Ardina Larasati, sosok gadis cantik yang menjadi kembang desa di kampung Pesisir. Kecantikannya membuat seorang Regi Sunandar yang merupakan anak pengepul ikan di kampung itu jatuh hati dengannya.
Pada suatu hari mereka berdua menjalin cinta hingga kebablasan, Ardina hamil, namun bukannya tanggung jawab Regi malah kabur ke kota.
Hingga pada akhirnya sahabat kecil Ardina yang bernama Hakim menawarkan diri untuk menikahi dan menerima Ardina apa adanya.
Pernikahan mereka berlangsung hingga 9 tahun, namun di usia yang terbilang cukup lama Hakim berkhianat, dan memutuskan untuk pergi dari kehidupan Ardina, dan hal itu benar-benar membuat Ardina mengalami gangguan mental, hingga membuat sang anak yang waktu itu berusia 12 tahun harus merawat dirinya yang setiap hari nyaris bertindak di luar kendali.
Mampukah anak sekecil Dona menjaga dan merawat ibunya?
Nantikan kelanjutan kisahnya hanya di Manga Toon.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ayumarhumah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 33
Pagi mulai datang kembali, Ardina duduk di tepi ranjang sambil menatap jendela luar, dengan tatapan nanar, gadis mulai menampakkan tatapan kosong itu lagi, suara sepatu perawat terdengar berlalu lalang, namun belum juga ada yang datang ke dalam kamarnya.
Dan tidak lama kemudian, seseorang yang ia nantikan kedatangannya, akhirnya datang juga, Dr Rendra masuk ke kamarnya dengan mimik yang penuh khawatir.
"Selamat pagi Bu Ardina?" tanyanya dengan ramah.
Ardina mengangguk kecil. "Selamat pagi juga."
"Gimana harimu?" tanya Rendra.
"Baik," sahut Ardina singkat.
Ardina melihat Rendra datang dengan di dampingi suster Maya dikesempatan ini ia mulai meminta kertas dan pena. Katanya untuk terapi menulis. Permintaan itu dikabulkan tanpa curiga.
Di atas kertas putih, ia menulis satu kalimat pendek. Tangannya sempat bergetar, namun tulisannya tetap rapi.
Saya ingin bertemu Regi. Penting. Tentang Dona.
Kertas itu ia lipat rapi lalu diserahkan pada suster Maya.
“Kalau Regi datang,” ucap Ardina pelan, “bilang… aku sering mimpi buruk.”
Itu kode. Regi akan paham. Karena dulu, setiap Ardina menyebut mimpi buruk, selalu ada sesuatu yang tidak beres.
Sementara itu, Dokter Rendra membaca laporan perkembangan Ardina lebih lama dari biasanya. Tidak ada kekambuhan. Tidak ada agresi. Tidak ada delusi. Namun ada satu catatan kecil yang terus berulang: pasien terlalu tenang.
“Terlalu tenang bukan gejala,” gumamnya.
Setelah memeriksa Ardina Dr Rendra pergi meninggalkan kamar kecil itu, Ardina hanya bisa menatap punggung kedua orang itu dari kejauhan.
"Semoga Regi dan Dona secepatnya datang," ucap Ardina penuh dengan harap.
☘️☘️☘️☘️
Sementara di dalam montel terpencil sana, Regi sedang duduk di kamar sambil menatap wajah Dona yang sedang menikmati makanan, pagi ini udara cukup sejuk dan tenang, tapi tidak setenang suasana hatinya, sudah dua hari ini ia bersembunyi di tempat yang terlalu jauh dari keramaian.
"Kira-kira, gimana kabar kamu sudah dua hari ini kita gak menengokmu, karena situasi belum mungkinkan," gumam Regi dengan lirih.
Pria itu benar-benar tidak habis, pikir dengan sistem ayahnya yang masih menggerakkan anak buahnya untuk memata-matai dirinya, beruntung ada staf perusahaan yang baik, diam-diam ia memberi tahu titik tertentu di mana Halik mulai menyuruh anak buahnya untuk mengintainya, ia bukan keluarga dia hanya seorang pegawai lama yang pro dengannya.
"Pa, kenapa melamun?" tanya Dona.
"Nggak ... Nak, Papa hanya lihat Dona yang makan begitu lahap," sahut Regi beralasan.
"Iya nih, kan makanan di sini enak," sahut anaknya itu.
Regi membuang napas kecil, melihat Dona yang selalu menerima makanan dengan baik, padahal baginya makanan di montel itu terlalu biasa, tapi bagi sang anak itu sudah lezat.
"Maafkan Papa ya, baru bisa mengajakmu makan di tempat seperti ini," ucap Regi.
"Gak apa-apa," sahutnya dengan polos, entah kenapa melihat makanan dihadapannya itu lagi-lagi pikirannya teringat dengan sosok ibunya.
"Kira-kira, kapan Ibu bisa keluar?" tanya Dona tiba-tiba.
"Doakan saja semoga cepat keluar," sahut Regi.
"Semoga saja, agar Ibu bisa merasakan makanan yang kita makan," ucap Dona.
Regi tertegun sejenak, meskipun dibesarkan dengan penuh keterbatasan tapi anak itu tidak rakus, ia selalu memikirkan orang disekitarnya, bahkan untuk sekolah saja Dona terbilang telat, seharusnya seusianya sudah menginjak jenjang SMP tapi Dona masih duduk dibangku SD, karena suatu hambatan ekonomi.
