Hidup untuk yang kedua kalinya Selena tak akan membiarkan kesempatannya sia-sia. ia akan membalas semua perlakuan buruk adik tirinya dan ibu tirinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon aulia indri yani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
CHAPTER 33
Flashback...
Selama beberapa bulan ini Ana memperhatikan Wirya yang tampak jarang pulang atau sering pulang terlambat.
Namun Ana selalu berpikir positif bahwa suaminya, Wirya sedang mengalami pekerjaan yang banyak. Karena sejak menikah dengannya—perusahaan Kembali jaya ke masa.
Tapi ada kejanggalan jauh di lubuk Ana. Bahwa suaminya memiliki simpanan diluar sana.
Karena kerap sekali Ana menemukan struk pembelian produk pakaian wanita dan pakaian anak perempuan. Tak hanya itu, ada struk lainnya seperti bekas membeli makanan dan mainan yang terselip di kantung jas Wirya.
Apakah simpannya sudah memiliki seorang anak?
ponsel berdering membuyarkan lamunan Ana. Tangannya masih menggenggam berbagai bukti hasil perselingkuhan suaminya, ibunya menelpon. Ia segera mengangkatnya.
Mengatakan kepadanya untuk kemari ada hal penting yang harus dibicarakan.
Ana menutupnya, memasukkan bukti struk itu kedalam laci. Sebelum keluar dari kamarnya—anehnya ibunya tak pernah menyuruhnya terburu-buru untuk datang kerumah.
"Selena, mau ikut ibu?" tanyanya melihat putrinya sedang bermain boneka diruang tamu.
Selena menggeleng pelan, ia ada kelas bimbingan belajar bahasa Inggris dan Jerman di tempat sekolahnya.
"Baiklah, Althea akan menjagamu. Ibu hanya sebentar kerumah nenek Winona dan Kakek Nathaniel.. Ibu akan kembali." ia berjongkok mencium kening Selena dengan lembut
Sebelum menegapkan tubuhnya pergi dari rumahnya untuk kerumah orang tuanya.
Selena menatap kepergian ibunya. Ia bingung mengapa ibunya tampak terburu-buru, namun yang pasti hari ini sangatlah penting.
Tak lama kepergian sang ibu, Ayahnya datang pulang bekerja—tumben sekali pulang awal tanpa terlambat.
Senyum Wirya merekah melihat Selena diruang tamu. Rasa letih nya berkurang karena melihat putri kandungnya tampak fokus menonton televisi.
"Sedang apa sayang?" ia mencium lembut pipi Selena membuat gadis itu tersenyum.
"Sedang siap-siap pergi bimbingan belajar bahasa ayah." sahutnya semangat, ingin membuat ayahnya bangga tampak jelas di matanya.
Wirya tersenyum senang, mengelus rambut Selena karena begitu semangat dalam hal belajar. Ia melirik sekitar ruangan, cemas mengapa istrinya belum menampakkan diri.
"Mencari ibu? Ibu pergi kerumah nenek Winona dan Kakek Nathaniel." ucap Selena memberitahu, membuat alis Wirya mengerut samar
Mengapa Ana pergi kesana? Sebelumnya wanita itu akan memberitahu dirinya jika ingin kemana-mana. Wirya kembali berdiri, ingin menjemput Ana namun saat tiba di gerbang sebuah taksi berhenti tepat dihadapannya—Evelyn keluar dari sana.
Mata Wirya membelakang, tak menyangka Evelyn begitu berani datang kerumahnya. Ia segera mendekati wanita itu. "Kenapa kau kemari? Ini tempat berbahaya bagi kita berdua." bisiknya dengan desak.
Evelyn hanya cemberut, memutar bola matanya kesal. "Aku merindukanmu, apa aku tidak boleh menghampirimu?"
Wirya menggeram kesal, ini adalah waktu yang tidak tepat untuk melampiaskan rasa rindu dan juga apapun itu.
"Ayah? Itu siapa?" Selena sudah berdiri di belakang Wirya, kepalanya miring ingin tahu siapa wanita itu.
Evelyn hanya tersenyum ramah, bahunya berjongkok menghadap Selena. Ia berbisik "Aku wanita yang ayah kau cintai sayang." bisiknya lembut, hampir seperti madu di teteskan racun berbisa.
Raut Selena menjadi muram, ia belum mengerti tentang perselingkuhan. Namun ia tidak menyukai bagaimana ayahnya membagi cintanya dari ibunya dengan wanita lain.
"Sayang, jangan dengarkan. Kau harus pergi ke bimbang belajar kan? Ayo pergilah nanti kamu terlambat." Wirya merangkul bahu Selena untuk ke arah mobilnya, dimana sopir sudah menunggu.
