Tama, cowok baik-baik, kalem dan jago olahraga yang jatuh cinta dengan Raina si gadis yang terkenal dengan reputasi buruknya. Suka dugem, mabok, merokok, bahkan gosipnya dia pun jadi sugar baby simpanan om-om.
Tama menghadapi banyak tantangan agar bisa bersama Raina. Teman dan keluarganya yang tak menyukai Raina, rumitnya latar belakang keluarga Raina, juga cintanya yang penuh gairah yang amat sulit dikendalikan oleh cowok itu.
Kisah mereka terajut sejak masa di bangku kuliah. Saat mereka lulus, Tama berjanji akan menikahi Raina satu tahun kemudian. Tapi dengan banyaknya pihak yang menginginkan mereka untuk berpisah, bisakah mereka bertahan? Apalagi mereka terpaksa harus berpisah demi mempersiapkan masa depan untuk bersama?
Author masih belajar, tetapi selalu berusaha memperhatikan ejaan dan penggunaan huruf kapital yang benar sehingga nyaman di baca. Silahkan mampir😂
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sabina nana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Teman Kecil
"Bunda nggak ngelarang kamu pacaran sama Raina, kan? Jadi kenapa kamu protes kalau Bunda pengen kamu kenal lebih dekat lagi sama Almira? Emangnya dia ganggu kamu, gitu?" begitu kata Bunda Dayen saat Tama menolak rencana ibunya untuk mendekatkan ia dengan Almira.
Bundanya selalu punya jawaban yang masuk akal yang membuat Tama menelan segala protesnya. Ia tahu Bundanya tidak menyukai Raina, tapi Bundanya tidak serta merta melarang hubungan mereka. Syaratnya satu, ia tidak boleh menolak segala usaha ibunya untuk mendekatkan dirinya dengan Almira. Bundanya ingin ia memberi kesempatan yang sama untuk Almira.
Itu sebabnya, saat Almira dan Elina keluar dari rumah sakit di waktu bersamaan, ia tidak bisa mengelak saat Bundanya meminta ia menjemput Almira. Dan membiarkan Raina mengurus ibunya sendirian.
Tak disangka Raina menerima dengan tenang. Tidak protes dan ngambek seperti dugaan Tama. Gadis itu hanya berpesan, "Jangan deket-deket pokoknya. Ngga ada acara gandeng-gandengan, apalagi peluk-pelukan," ancam Raina sebelum Tama bergegas menuju ke kamar inap Almira.
Tama tak menanggapinya dengan kata-kata, hanya meraih Raina dalam dekapan kemudian mengelus rambutnya. Raina yang sudah terbiasa dengan Tama yang lebih senang mengungkapkan isi hatinya lewat tindakan daripada kata-kata, entah kenapa merasa yakin Tama akan memegang janjinya.
"Kakek kamu tahu, kamu ada disini?" tanya Elina saat putrinya masih betah berlama-lama di rumahnya setelah mengantarnya pulang dari rumah sakit. Raina saat itu sedang melihat-lihat koleksi buku komiknya lamanya, membolak balik lembarannya asal-asalan..
"Udah pasti dia tahulah, Ma. Mata dan telinganya kan dimana-mana. Kayak nggak tahu Kakek aja," sahut Raina tanpa mengangkat muka dari komik Serial Cantik yang dulu sempat dikoleksinya saat SMP.
"Iya, tapi lebih baik kamu jangan lama-lama disini. Ngga usah bikin perkara sama Kakek kamu," kata Elina lagi, tak bisa menyembunyikan raut khawatir dari wajahnya.
Raina hendak menjawab lagi, tapi urung melihat ekspresi ibunya. Diletakkannya komik yang ia pegang, lalu mendekat ke sofa tempat ibunya duduk. Direngkuhnya sang Mama dalam pelukannya.
Mau tak mau Elina tersenyum, hatinya menghangat. Hanya ia dan Tuhan yang tahu betapa seringnya ia menghabiskan malam-malamnya dalam tangisan panjang. Merindukan satu-satunya permata paling berharga dalam hidupnya demi masa depan lebih baik yang tidak akan pernah bisa ia berikan.
Elina menyeka sebulir air mata yang tiba-tiba menitik. Raina mengetatkan pelukan.
"Jangan sakit lagi ya, Ma. Kalau ada apa-apa minta bantuan Maya, atau telepon Raina langsung."
Elina mengangguk, mengelus putrinya penuh sayang.
"Pacar kamu nggak ikut kesini?" tanya Elina yang membuat Raina cemberut.
"Nggak. Ada acara lain dia. Udah ah Ma jangan nanyain dia, bikin bete," kata Raina yang membuat Elina terkekeh.
"Kalian berantem?"
Raina menggeleng. Bayangan Tama mengantar pulang Almira membuatnya badmood seketika. Sekarang Tama masih di rumah Almira nggak ya? Terus kalau Tama masih di sana mereka lagi ngapain? Huh. Raina membenci pikiran-pikiran buruknya.
"Tama kayaknya sayang banget sama kamu, Nak. Kelihatan dari caranya dia liatin kamu,"kata Elina lagi. Raina mendadak merasakan pipinya memerah. Duh, kayak abege aja deh gue, keluh Raina malu.
