Hidup Jema berubah sejak ayahnya menikah lagi saat ia kelas 6 SD. Sejak itu, ia tinggal bersama ibu tiri yang semena-mena dan semuanya makin memburuk ketika ayahnya meninggal.
Saat SMA, ibu tirinya menikah dengan seorang duda kaya raya yang punya tiga putra tampan. Jema berharap hidupnya membaik… sampai ia melihat salah satu dari mereka: Nathan.
Musuh bebuyutannya di sekolah.
Cowok arogan yang selalu membuat hidupnya kacau.
Dan sekarang, jadi saudara tirinya.
Tinggal serumah membuat semuanya jadi lebih rumit. Pertengkaran mereka semakin intens, tetapi begitu pula perhatian-perhatian kecil yang muncul tanpa sengaja.
Di antara benci, cemburu, dan konflik keluarga perasaan lain tumbuh.
Perasaan yang tidak seharusnya ada.
Perasaan yang justru membuat Jema sulit bernapas setiap kali Nathan menatapnya lebih lama daripada seharusnya.
Jema tahu ini salah.
Nathan tahu ini berbahaya.
Tapi hati tetap memilh bahkan ketika logika menolak.
Karena siapa sangka, musuh bisa menjadi cinta pertama?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Izzmi yuwandira, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Malam dirumah Chandra
Setelah berbincang cukup lama, Om Chandra akhirnya mengajak mereka untuk makan malam di rumahnya.
“Aku sudah siapin semuanya. Kamu ajaklah anak-anak untuk bersiap-siap,” ucapnya pada ibu Jema. “Anak-anakku juga pasti sudah menunggu kalian.”
Ibu pun mengangguk dan segera menyuruh ketiga putrinya untuk berganti baju.
Tak lama kemudian, mereka berangkat menggunakan mobil mewah milik Om Chandra. Sepanjang perjalanan, Jema lebih banyak diam, memandangi jalanan dari balik kaca jendela.
Mobil itu akhirnya berhenti di depan sebuah gerbang besar berwarna hitam doff, dengan ukiran besi yang tampak kokoh dan elegan. Gerbang tersebut terbuka perlahan, memperlihatkan halaman rumah Om Chandra yang begitu luas.
Rumah itu berdiri megah dengan gaya modern klasik. Dindingnya didominasi warna krem gading, berpadu dengan pilar-pilar tinggi yang menjulang di bagian depan. Lampu-lampu taman berderet rapi di sepanjang jalan masuk, memancarkan cahaya kekuningan yang hangat.
Halamannya sangat luas, dipenuhi rumput hijau yang terawat sempurna. Di sisi kanan, terdapat taman bunga dengan berbagai warna—mawar, lili, dan anggrek—tersusun rapi seolah dirawat oleh tangan profesional. Di tengah taman, sebuah air mancur kecil mengalir tenang, menambah kesan sejuk dan damai. Pohon-pohon rindang berdiri di beberapa sudut, memberi keteduhan alami.
Di sisi kiri rumah, terlihat garasi besar dengan beberapa mobil terparkir rapi. Jalan setapak berbatu alam mengarah ke pintu utama rumah, yang terbuat dari kayu jati berukir halus, dihiasi lampu gantung kristal yang menyala lembut.
Jema menelan ludah pelan. Rumah ini bukan sekadar besar—rumah ini menunjukkan kemewahan yang tenang, berkelas, dan penuh wibawa.
Rumah seseorang yang jelas bukan orang sembarangan.
Jema sedikit tertegun. Benarkah ia akan tinggal di rumah semewah ini? Kedua saudarinya tampak kegirangan, mata mereka berbinar penuh antusias. Sementara itu, Om Chandra dan ibu berjalan beriringan, tangan mereka saling menggenggam dengan mesra saat melangkah masuk ke dalam rumah.
Jema justru tertinggal di belakang. Langkahnya pelan, ragu. Ia tidak tahu harus berekspresi seperti apa—antara kagum, canggung, dan perasaan asing yang perlahan menyelinap di dadanya.
Begitu pintu utama terbuka, bagian dalam rumah itu langsung menyambut mereka dengan kemewahan yang menenangkan.