Selena hanya diam, berjalan memasuki mobil. Mata kecilnya melirik kebelakang, menatap wanita yang bersama ayahnya itu. Ia tidak menyukainya, terlihat aura yang dibawakan tanpa tidak mengenakkan dibenak Selena.
Pintu tertutup. Supir membawa Selena ke sekolah untuk bimbingan bahasa. menyisahkan Wirya dan Evelyn disana yang terdiam saling menatap.
"Ayo kita bicara didalam." ajak Wirya tanpa menuntun tangan Evelyn, sudah berjalan lebih dulu kedalam rumah.
Karena jika berbicara diluar akan bahaya. Semua orang akan menatapnya dengan tatapan curiga.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Ana turun dari mobilnya. Melihat keadaan rumah orang tuanya dengan perasaan tidak enak, seperti ada hal buruk didalam sana meski ia sendiri tidak tahu apa-apa.
Bisa jadi apa yang di ingin bicarakan oleh ibunya adalah informasi sangat penting. Ia membuka pintu mobil, saat memasuki halaman tidak ada pembantu ataupun satpam berjaga di area luar.
Ia melihat mobil, mobil ayah mertuanya. Langkahnya hati-hati memasuki kedalam rumah, sepi dan terlalu hampa.
Saat sampai diruang tamu, ia berhenti dengan cepat. Bau amis dan gelak tawa memenuhi ruang tamu, bersembunyi dibalik tirai dan dinding.
Matanya menyipit melihat sesuatu, Ayah mertuanya—berdiri memegang pistol dengan tangan berlumuran darah.
Mata biru Ana membelalak—membulat sempurna dengan pupil matanya bergetar. Nafasnya tercekat serasa dicekik, nafasnya memburuk dengan tubuhnya bergetar.
Melihat kedua orang tuanya berlumuran darah dilantai karena ayah mertuanya—Wijaya membunuhnya.
"Maaf Nathaniel.. Atau bisa kusebut, maaf sahabatku. Aku tidak bisa berbagi aset denganmu, Kerja sama kita berakhir sampai sini. Selamat tinggal, surga menantimu kawan lama." ia berjongkok, mengamati mata biru Nathaniel yang kosong tanpa kehidupan.
"Tidak.." lirih Ana, menyangkal semua ini. Ia mundur—tanpa sengaja menabrak vas bunga disana memicu perhatian Wijaya.
Mata Ana membelalak, tubuhnya gemetar tidak terkendali. Ia ketahuan, ia mundur sebelum akhirnya berlari pergi—ia akan melaporkan kejahatan ayah mertuanya dan memutuskan pernikahan ini.
Wijaya menggeram marah, ia bangkit. Rencananya terbongkar, ia berlari cepat mengejar Ana.
"Jangan lari menantu!"
Namun Ana sudah berhasil memasuki mobilnya. Tangannya gemetar hebat saat ia memasuki kunci mobil, mobilnya diketuk keras oleh Wijaya yang menyuruhnya turun.
"Kau pembunuh! Kau pembunuh!" jerit Ana, pikirannya kacau dengan adrenalin yang membuat tubuhnya gemetar hebat.
Ana membanting stir mobilnya, berbelok dengan tajam dihalaman rumahnya saat Wijaya menghalangi jalannya, ia menekan kuat gas mobilnya—membuat Wijaya tertabrak dan kakinya terlindas mobil.
Raungan kesakitan dan sumpah serapah dari mulut Wijaya menggema. Tangannya terangkat seolah ingin mengejar wanita itu.
"Tunggu kau Ana!"
Selama perjalanan Ana menangis. cengkeramannya di stir mobil mengerat hingga kukunya memutih.
Kedua orang tuanya telah tiada. Seharusnya ia lebih cepat datang kemari namun semuanya terlambat.
Ana mengambil ponselnya—mencari nomer di kontaknya, saat terhubung ia langsung berbicara tanpa jeda dan nafas yang baik.
"Kakak aku mohon segeralah pulang ke Australia! Ayah dan ibu tiada.. Tolong aku, cepat! Mereka.. Mereka semua dibunuh!" suara Ana gemetar, meminta pertolongan yang satu-satunya kerabat yang paling dekat dengannya.
Panggilan terputus, sinyal mengalami gangguan. Mata Ana membelalak frustasi. Ia melempar kuat ponselnya ke sisi kursi disebelahnya.
Matanya menoleh kebelakang—berharap ayah mertuanya tidak mengejarnya, meski Ana tahu pria itu masih hidup. Dan akan ada hal terjadi buruk selanjutnya.