"Aku ini gila, tentu saja seleraku harus orang gila."
Ketika wanita gila mengalami Transmigrasi jiwa, bukan mengejar pangeran dia justru mengejar sesama orang gila.
Note : Berdasarkan imajinasi author, selamat membaca :)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mellisa Gottardo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
perdebatan manis
Sampai di paviliun, Xui langsung tidur karena kelelahan. Semua barang-barang miliknya masih berantakan di kamar, Rui dan Ruby juga merasa lelah padahal hanya menghadiri acara seperti itu saja.
"Ruby, aku ada urusan di ruang kerja." Ucap Rui.
"Urusan apa?." Tanya Ruby.
"Untuk bisa merebut posisi putra mahkota, aku harus memiliki posisi layak agar bisa kembali memiliki hak waris." Ujar Rui.
"Bukankah kamu pangeran? memangnya perlu posisi apa lagi?." Heran Ruby.
"Aku Pangeran hanya sebatas darah saja, sebagai kedaulatan atau kedudukan aku nyaris di hapuskan." Ucap Rui.
"Lalu? apa yang akan kau lakukan sekarang?." Tanya Ruby.
"Aku mengincar posisi Jendral utama, untuk bisa naik ke posisi itu. Aku akan membawa semua pasukanku ke Istana dan memberikan kelayakanku mengamankan perbatasan dan wilayah Fanglin." Ucap Rui.
"Jendral? itu bagus juga, tapi ada syaratnya." Ucap Ruby.
"Syarat?." Bingung Rui.
"Kemana pun kau bertugas, seberbahaya apapun tempatnya. Kau harus selalu membawa aku dan Xui, kau tidak boleh lepas dari genggaman ku." Ucap Ruby, menyentuh jakun Rui dengan genit.
"Tentu, itu bukan hal sulit." Jawab Rui.
"Ehh, kau langsung setuju? biasanya pria akan mengatakan itu berbahaya dan alasan lainnya untuk menolak." Ucap Ruby.
"Kenapa? padahal Medan perang bagus untuk menambah pengalaman Xui dan dirimu." Bingung Rui.
"Hahahaha, aku lupa jika kau orang gila." Ruby tertawa.
"Kau tidak membencinya kan?." Rui menunduk, mengecup kening Ruby.
"Astaga kau jadi manis begini ya." Ruby tersipu.
"Jadi kau setuju dengan rencanaku?." Ujar Rui.
"Ya, kita bisa tinggal di paviliun ini dan menjadi keluarga Jendral muda." Ruby tersenyum.
"Kalau begitu, aku akan mendapatkan posisi itu segera." Ucap Rui.
"Sebentar, sebenarnya aku menginginkan sesuatu." Lirih Ruby.
"Apa? aku akan mendapatkannya untukmu, setelah ini aku akan mendapatkan jatah uang sebagai Pangeran." Ucap Rui.
"Bukan tentang uang, aku ingin meminta waktumu." Ucap Ruby.
"Ah untuk nanti malam? tentu saja aku__
"Heyy! buang otak kotormu itu, aku meminta waktu untuk kita liburan keluarga." Ruby menutup mulut Rui.
"Liburan?." Rui terdiam.
"Ya, aku ingin kita mengukir kenangan hangat. Apalagi hubunganmu dengan Xui masih canggung, aku ingin kalian jadi lebih dekat." Ucap Ruby, berusaha menjadi penengah.
"Aku merasa sudah dekat." Rui tidak sadar.
"Benarkah? kalau begitu berapa kali kau sudah memeluk dan mencium Xui?." Tanya Ruby.
"Apa?! mana mungkin aku melakukan itu." Kaget Rui.
"Kenapa?." Bingung Ruby.
"Dia laki-laki, dan lagi dia sudah besar. Tidak sepantasnya aku melakukannya." Ucap Rui.
"Kenapa? mau besar atau sudah kakek-kakek sekalipun, dia tetap anakmu. Tidak ada salahnya kau memeluk dan mencium keningnya setiap hari. Kau harus menebus waktu yang terlewat, sejak kecil Xui tidak mendapatkan kehangatan itu. Kau masih memiliki kesempatan untuk memberikannya, jangan buang kesempatan itu hanya karena ego." Ucap Ruby, memberi nasihat.
"Sungguh... ini hal baru bagiku, dulu meksipun aku pernah dekat dengan Kaisar. Aku tidak pernah merasakan pelukan atau ciuman, hanya sebatas berbincang dan makan bersama." Jujur Rui.
"Apa kau ingin menjadi sosok Ayah yang sama dengan Ayahmu?." Tanya Ruby.
Deg.
Menjadi Ayah yang sama dengan Ayahnya, Rui termenung. Dia menyadari satu hal, dia membenci Ayahnya. Tapi kenapa dia bersikap seperti Ayahnya setelah menjadi Ayah, Rui kebingungan.
"Orangtua pernah menjadi anak, tapi anak belum pernah menjadi orangtua. Karena itu, seharunya kau tau apa yang terbaik untuk seorang anak, mengingat apa yang kau inginkan saat kecil. Coba kau ingat, apa saat kecil kau benar-benar tidak menginginkan pelukan dari Ayahmu?." Tanya Ruby, menatap dengan lurus.
"Tentu.... aku menginginkannya." Lirih Rui.