Ruang foyer luas terbentang dengan lantai marmer mengilap berwarna putih gading, dihiasi garis-garis emas tipis yang terlihat elegan. Di atasnya, sebuah lampu gantung kristal besar menjuntai anggun dari langit-langit tinggi, memantulkan cahaya lembut ke setiap sudut ruangan. Cahaya itu membuat rumah terasa hangat, bukan dingin seperti rumah besar kebanyakan.
Dinding-dindingnya didominasi warna krem lembut dengan sentuhan panel kayu cokelat tua, memberikan kesan klasik namun tetap modern. Beberapa lukisan berbingkai emas tergantung rapi—lukisan pemandangan dan karya seni abstrak yang tampak mahal, tapi tidak berlebihan.
Di sisi kanan, ruang tamu utama terbuka luas. Sofa-sofa besar berwarna abu-abu muda tersusun rapi mengelilingi meja kaca dengan rangka emas. Karpet tebal bermotif sederhana membentang di tengah ruangan, membuat langkah kaki terasa empuk. Aroma samar kayu dan wewangian ruangan tercium lembut, menambah kesan nyaman dan eksklusif.
Tak jauh dari sana, terlihat ruang keluarga yang lebih santai. Sebuah televisi besar menempel di dinding, diapit rak buku tinggi berisi koleksi buku dan pajangan bernilai seni. Jendela-jendela besar dengan tirai tipis membiarkan cahaya alami masuk, menghadap langsung ke taman belakang.
Di bagian tengah rumah, tangga megah dengan pegangan kayu mengilap dan besi ukir melengkung ke lantai atas. Anak tangganya dilapisi karpet halus berwarna senada dengan interior rumah, membuat setiap pijakan terasa senyap.
Sementara itu, ruang makan berada tak jauh dari sana—sebuah meja panjang dari kayu solid dengan kursi-kursi empuk tersusun rapi. Lampu gantung minimalis menggantung rendah di atas meja, menciptakan suasana hangat dan intim, seolah memang dibuat untuk makan malam keluarga.
Jema memandang sekeliling dengan diam. Semuanya terlalu indah, terlalu rapi, terlalu sempurna. Rumah ini jelas bukan hanya besar dan mahal—rumah ini punya rasa.
Dan justru karena itulah, Jema merasa semakin asing berada di dalamnya.
Om Chandra mempersilakan mereka untuk duduk di ruang tamu. Suasana terasa hangat, obrolan ringan mengalir dengan mudah, hingga suara langkah kaki terdengar dari arah pintu depan.
Seorang pemuda masuk dengan ransel masih tersampir di bahunya. Wajahnya segar, seperti baru pulang dari aktivitas seharian.
“Oh, Kevin baru pulang dari kampus,” ucap Om Chandra dengan nada bangga.
Kevin langsung menghampiri mereka. Ia menyalami ibu Jema dengan sopan, lalu tersenyum ramah pada ketiga gadis di hadapannya.
“Selamat malam,” ucapnya santai.
Pesona Kevin benar-benar sulit diabaikan. Tubuhnya tinggi menjulang—hampir menyentuh angka seratus sembilan puluh sentimeter. Kulitnya putih bersih, rahang tegas, dan senyumnya… terlalu ramah untuk diacuhkan. Senyum yang membuat siapa pun merasa nyaman dalam sekali tatap.
Cowok setampan ini bakal jadi kakak tirinya?
Sayang banget…
Kevin duduk dan ikut nimbrung mengobrol seolah mereka sudah lama saling mengenal. Candanya ringan, humornya cerdas, tidak berlebihan. Setiap ucapannya selalu berhasil mengundang tawa kecil. Kehangatannya terasa alami, bukan dibuat-buat.
Jema sempat berpikir—perempuan mana pun yang jadi pacarnya pasti akan diperlakukan seperti princess. Kevin terlihat seperti tipe laki-laki yang penuh perhatian, yang akan mendengarkan dengan sungguh-sungguh, bukan sekadar hadir.
Belum sempat Jema tenggelam lebih jauh dalam pikirannya, langkah kaki lain terdengar mendekat.
Seorang anak laki-laki muncul dari arah dalam rumah.
“Nah, ini namanya Jefran,” ucap Om Chandra. “Dia memang pendiam, jadi maklum saja ya.”
Detik itu juga tubuh Jema menegang.
Sosok itu… sangat familiar.
