikannya yang sempurna membuat dirinya tampil mencolok di antara pengunjung lainnya.
"Aku kira kau tidak akan datang," bisik Septi dengan senyum yang begitu manis, saat Bian sudah duduk di depannya.
"Hanya makan dengan tunanganku kenapa harus di tolak, aku juga butuh makan siang walau tidak bersamamu," ucap Bian dengan senyum tipis di bibirnya.
"Aku kira kau lupa siapa aku," ucap Septi dengan nada sinis. Bian tak menanggapi dia memilih mengambil buku menu lalu memesan makan siangnya pada waiters.
Septi yang di abaikan begitu merasa jengkel, tapi dia berusaha menjaga sikapnya seelegan mungkin menghadapi acuhnya Bian.
Steak daging lada hitam jadi pilihan keduanya. Bian tak sekalipun melihat Septi, dia focus pada makan siangnya menikmati setiap kunyahan di mulutnya.
"Begitu beratkah bagimu berada di sisiku?" Tanya Septi akhirnya setelah hening beberapa saat lalu.
Bian yang tengah focus pada makan malamnya beralih menatap Septi dengan intens. Tidak berat andai di hatinya tidak ada Ara.
"Tidak berat andai perasaanku masih sama seperti dulu," ucap Bian masih dengan tatapan lekatnya.
"Empat tahun Bi kita bersama. Bukan waktu sebentar untuk bisa di lupakan secepat itu."
"Aku tau, bukan salahku bila setahun tanpa kabarmu merubah segalanya. Jujur aku tak menyangka bisa kehilangan rasa terhadapmu," ucap Bian sungguh-sungguh. Dia tak menyangka sosok Ara mampu mengantikan posisi wanita yang nyaris sempurna dalam segalanya.
"Siapa wanita itu? jangan bilang tidak ada Bi, aku paham dirimu."
Bian tak menyahut dia kembali pada makan siangnya, menyantap sisa potongan daging yang tertinggal.
"Bi," rengek Septi berharap Bian berterus terang.
"Habiskan makan siangmu, aku ada rapat setelah ini," ucap Bian sembari menyeka bibirnya dengan tisu.
Septi berdecak kesal, sulit mengorek keterangan dari Bian. Kadang sikap bian yang satu ini membuat Septi putus asa tapi cintanya yang teramat besar mengalahkan rasa putus asanya.
"Jangan-jangan itu hanya alasanmu menghindariku Bi," ujar Septi sembari menatap Bian curiga.
"Kau terdengar seperti bocah yang tak paham berbisnis. Waktuku adalah uang, harusnya kau senang aku sudah meluangkan waktuku selama..." Bian melihat jam di pergelangan tangannya.
"Tiga puluh menit," ucap Bian sembari menatap Septi lekat.
"Hhhh! aku tak percaya bisa bertunangan dengan lelaki sepertimu Bi," desis Septi kesal.
"Itu idemu bukan? oh ya aku tegaskan padamu agar tak membawa awak media di setiap pertemuan kita. Aku tidak suka berbagi hal pribadi dengan mereka harusnya kau tau itu."
Septi tertawa pelan, mata Bian masih sejeli dulu, tapi Septi takkan mengindahkan ucapan Bian.
"Itu hukumanmu yang berani mengabaikan ku," ucap Septi dengan kerling nakalnya.
"Terserahlah!" Sentak Bian sembari beranjak bangkit bersamaan dengan Septi yang menghampirinya lalu...
Cup!!
Septi melabuhkan kecupannya di bibir Bian. Bian yang kaget replek menyentuh tubuh seksi Septi dengan kedua tangannya.
"Terimakasih," ucap Septi lagi dengan senyum penuh kemenangan.
Bian cuma bisa menghela nafas panjang, sepintar apa pun dia menghindar dari adegan ini nyatanya dia kecolongan juga.
Saat keluar dari resto Septi sengaja bergelayut manja di lengan Bian. Bian tak mampu berbuat banyak apa lagi ini di tempat umum.
Dengan terpakasa Bian mengantar Septi sampai masuk kedalam mobilnya dan menunggu sampai mobil Septi meninggalkan halaman parkir.
.
.
Happy reading.
Tinggalin jejak ya readers 🙏🙏🙏🥰🥰🥰