"Benar kan, sampai sebesar ini pun perasaan itu masih ada. Kenapa? itu lah uniknya ikatan darah antara Ayah dan Anak. Coba bayangkan, berapa kali Xui menginginkan pelukan dan gendonganmu? aku berharap meskipun kita gila, kita tetap bisa menjadi orangtua yang baik." Ucap Ruby.
"Aku mengerti, terimakasih sudah memberitahuku." Rui tersenyum.
"Aku tau kau bisa melakukannya, meskipun aku sering bersikap hangat pada Xui. Ungkapan cinta seorang Ayah dan Ibu itu tetap berbeda, aku mohon padamu untuk memberikan peran Ayah dengan sebaik-baiknya pada Xui." Ucap Ruby, penuh harap.
"Aku tau kau menyayangi Xui, tapi alasan apa kau begitu ingin aku sepertimu?." Tanya Rui penasaran.
"Aku hanya ingin kalian berdua tau kehangatan sebuah cinta yang tulus, sebelum Xui menikah dan memiliki kehidupan sendiri. Waktunya tinggal sedikit, aku harap kau tidak menyianyiakan kesempatan itu." Jawab Ruby.
"Aku akan berusaha, terimakasih Ruby." Ucap Rui.
"Sama-sama, nah coba katakan aku mencintaimu." Ucap Ruby mengedipkan mata.
"Aku mencintaimu." Ucap Rui tersenyum manis.
"Lagi, yang lebih penuh perasaan." Ruby, memeluk Rui dengan penuh binar.
"Aku mencintaimu, istriku." Ucap Ruby, menatap Ruby dengan tatapan menggoda.
"Aakkkhhhhhh aku nyaris mati karena ketampananmu." Ruby merosot terduduk dengan dramatis.
"Hahahaha, kau selalu saja bertingkah." Rui menggendong Ruby, dia terhibur.
"Nah mulai sekarang itu adalah kata mantra yang wajib di katakan setiap hari." Ucap Ruby.
"Baiklah." Jawab Rui.
"Bahkan pada Xui juga, aku selalu melakukannya." Ucap Ruby.
"Apa? aku? mengatakan itu pada Xui?." Kaget Rui.
"Kenapa? memangnya kau tidak mencintai anakmu?." Lirik Ruby.
"Bukannya tidak mencintai, hanya saja itu terlalu intim untuk hubungan Ayah dan Anak." Ucap Rui.
"Tidak juga, tergantung dengan pemikiran apa kau mengungkapkannya. Cinta Ayah itu berbeda dengan cinta kekasih, memangnya kau tidak bisa membedakan itu?." Heran Ruby.
"Yaa... aku akan mencobanya." Rui tertekan.
"Kau tidak ikhlas." Sinis Ruby.
"Aku akan melakukannya untuk keluarga kita." Ucap Rui, tegas.
"Keluarga kita? aku suka mendengarnya." Ruby tersenyum.
Rui menggendong Ruby ke ruangannya, akan memakan waktu jika berbincang dengan Ruby. Lebih baik di bawa saja, dia bisa mendengarkan ocehan Ruby sambil bekerja.
Ruby duduk di pangkuan Rui, Rui bekerja dengan serius. Dia mendapat laporan dari prajurit bayangan, apa saja yang perlu dia persiapan untuk membungkam mulut para pejabat yang hendak menentangnya menjadi jendral.
"Hehehe aku suka duduk disini." Ucap Ruby, tersenyum manis.
"Kau bisa duduk sepuasmu." Jawab Rui.
"Sepertinya kita butuh pelayan dapur dan lain-lain, sudah waktunya kita membuat Paviliun ini menjadi kediaman bangsawan kan?." Ujar Ruby.
"Benar juga, untuk pengawal dan penjaga akan menggunakan pasukan milikku." Ucap Rui.
"Bagaimana jika kita membuat Barak pasukan di sisi timur? di sana masih ada lahan kosong yang masih menjadi hutan, kita bisa mengisi Barak itu dengan Pasukan biasa." Ucap Ruby.
"Kenapa pasukan biasa?." Bingung Rui.
"Pasukan elit harus di sembunyikan." Ucap Ruby.
"Aku mengerti, jumlah keseluruhan pasukan yang ada di dimensi ruang sekitar 100.000 dimana pasukan elit hanya 40.000 pendekar. Lainnya pendekar biasa yang kuat, mereka mungkin setara prajurit istana tapi tetap saja biasa dimataku." Ujar Rui.
"Wah banyak sekali ya, mustahil menempatkan 60.000 pasukan di barak." Ucap Ruby.
"Tenang saja, besok aku akan membawa 60.000 pasukan itu ke Istana. Jika aku menjadi jendral pasti Sebagian dari mereka akan di kirim ke perbatasan." Ucap Rui.
"Aku mengerti, semoga berhasil." Ruby tersenyum.
"Sudah larut, ayo tidur. Besok banyak yang harus dilakukan, apa yang akan kau lakukan besok?." Tanya Rui.
"Aku ingin tidur saja, malas." Jawab Ruby.
"Apapun untukmu." Rui menggendong Ruby ke kamar.
Mereka mandi bersama dan istirahat. Rui memeluk Ruby dengan erat, rutinitas yang selalu dia lakukan selama ini. Dia mungkin lupa cara mengungkapkan cinta itu bagiamana, tapi Rui yakin Ruby akan mengajarkan itu padanya.