"Sayang, setelah urusan ini selesai, Papa janji akan memperbaiki semuanya, termasuk fasilitas kamu dan ibumu nanti," ucap Regi.
"Makasih ya, sudah sayang sama Dona dan Ibu," sahut anaknya itu tanpa dendam meskipun ia tahu sudah ditinggalkan dengan waktu yang cukup lama.
Regi menatapnya dengan lama, meskipun dalam keadaan mencekam seperti ini, namun lagi-lagi kepolosan dan ketulusan hati Dona membuat hatinya tersentuh dari apapun kata-kata mutiara yang paling indah.
☘️☘️☘️☘️☘️
Sore itu, Dr Rendra menemui Ardina tanpa perawat, entah apa yang ingin di lakukan dokter mudah itu, namun di dalam hati kecilnya ia ingin bicara dari hati ke hati dengan pasiennya itu.
“Bu Ardina,” ucapnya pelan, “kalau saya turunkan sedikit dosis obat… apakah Anda sanggup menjaga diri?”
Ardina mengangkat kepala perlahan. Tatapannya jernih. Terlalu jernih untuk seseorang yang dianggap rapuh.
“Saya hanya ingin tetap bisa berpikir,” jawabnya jujur.
Dokter Rendra menutup mapnya. “Kalau begitu,” katanya lirih, “kita sama-sama diam.”
Ardina mengangguk, Rendra pun tersenyum lega, niatnya membantu akhirnya berjalan tanpa sepengetahuan siapapun, karena ia tidak bisa berada di jalur yang salah dan hal itu akan membebani hidupnya sebagai seorang dokter yang semestinya menjaga pasiennya.
Dan sejak hari ini, laporan medis Ardina ditulis dua versi. Satu resmi. Satu disimpan, dan hal itu benar-benar membuat Rendra merasa lega dengan keputusan yang diambil dengan cara diam-diam ini.
"Baiklah Bu, Ardina, kali ini kita tetap menjalankan tugas seolah semuanya berjalan sesuai kemauan mereka," ucap Rendra dengan pelan.
Ardina hanya tersenyum tanpa mengeluarkan suara, Rendra pun mulai meninggalkan kamar Ardina sebelum akhirnya suasana terlihat lebih aman.
☘️☘️☘️☘️☘️
Siang harinya, Regi akhirnya datang, Ardina tampak lemah. Bahunya jatuh. Wajahnya pucat, Regi pun sempat hancur melihat Ardina yang sepertinya sedikit memburuk padahal dua hari lalu sudah menunjukkan kemajuan.
"Din, kau baik-baik saja?" tanya Regi.
Ardina diam dengan tatapan kosong, karena melihat kondisi Ardina yang dibilang kambuh suster mengajak Dona keluar tanpa menyapa dulu sang Ibu.
Namun ketika Dona diajak keluar sebentar oleh suster, Ardina berbisik cepat, nyaris tanpa gerak bibir.
“Ayahmu sedang menekan RSJ.”
Regi membeku, dadanya bergetar hebat melihat diri Ardina yang sepertinya tidak sedang sakit.
“Ada yang main di balik obatku,” lanjut Ardina. “Kalau aku terlihat terlalu baik, aku akan dikurung lebih lama.”
Regi mengepalkan tangan. Satu nama muncul tanpa perlu disebut.
“Halik…”
“Jangan lawan sekarang,” potong Ardina. “Kumpulkan bukti. Aku akan bertahan di sini.”
Untuk pertama kalinya, Regi melihat Ardina bukan sebagai korban, melainkan sekutu yang terluka, dengan sadar ia memerankan perannya meskipun terkurung di dalam penjara rumah sakit jiwa.
"Din, makasih banyak ya, sudah mau berjuang dan pintar di tempat yang seperti ini," ungkap Regi dengan mata yang mulai berembun.
"Jangan menangis," ucap Ardina pelan. "Aku sudah kenyang dengan tangisan."
Regi menatap wanita itu baik-baik, ingin rasanya tangan kokoh itu memeluk, sekedar untuk menguatkan, tapi ia sadar akan kesalahan yang terlalu besar, menumpuk seperti gunung.
"Din, kamu wanita dan ibu yang hebat, dalam keadaan seperti ini kamu tahu caranya berjuang menghadapi musuh, makasih sudah melakukan itu demi Dona," ungkap Regi.
"Aku hanya ingin putriku selamat dari cengkraman manusia biadab itu," sahutnya meskipun tanpa menoleh ke arah Regi.
Regi pun mengangguk lega, dan setelah pertemuan ini ia paham dengan tugas yang begitu berat, karena tidak mudah menelusuri bukti diatas yang punya kuasa.
"Aku akan berjuang, untuk mencari bukti itu," ucapnya akhirnya.
Bersambung ....
Pagi semua ....
Semoga suka ya!
itulah bodo*ñy km hakim.km terlalu sibuk mencari kesalahan2 org lain.tp km tk pernah melihat bgmn dirimu di mata orang lain.km hny menumpuk penyakit hati.tunggu saja dona yg bakal menyerang balik mentalmu. ku harap km g punya muka tembok d mau bercermin setlhny.klo yg ku mau sih km ngerasain tertekan dg penyesalan d rasa bersalh yg sgt amat besar am dona d dina ma regi jg.kr km tk lbh bk dr regi