NovelToon NovelToon
Cinta Sendirian

Cinta Sendirian

Status: sedang berlangsung
Genre:Time Travel / Kehidupan di Sekolah/Kampus / Misteri / Romansa Fantasi / Kehidupan alternatif / Romansa
Popularitas:181
Nilai: 5
Nama Author: Tara Yulina

Aira Nayara seorang putri tunggal dharma Aryasatya iya ditugaskan oleh ayahnya kembali ke tahun 2011 untuk mencari Siluman Bayangan—tanpa pernah tahu bahwa ibunya mati karena siluman yang sama. OPSIL, organisasi rahasia yang dipimpin ayahnya, punya satu aturan mutlak:

Manusia tidak boleh jatuh cinta pada siluman.

Aira berpikir itu mudah…
sampai ia bertemu Aksa Dirgantara, pria pendiam yang misterius, selalu muncul tepat ketika ia butuh pertolongan.

Aksa baik, tapi dingin.
Dekat, tapi selalu menjaga jarak, hanya hal hal tertentu yang membuat mereka dekat.


Aira jatuh cinta pelan-pelan.
Dan Aksa… merasakan hal yang sama, tapi memilih diam.
Karena ia tahu batasnya. Ia tahu siapa dirinya.

Siluman tidak boleh mencintai manusia.
Dan manusia tidak seharusnya mencintai siluman.

Namun hati tidak pernah tunduk pada aturan.

Ini kisah seseorang yang mencintai… sendirian,
dan seseorang yang mencintai… dalam diam.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tara Yulina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Dia Yang Tak Sengaja Kutemui

Aira masuk ke dalam kontrakan, menutup pintu perlahan. Ia meletakkan tasnya di lantai lalu duduk, berusaha menenangkan diri. Setelah menarik napas panjang, Aira membuka tas dan mengambil handphone-nya.

Begitu melihatnya, ia langsung terkejut.

“Loh… iPhone-ku kok jadi BlackBerry? Kok bisa berubah gini… aneh banget,” gumam Aira panik.

BlackBerry hitam itu tampak seperti ponsel jadul, persis seperti yang pernah ia sebutkan sebelum melakukan perjalanan waktu. Jantungnya berdegup kencang—segalanya terasa makin tidak masuk akal.

Tiba-tiba, ponsel itu berbunyi ting, pertanda ada pesan masuk. Aira buru-buru membuka pesan tersebut. Ternyata dari Ayah.

Pesan itu terbaca jelas:

“Aira, ayah lupa memberi tahu. Apa pun yang kamu bawa ke masa lalu akan menyesuaikan dengan tahun itu. Jadi jangan kaget kalau iPhone kamu berubah jadi BlackBerry. Tenang saja, nanti ketika kamu kembali ke masa seharusnya, semua akan kembali seperti semula. Bukan hanya handphone, tapi pakaianmu juga menyesuaikan agar tidak terlihat aneh di lingkungan tahun 2011.”

Aira membaca dengan mata melebar.

“Setelah kamu punya tempat tinggal, kamu tetap mahasiswi di sana. Datang saja ke Universitas Indonesia. Nama kamu sudah terdaftar sebagai mahasiswi lama semester 2. Jangan ragu, semua sudah ayah atur.”

Aira menatap layar ponsel lama itu lama sekali. Rasa takut, kaget, dan lega bercampur menjadi satu.

“Ya Tuhan… jadi ini semua sudah disiapkan ayah…” bisiknya pelan.

Selesai membaca pesan dari ayah, Aira langsung menoleh ke arah tasnya dan memeriksa pakaian-pakaian yang ia bawa dari tahun 2025. Benar saja—semua outfit modernnya berubah menjadi pakaian jadul ala tahun 2011. Modelnya sederhana, warnanya pun tidak mencolok.

“Aneh… kenapa semuanya aneh begini… Ayah, Aira pengen pulang…” gumam Aira lirih.

Namun ia tahu, keinginannya untuk pulang hanyalah angan kosong untuk saat ini. Ia harus menyelesaikan misi ayah dulu sebelum kembali ke dunia modern tempat ia seharusnya berada.

****************

Malam semakin larut. Perut Aira keroncongan. Ia teringat pesan Bu Reni: “Kalau lapar, tinggal datang ke rumah, ya.”

Akhirnya, Aira keluar dari kontrakan dan berjalan menuju rumah Bu Reni yang hanya berjarak beberapa rumah.

Tok… tok… tok.

“Assalamualaikum,” sapa Aira pelan.

“Waalaikumsalam,” suara dari dalam menjawab.

Pintu terbuka, kepala Mason muncu.

