Kakak dan adik yang sudah yatim piatu, terpaksa harus menjual dirinya demi bertahan hidup di kota besar. Mereka rela menjadi wanita simpanan dari pria kaya demi tuntutan gaya hidup di kota besar. Ikuti cerita lengkapnya dalam novel berjudul
Demi Apapun Aku Lakukan, Om
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Naim Nurbanah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 21
Gina menunduk sejenak, bibirnya bergetar, tapi akhirnya dia mengangguk pelan, seperti menyerah pada permintaan itu. Kino memeluk Gina dengan erat, bahunya bergetar menahan perasaan yang selama ini dipendam.
"Kamu tahu, Gina... kenapa aku bisa khilaf, kenapa aku tiba-tiba jadi melecehkan kamu? Karena wajahmu... mirip banget sama kekasihku yang sudah meninggal karena kecelakaan," suaranya hampir patah saat menjelaskan.
"Aku... aku cuma pengen bahagia lagi, kalau kamu mau jadi penggantinya."
Gina terpaku, matanya melebar mendengar pengakuan pria dewasa itu. Tuan Marcos, yang selama ini dia anggap dingin dan jauh, ternyata punya cerita kelam yang belum pernah dia dengar. Kabarnya, Kino hampir menikah, tapi semuanya hancur karena calon istrinya meninggal. Kini beban itu tertumpu pada Gina, tanpa ia sangka.
Gina menatap Kino sejenak, hatinya masih bergetar oleh kata-kata yang baru saja terucap.
"Lupakan omonganku barusan. Sekarang, kamu boleh menganggap aku kakak. Aku juga menganggap kamu adik," ucap Kino lembut sambil melepaskan pelukannya.
Matanya menatap tajam tapi hangat, seolah ingin memberi tahu bahwa ini bukan sekadar kata kosong. Gina menahan haru yang tiba-tiba memenuhi dadanya. Tatapan Kino membawa kenangan tentang kisah cintanya yang pernah ia bagi, membuat suasana jadi lebih berat namun juga menguatkan.
"Pak Kino, kalau tidak ada yang lain, aku permisi kembali bekerja," ujar Gina sambil buru-buru menarik diri dan melangkah pergi. Kino mengangguk, membiarkan Gina bergegas menuju ruangan bosnya, sebuah ruang yang kosong karena Tuan Marcos belum tiba sampai siang itu.
Namun, saat Gina keluar dari ruang tersebut, pemandangan yang berbeda menantinya. Di ambang pintu berdiri sosok pria tampan berotot, keningnya berkerut saat matanya menangkap seorang gadis keluar dari ruang kerja pribadinya. Tuan Marcos menghela napas berat lalu melangkah masuk, hanya untuk menemukan Kino sudah duduk tenang di dalam.
"Kino," panggil Tuan Marcos dengan nada yang sedikit tegang. Kino, yang terkejut melihat bosnya datang tiba-tiba, cepat-cepat berdiri dan menatap lurus.
"Iya, Bos! Ada perintah?" jawabnya, berusaha terlihat seolah tak terjadi apa-apa, walau hatinya berdebar kencang.
Aku memandang tajam ke arah seorang gadis yang baru saja keluar dari ruangan itu. Tatapan Tuan Marcos menusuk, seolah ingin merobek setiap lapisan kebohongan yang mungkin ku sembunyikan.
“Kamu bisa jelaskan semuanya? Atau aku yang akan menyelidiki sendiri?” suaranya berat, penuh intimidasi yang membuat udara di sekeliling kami seperti menebal.
Kino menghela napas pelan, wajahnya nyaris tak bergetar saat menjawab,
“Dia magang, Pak.”
“Lalu?” tanya Tuan Marcos, mata tajamnya tak lepas dari wajah Kino.
Kino mengangkat bahu, berusaha tetap tenang,
“Saya hanya menyarankan dia mendampingi Wanda saat bekerja di sini, Pak. Itu saja.”
Tuan Marcos mengangguk pelan, tapi tetap dengan tatapan waspada.
“Oke, panggil Wanda ke sini!” perintahnya tegas.
Kino bergegas meninggalkan ruangan, napasnya cepat, jantungnya seperti hampir meloncat keluar dari dada. Aku bisa merasakan ketegangan yang menyelimutinya, tapi keberuntungan berpihak padanya ketika Tuan Marcos memilih mempercayai jawabannya..
*****
"Apakah kamu ada kesulitan di hari pertama bekerja di perusahaan ini?” tanya Tuan Marcos, suaranya lembut namun ada tanya yang serius di baliknya. Mereka berdua saja di ruangan itu, sunyi kecuali suara ketikan keyboard di luar.
Wanda menghela napas kecil, matanya agak menghindar sejenak sebelum berkata,
“Lumayan, Om. Tapi kayaknya ada seseorang yang mulai merasa tersaingi sama aku.” Ia menggigit bibir bawahnya, berusaha memilih kata tanpa harus menjelekkan siapapun.
Tuan Marcos mengerutkan keningnya, lalu matanya berbinar mengenali siapa yang dimaksud Wanda. “Jangan terlalu dipikirkan, ya. Fokus saja pada pekerjaanmu.”