"Udah dibilangin jangan bahas Tama lagi, Mama nih," elak Raina malu.
"Lain kali ajak dia kesini ya. Kemaren kan Mama belum sempet ngajak dia ngobrol,"
"Iyaaa, Mama."
Langit sudah mulai gelap saat Raina memutuskan pulang. Setelah berulangkali mewanti ibunya agar menghubunginya jika ada sesuatu, ia pun meraih tasnya dan segera menuju tempat mobilnya di parkir.
Saat ia sedang mengubek-ubek isi tasnya, mencari kunci mobil yang entah dimana, seorang cowok tegap dengan rambut cepak mendekatinya. Sesaat Raina disergap rasa takut. Rumah ibunya ini memang terletak di daerah pinggiran kota yang, banyak preman biasa berkeliaran.
Namun saat cowok itu semakin mendekat, Raina merasa tak asing dengan wajah si cowok.
"Ck, mentang-mentang udah kaya, lupa sama gue?" sapa si cowok berkulit legam itu. Setelah jarak diantara mereka hanya tinggal tiga langkah, Raina mengenalinya.
"Jay! Lama banget nggak ketemu. Kok kamu sekarang jadi gagah gini sih? Dulu kan kamu kerempeng banget, ya ampun," Raina refleks memukul bahu cowok itu gemas. Cowok yang disapa Jay itu menangkap lengan Raina, merangkulnya.
Jay, atau nama lengkapnya Kamajaya adalah kakak kandung Maya. Sama seperti Maya, ia dan Jay pun tumbuh besar bersama. Usia Jay tiga tahun diatas Maya dan Raina, meski begitu cowok itu sering main bersama mereka.
Fisik Raina yang sudah menonjol sejak kecil, kulit putih, rambut cokelat kemerahan, mata besar berwarna hazel yang semua itu menunjukkan ciri wajah agak bule, membuat Raina sering diganggu anak-anak yang lain. Saat usianya lebih kecil dia sering jadi bahan ejekan, dipanggil bule nyasar, bule kampung dan semacamnya.
Seiring ia tumbuh, kecantikannya makin nampak, godaan dan ejekan itu bukannya berkurang, justru makin parah. Anak-anak lelaki akan mengganggunya, mencari perhatiannya, sementara anak perempuan jarang mau berteman dengannya. Hanya Maya dan Jay yang setia bersahabat dengannya dari sekolah dasar.
Jay bahkan tak hanya sekali dua kali membiarkan tubuh ringkihnya jadi bulan-bulanan segerombolan anak lelaki yang hendak menganggu Raina. Jay remaja bertubuh kurus, berkulit gelap. Namun cowok itu akan selalu siap badan kala Raina membutuhkannya.
Semenjak hak asuh Raina beralih ke Kakeknya dan ia tak lagi tinggal di rumah Mamanya, mereka jarang bertemu. Kabar terakhir yang diketahui Raina tentang Jay adalah bahwa cowok itu bekerja di kapal selepas lulus SMA.
"Elo tambah cantik, Ra." kata Jay, menatap Raina lekat-lekat. Raina tergelak, mengabaikan kata-kata Jay yang diucapkan sungguh-sungguh itu.
"Kapan balik? Kok Maya nggak bilang apa-apa sama gue?"kata Raina, meneliti cowok legam di hadapannya ini. Kulit Jay nampak lebih gelap, badan kurusnya dulu kini nampak lebih tegap dan berotot.
"Elo baik-baik aja kan, Ra? Masih sering ceroboh nggak?" tanya Jay, masih tak juga melepaskan pandangannya dari gadis cantik di hadapannya ini.
Raina tergelak. "Apaan, sih? Gue udah gede, tau. Udah bisa jaga diri, nggak kayak dulu yang dikit-dikit ngadu sama kamu."
"Gue nggak keberatan kok kalau sekarang elo ngadu apa-apa ke gue. Gue siap hajar siapapun yang gangguin elo," Jay mengedipkan sebelah matanya.
Raina menghela napas, capek. Dari dulu Jay selalu merayunya dengan kata-kata semacam ini. Raina sudah kebal.
"Gue udah punya pacar, terimakasih deh buat tawarannya." Jawaban Raina itu membuat Jay seketika menekuk wajahnya.
"Sial. Gue kalah cepat melulu. Gue tunggu elo putus aja deh, kalo gitu." Belum selesai Jay bicara, cowok itu mengaduh kesakitan karena Raina mencubit pinggangnya.
"Doain tuh yang bener! Elo seneng ya liat gue sedih terus?" jengkel Raina.
Jay terkekeh, sambil mengusap pinggangnya yang nyeri. Cubitan Raina masih seganas dulu.
"Kapan elo mau ketemu dia, Ra? Gue tahu tempatnya." ucapan Jay itu sukses membuat Raina membeku. Jay sudah mengajaknya untuk bertemu dengan orang ini sejak ia masih tinggal dengan Mamanya. Namun Raina tidak pernah punya nyali untuk menghadapinya.
"Gue nggak tahu."
"Mau sampai kapan elo menghindar?"
"Gue nggak siap, Jay."
"Hubungi gue kalau elo udah siap. Gue anterin."
Raina mengangguk, dan mengucap terimakasih dengan lirih.