“Kak Aira! Mak, ada Kak Aira!” serunya memanggil ibunya.

Tak lama, Bu Reni keluar sambil tersenyum.

“Eh, Neng Aira… lapar yo? Ayo masuk, ibu temani makan.”

“Iya, Bu… Aira lapar,” jawab Aira malu-malu.

“Yo wis, masuk. Makan yang banyak, biar kenyang,” kata Bu Reni sambil berjalan menuju meja makan.

“Duduk sini, Neng. Maaf ya, lauknya seadanya.”

“Aira senang kok, Bu. Terima kasih banget Bu Reninya sudah bantu Aira.”

“Sama-sama, Neng. Ayo makan.”

Di meja makan tersaji tumis kangkung, tempe dan tahu goreng, ikan goreng, serta sambal terasi. Menu sederhana itu justru membuat Aira sangat bersyukur. Suapan pertama membuat dadanya hangat—masakan itu mengingatkannya pada ibunya yang telah tiada.

Tanpa sadar, air mata Aira jatuh.

“Lho, Neng… kok nangis? Masakannya nggak enak ya?” tanya Bu Reni panik.

Aira menggeleng cepat. “Enak, Bu… enak banget. Aira cuma keingat ibu Aira… ibu sudah nggak ada…”

Bu Reni ikut terdiam, wajahnya ikut sedih melihat Aira menahan rindu.

“Sing sabar yo, Neng. Kamu pasti bisa jalanin semua ini. Masih banyak wong apik ing sakupenge—orang-orang baik di sekelilingmu.”

Aira menatap Bu Reni dan tersenyum tipis.

“Terima kasih, Bu…”

Untuk pertama kalinya sejak tiba di 2011, Aira merasa tidak sendirian.

Aira menyantap makanan itu perlahan sampai habis. Rasa hangat dari masakan rumahan dan perhatian Bu Reni membuat perutnya kenyang, hatinya pun sedikit lega. Setelah menghabiskan segelas air putih, ia tersenyum pada Bu Reni dan Mason.

“Bu, Aira pulang ke kontrakan dulu, ya. Terima kasih banyak… bener-bener terima kasih,” ucap Aira tulus.

“Iya, Neng. Hati-hati yo. Kalau butuh apa-apa, bilang ibu,” jawab Bu Reni sambil menepuk lembut bahunya.

Mason mengangguk sambil tersenyum. “Besok kalau butuh dianter, bilang aku aja ya Kak.”

Aira tertawa kecil. “Iya, Son. Makasih.”

Ia kemudian berjalan pelan kembali ke kontrakan. Udara malam terasa dingin, tapi hatinya hangat karena kebaikan keluarga kecil itu. Sesampainya di kontrakan, Aira menutup pintu lalu merebahkan diri di atas tikar tipis. Tubuhnya lelah, tapi pikirannya mulai tenang. Tak butuh waktu lama, matanya terpejam dan ia tertidur nyenyak.

****************

Pagi menjelang. Sinar matahari menembus jendela kecil kontrakan, menerpa wajah Aira. Ia terbangun perlahan, merenggangkan tubuh, lalu teringat kata-kata ayahnya tentang perkuliahan di Universitas Indonesia.

“Hari pertama kuliah di tahun 2011… semoga semua lancar,” gumamnya.

Aira bangun, mengambil pakaian yang sudah berubah sesuai zaman, lalu bersiap. Ia menyisir rambut, merapikan tas, dan menatap dirinya di kaca kecil.

“Mari mulai semuanya,” ujarnya dengan keyakinan baru.

Pagi itu, setelah selesai bersiap dengan pakaian jadul yang kini harus ia kenakan, Aira keluar dari kontrakan sambil merapikan tasnya. Tepat di teras, seorang ibu paruh baya sedang menyapu halaman. Ibu itu tersenyum ketika melihat Aira.

“Neng, ini yang kenal sama Bu Reni ya?” sapa ibu itu ramah.

“Iya, Bu,” jawab Aira sambil langsung menyalami tangannya dengan sopan.

“Kenalin, ibu Royah. Ibu pemilik kontrakan di sini,” ujar wanita itu.

“Aira, Bu,” jawab Aira lembut.

“Cantik namanya… orangnya juga cantik,” puji Bu Royah sambil tersenyum.

Aira ikut tersenyum malu. “Makasih, Bu. Oh ya, untuk bayar kontrakannya nanti saya bayar, ya. Saya perlu tarik tunai dulu.”

“Iya, Neng. Ibu di sini santai soal pembayaran, yang penting kamu amanah,” balas Bu Royah tenang.

Aira mengangguk. “Insyaallah, Bu. Kalau begitu Aira pamit, mau berangkat kuliah.”