Wanda mengangguk pelan, senyum tipis mengembang di bibirnya, “Baiklah, Om. Aku mengerti.”
Tuan Marcos tersenyum lembut dan mengingatkan lagi, “Wanda, ingat ya. Kalau kita berdua seperti ini, kamu boleh panggil aku Om. Tapi kalau di depan karyawan lain, kamu harus tetap menjaga posisi sebagai bawahanku.”
Wanda mengangguk lagi, perasaan hangat terselip di dada mendengar itu, meski ada sedikit kegelisahan yang tak sepenuhnya hilang.
"Tentu saja, Om! Aku tidak akan lupa," Wanda mengangguk tanda mengerti.
"Baguslah! Sekarang kamu boleh bekerja lagi," kata Tuan Marcos akhirnya.
"Hem, tunggu dulu!" tiba-tiba suara pria dewasa dan matang itu menghentikan langkah Wanda.
Pria yang mengenakan jas kecoklatan itu mendekati Wanda yang masih berdiri mematung di ruangan itu. Kini, pria berkulit sawo matang dengan tubuh atletis tersebut melingkarkan tangannya ke pinggang ramping Wanda. Wajah Wanda memerah, campuran antara malu dan gugup yang sulit diungkapkan. Dalam hati, Wanda merasa campuran antara rasa cemas dan harap yang membuncah.
"Saat jam pulang, aku tunggu kamu di parkiran. Aku pikir, kamu pasti butuh pakaian kerja, bukan?" bisik Tuan Marcos. Wanda tersenyum lebar, merasa bahagia mendapatkan perhatian khusus dari seorang CEO seperti Tuan Marcos.
Wanda menoleh, memutar tubuhnya hingga wajahnya benar-benar menatap sosok pria matang itu, CEO Tuan Marcos. Matanya berbinar ingin tahu.
"Om, setelah beli pakaian kerja, om bawa aku ke mana lagi?" tanyanya sambil tersenyum manis. Tuan Marcos membalas dengan senyum lebar, menampakkan deretan gigi putih yang rapi. Tatapannya mengunci wajah Wanda, perlahan mengusap pipinya yang sudah dioleskan riasan tipis.
"Terserah kamu, mau aku ajak kemana," jawabnya santai, seolah sengaja membiarkan rasa penasaran tumbuh dalam hati gadis itu. Wanda mengerling, lalu dengan suara sedikit ragu namun penuh harap,
"Boleh aku ikut pulang ke rumah tinggal om Marcos?" Bola mata pria itu melebar, sekejap terkejut.
"Mau ngapain kamu ke rumahku? Jadi pelayan mungkin? Aku sudah punya banyak pelayan di sana," sahut Tuan Marcos, nada suaranya agak meninggi, menyingkirkan keinginan Wanda secepat kilat. Wajahnya berubah dingin, mengingatkan Wanda bahwa ada batas yang tak boleh dilanggar.
Wanda mengangkat alisnya, pandangan tajam tapi penuh tanya menatap Tuan Marcos yang terbaring di ranjang.
"Pelayan yang kau minta, sudah datang belum, Om?" suaranya mengalir lirih, tangan kecilnya tanpa ragu menyentuh lembut bibir pria itu.
Aroma tembakau yang pekat menyergap indra Wanda, membuat napasnya sesaat terhenti. Mata Tuan Marcos terpejam, bibirnya bergetar ringan menikmati sentuhan hangat itu. Wanda merasakan detak jantungnya makin cepat, lalu tanpa pikir panjang, bibir mungilnya menyatu dalam kecupan yang perlahan membakar ruang antara mereka. Dalam keheningan itu, Tuan Marcos menggumam pelan,
"Berani sekali, ya, kau melakukan ini di sini."
Suaranya berat, bercampur rasa ingin tahu dan gelora yang tak terucap. Wanda, seolah mendapat suntikan nyali dari angin malam, berjongkok perlahan, tangannya mulai bergerak penuh rasa ingin tahu dan keberanian. Tuan Marcos menyandarkan diri ke dinding, pandangannya tak lepas mengamati dengan penuh kekaguman sekaligus sedikit kebingungan. Di saat yang tak biasa itu, keduanya terbenam dalam kehangatan yang perlahan merambat tanpa kata.
Tuan Marcos menatap Wanda dengan mata yang mulai redup, dadanya berdebar cepat seiring rasa penasaran yang tiba-tiba mencuat dalam benaknya.
"Apa sebenarnya yang kamu inginkan, Wanda?" gumamnya pelan, mencoba meraba perasaannya sendiri yang entah mengapa semakin terseret dalam pusaran gadis itu.
Napas ku berat, suaraku serak,
"Aouhhh ini gila, Wanda! Kamu sudah memancing hasratku," ucapnya tergagap, tubuhnya sedikit melemas membiarkan sekretaris barunya menyentuh batas yang selama ini tak pernah ia bayangkan.
kau ini punya kekuatan super, yaaakk?!
keren, buku baru teroooss!!🤣💪