Doni, seorang koki berbakat yang kehilangan segalanya dalam kebakaran lima tahun lalu, tak pernah menyangka hidupnya akan berubah karena sebuah undian aneh: menjadi personal chef bagi Naira Adani aktris terkenal yang tengah terpuruk setelah perceraian dan skandal besar.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mardonii, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 13. PAGI YANG BERBEDA
..."Kadang, yang menyembuhkan bukan waktu... tapi seseorang yang diam-diam memasak rasa hidup untuk kita."...
...---•---...
Pagi itu berbeda. Doni merasakannya begitu ia masuk ke dapur pukul lima seperti biasa. Ada sesuatu di udara, semacam perubahan halus yang sulit dijelaskan tapi nyata. Mungkin rumah ini benar-benar hidup dengan irama penghuninya, dan semalam sesuatu telah bergeser.
Ia sedang memotong buah untuk smoothie bowl sarapan ketika mendengar langkah kaki. Bukan langkah berat Pak Hendra, bukan juga langkah cepat Ratna yang selalu terburu-buru. Langkah ini ringan, ragu-ragu, seperti seseorang yang tidak yakin boleh berada di sana.
Naira muncul di pintu dapur. Rambutnya masih lembap, diikat ponytail tinggi. Ia memakai kaus putih polos dan celana training abu-abu. Wajahnya tanpa riasan, matanya masih sedikit sembap, tapi ada warna di pipinya yang kemarin belum ada.
"Selamat pagi," sapanya dengan suara lebih cerah dari biasanya. "Boleh saya masuk?"
Doni menoleh, sedikit terkejut tapi berusaha tetap tenang.
"Tentu. Ini dapur Anda, saya cuma numpang kerja."
Naira tersenyum kecil dan melangkah ke arah meja dapur.
"Rasanya malah kebalik. Anda yang lebih sering di dapur ini daripada saya."
"Karena itu pekerjaan saya." Doni melanjutkan potongan stroberi. "Anda biasanya belum bangun sepagi ini."
"Tidak bisa tidur lagi setelah... tadi malam." Naira duduk di kursi, menyandarkan tangan di atas meja. "Tapi bukan karena mimpi buruk. Cuma... pikiran terlalu ramai."
"Ramai dengan apa?" tanya Doni tanpa menatap.
Naira diam sebentar, matanya mengikuti gerakan pisau yang memotong blueberi.
"Percakapan kita. Tentang sembuh. Tentang luka yang bukan kelemahan. Saya kepikiran terus sampai tidak bisa tidur."
Doni menaruh pisau, mengambil mangkuk besar untuk mencampur buah.
"Lalu, apa kesimpulannya?"
"Mungkin Anda benar. Mungkin saya tidak rusak, cuma sangat terluka." Suaranya pelan, seperti sedang meyakinkan diri sendiri. "Tapi rasanya tetap sama. Masih sakit. Masih seperti ada yang patah di dalam."
"Itu karena Anda baru mulai sembuh." Doni menuang Greek yoghurt ke blender. Ia menambahkan susu almond, madu, dan segenggam blueberi. "Tahap awal penyembuhan memang paling sakit. Seperti luka yang mulai menutup tapi masih sensitif. Sentuhan kecil pun bisa terasa perih."
Suara blender memenuhi dapur beberapa detik. Doni menuang smoothie ungu itu ke mangkuk, lalu menata potongan buah di atasnya dengan pola rapi: lingkaran stroberi, garis blueberi, taburan granola, irisan almond, dan sedikit madu di akhir.
"Ini smoothie bowl campuran berry." Ia mendorong mangkuk ke hadapan Naira. "Antioksidannya tinggi, bagus untuk mood dan energi. Manis tapi tidak berlebihan."
Naira menatap mangkuk itu lama, seperti menatap karya seni.
"Terlalu cantik untuk dimakan."
"Justru harus dimakan. Makanan yang cantik tapi dibiarkan percuma. Keindahan kadang justru karena sifatnya yang sementara."
Naira mengambil sendok, mencicipi sedikit. Matanya sedikit melebar.
"Enak. Creamy tapi segar. Manisnya pas."
"Rahasianya di yoghurt dan madu. Seimbang antara asam dan manis." Doni membuat satu mangkuk lagi untuk dirinya.
Mereka makan dalam diam yang nyaman. Hanya terdengar suara sendok menyentuh mangkuk dan kicau burung dari taman. Cahaya pagi mulai menembus jendela, menebar warna keemasan di lantai keramik dapur.