Namun sebelum Aira sempat melangkah, Bu Royah memanggilnya lagi.

“Aira, tunggu sebentar!”

Aira berhenti. “Iya, Bu? Kenapa?”

“Kamu berangkat naik apa?” tanya Bu Royah.

“Jalan kaki, Bu,” jawab Aira polos.

Bu Royah langsung melotot kecil. “Lho, dari sini ke kampus kamu itu jauh, Neng. Masa jalan kaki? Kamu bisa naik sepeda?”

“Bisa, Bu.”

“Ya sudah, kamu pakai sepeda ibu aja. Ibu punya sepeda nganggur di belakang. Daripada nganggur, mending kamu pakai biar nggak kecapekan.”

Ia lalu mendorong keluar sebuah sepeda onthel tua. Catnya sedikit pudar dan bentuknya betul-betul jadul, sampai Aira tertegun.

Ini… benar-benar sepeda tempo dulu, batin Aira.

“Makasih banyak ya, Bu… beneran makasih,” ucap Aira sungguh-sungguh.

“Iya, Neng. Hati-hati di jalan. Semoga kuliahnya lancar, ya.”

Aira menaiki sepeda itu dengan perasaan hangat.

Di tahun 2011 ini, semua orang yang ia temui tampak begitu baik. Tidak hanya memikirkan dirinya sendiri, tapi benar-benar peduli kepada orang lain.

Rasanya… Aira mulai merasakan kenyamanan yang lama tak ia rasakan.

...****************...

Aira tiba di gerbang Universitas Indonesia dengan langkah ragu. Suasana kampus tahun 2011 terasa sangat berbeda dari lingkungan modern yang biasa ia lihat di tahun 2025. Tidak ada mahasiswa berlalu-lalang sambil memegang smartphone canggih, tidak ada e-scooter, dan tidak ada area selfie instagrammable yang biasa memenuhi sudut kampus masa kini. Yang ada hanya mahasiswa dengan tas ransel sederhana, beberapa menggunakan BlackBerry, dan sebagian lainnya masih memakai ponsel flip.

Bangunan-bangunan tua dengan cat kusam memberi kesan nostalgia yang kuat. Aira menatap sekeliling penuh kekaguman—dan sedikit bingung.

“Wow… jauh banget sama tahun 2025,” gumamnya sambil berjalan menuju area fakultas.

Saat ia melihat papan fakultas dan mencoba mencari arah, tiba-tiba—

Brukk

Aira menabrak seseorang hingga ia terjatuh ke belakang. Tasnya hampir terlepas dari genggaman. “Aduh…” keluhnya sambil menunduk, memegangi tangannya.

Seseorang berdiri di hadapannya, lalu sebuah tangan terulur. Aira menatapnya… dan seketika napasnya tercekat.

Pria itu… wajahnya sama persis dengan lelaki yang selalu muncul dalam mimpinya. Lelaki yang ia panggil pangeran dalam tidur panjangnya. Postur tinggi, rahang tegas, kulit bersih, dan mata tajam yang hampir tidak menyiratkan emosi apa pun.

Namun tatapan pria itu dingin. Benar-benar dingin dan kosong.

Aira memegang tangannya dan bangkit, matanya tidak bisa lepas dari wajah pria tersebut. Degup jantungnya kacau.

Ini… ini kan yang ada di mimpi aku… kok bisa?

Tanpa sadar bibirnya bergerak pelan.

“Pa… pangeran?”

Pria itu mengerutkan kening. Ekspresinya langsung berubah dari datar menjadi tidak mengerti—atau mungkin risih.

“Hah? Kamu ngomong apa?” suaranya datar, nada dingin membuat tubuh Aira merinding.

Aira tersadar seketika. “Eh! I-iya… m-maaf! Salah orang!”

Pria itu menatapnya beberapa detik, seolah menilai apakah Aira waras atau tidak.

“Kamu aneh,” komentarnya singkat.

Tanpa menunggu jawaban, ia berbalik dan pergi begitu saja, meninggalkan Aira yang masih terpaku di tempat.

Aira memegang dadanya, mencoba menenangkan debaran yang tak terkendali.

“Itu… itu dia… kenapa dia ada di sini? Kenapa sama persis kaya di mimpi aku…?”

Dunia tahun 2011 semakin terasa misterius bagi Aira. Dan kini, muncul pertanyaan baru yang membuat tubuhnya merinding:

Siapa sebenarnya pria itu?

1
Kama
Penuh emosi deh!
Elyn Bvz
Bener-bener bikin ketagihan.
Phone Oppo
Mantap!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!