Jantungnya berdetak lebih cepat saat menyadari siapa yang berdiri di hadapannya. Jefran—siswa yang pagi tadi berdiri di lapangan basket, yang sempat menegurnya dengan nada dingin, yang mendengar jelas bagaimana Jema mengatai Nathan gila dengan suara lantang.
Jema tertegun. Kata-kata seolah tertahan di tenggorokan. Ia hanya bisa diam, menatap Jefran tanpa sadar.
Di sisi lain, Jefran juga memperhatikannya. Alisnya sedikit terangkat, jelas ia mengenali gadis itu. Ingatannya bekerja cepat—suara lantang, nada kesal, tatapan berani yang pagi tadi sempat mencuri perhatiannya.
Udara di antara mereka terasa aneh. Sunyi, tapi menekan.
Tatapan Jema dan Jefran saling bertemu.
Tak ada senyum.
Tak ada sapaan.
Hanya dua pasang mata yang saling menilai… dengan sinis.
“Dia bakal jadi kakak aku?” tanya Jefran tiba-tiba, memecah tawa yang sedang pecah di ruang tamu.
Suasana langsung berubah.
Semua obrolan terhenti.
Tatapan serentak mengarah pada Jema—jelas, karena jari Jefran menunjuk lurus ke arahnya.
Om Chandra dan ibu saling berpandangan sejenak, seolah memastikan satu sama lain.
“Ah iya,” ucap Om Chandra akhirnya. “Dia bakal jadi kakak kamu.”
“Namanya Jema,” sambung ibu dengan senyum tipis.
Tatapan Jema dan Jefran kembali bertabrakan. Kali ini lebih tajam, lebih panas.
Jefran jelas tidak terima. Baginya, gadis di hadapannya adalah orang yang berani mengatai kakak laki-lakinya dengan sembarangan.
Sementara Jema? Ia sama sekali tidak suka sikap Jefran yang sok dewasa, arogan, padahal usianya masih bocil.
“Papa nggak tau aja,” gumam Jefran pelan tapi tajam, “secerewet apa dia.”
“Mama juga nggak tau aja,” balas Jema tanpa mau kalah, “seberapa arogannya dia.”
Kevin mengernyit heran, lalu tertawa kecil. “Oh? Jadi kalian saling kenal?”
“Nggak kenal,” jawab mereka bersamaan, kompak—dan sama-sama ketus.
Kevin mengangkat alis. “Nah, itu justru bikin kita yakin. Kalian pasti pernah berinteraksi.”
“Tapi gedung SMA dan SMP kan lumayan jauh ya,” lanjut Kevin santai. “Kok bisa ketemu?”
Jema membuka mulut, bersiap menjawab.
“Iya,” Jefran langsung memotong, suaranya cepat. Ia jelas tak mau memberi celah. “Kami lihat pertandingan basket.”
“Iya, karena—”
“Karena kami diundang,” sela Jefran lagi, lebih tegas. “Pertandingannya cukup seru.”
Lalu ia menoleh ke Om Chandra. “Dan, Pa, aku udah lapar.”
Jefran berdiri seolah topik itu sudah selesai.
“Oh iya, iya,” kata Om Chandra. “Kalau begitu ayo kita makan malam.”
Mereka semua bergerak menuju ruang makan. Jema dan Jefran otomatis berjalan paling belakang, meninggalkan jarak tipis di antara langkah mereka.
“Kenapa lo kayaknya ketakutan?” sindir Jefran tanpa menoleh.
“Siapa yang takut?” Jema mendengus. “Gue nggak penakut.”
“Terus yang tadi itu apa?”
“Gue cuma minta,” ucap Jema tajam, “lo nggak usah ngomong sembarangan.”
Jefran berhenti mendadak, menoleh. “Lo pasti dimarahin, kan, kalau ketauan bergaul sama kakak kelas yang nggak bener?”
“Itu bukan urusan lo,” balas Jema ketus.
Jefran mendekat, lalu dengan sengaja menekan jari telunjuknya ke kening Jema—ringan, tapi merendahkan.
“Jaga mulut lo.”
Setelah itu, Jefran melangkah cepat menyusul yang lain, meninggalkan Jema berdiri dengan napas tertahan dan dada mendidih.
Kurang ajar banget tuh bocil.