"Pak Doni," ujar Naira tiba-tiba. "Boleh tanya sesuatu?"
"Tentu."
"Resep nasi goreng kemarin malam. Bagaimana Anda tahu harus pakai minyak bawang merah? Detail kecil itu yang bikin rasanya mirip masakan Mama."
Doni tersenyum.
"Saya tanya Bu Tuti. Dia cerita tentang Ibu Anda, tentang cara beliau masak. Kalau saya mau bikin sesuatu yang berarti, saya harus paham konteksnya. Bukan cuma resep, tapi kenangan di balik resep itu."
"Jadi Anda riset tentang saya?"
"Lebih tepatnya riset tentang apa yang bikin Anda merasa aman lewat makanan." Doni mengambil sesendok granola. "Setiap orang punya makanan yang menenangkan karena terhubung dengan kenangan tertentu. Tugas saya menemukannya dan menghidupkannya lagi."
Naira menatapnya dengan ekspresi lembut.
"Anda tidak seperti koki lain yang pernah kerja untuk saya."
"Sudah banyak yang coba?" tanya Doni.
"Lima. Dalam enam bulan terakhir." Ia menghitung dengan jari. "Yang pertama koki Prancis, terlalu sombong. Dia marah karena saya tidak habiskan makanannya, katanya saya menghina seninya. Yang kedua koki Jepang, terlalu pendiam. Masakannya enak tapi tidak ada koneksi. Yang ketiga koki Italia, terlalu berisik. Semua topik selalu tentang dirinya sendiri."
"Yang keempat dan kelima?"
"Yang keempat resign setelah dua minggu. Katanya tidak tahan dengan suasana rumah yang... depresi. Yang kelima dipecat Ratna karena ketahuan jual foto-foto rumah saya ke media."
Doni berhenti makan.
"Serius?"
"Serius. Foto interior rumah, dapur, bahkan kamar saya. Dia jual lima juta ke tabloid gosip." Nada suaranya datar, tanpa emosi. "Sejak itu Ratna jadi sangat ketat. Semua disaring habis-habisan. Anda lolos karena latar belakang bersih dan ikut program resmi, bukan daftar langsung."
"Maaf Anda harus mengalami itu."
Naira mengangkat bahu.
"Konsekuensi jadi orang yang dikenal. Privasi itu kemewahan yang sudah tidak saya punya. Makanya kontraknya seketat itu. Larangan foto, larangan cerita. Ratna trauma sama kejadian itu."
"Saya tidak akan lakukan hal seperti itu." Suara Doni tegas. "Apa pun yang terjadi di rumah ini, tetap di sini. Saya janji."
Naira menatapnya, senyum kecil muncul di sudut bibirnya.
"Entah kenapa saya percaya. Mungkin karena cara Anda masak. Anda tidak masak untuk pamer, tapi untuk peduli. Itu kelihatan."
Mereka melanjutkan sarapan. Naira menghabiskan hampir seluruh mangkuknya, hanya menyisakan sedikit granola.
"Pak Doni," katanya sambil mendorong mangkuk kosong. "Bisa ajarin saya resep nasi goreng itu?"
Doni mengangkat alis.
"Anda mau belajar masak?"
"Iya. Saya cuma bisa mie instan dan telur ceplok. Mama dulu selalu masak untuk saya. Setelah Mama meninggal dan saya menikah dengan Rendra, semua diurus koki. Saya tidak pernah belajar. Tapi sekarang... saya ingin bisa masak makanan Mama sendiri. Supaya saya tidak perlu bergantung pada orang lain untuk merasakan kedekatan itu."
Ada ketulusan dalam suaranya yang membuat Doni tidak bisa menolak.
"Tentu. Kapan mau mulai?"
"Sekarang?" Naira terlihat sedikit ragu. "Atau terlalu mendadak?"
Doni melihat jam di dinding. Masih pukul enam pagi. Ia biasanya mulai persiapan makan siang pukul delapan. Masih ada waktu.
"Sekarang pas. Dapur masih sepi, tidak ada yang ganggu." Doni berdiri, mengambil sesuatu dari gantungan.
Saat ia berbalik, di tangannya ada dua apron. Satu untuknya, satu untuk Naira.
Di bawah cahaya pagi yang mulai terang, ekspresi Naira berubah. Ada kilau aneh di matanya, campuran antara antusias dan takut. Tangannya meremas ujung kaus.
"Pak Doni," suaranya bergetar. "Sebelum kita mulai, saya harus bilang sesuatu..."
...---•---...
...Bersambung...