NovelToon NovelToon
Terjebak Takdir Keluarga

Terjebak Takdir Keluarga

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama
Popularitas:44
Nilai: 5
Nama Author: Siti Gemini 75

Eri Aditya Pratama menata kembali hidup nya dengan papanya meskipun ia sangat membencinya tetapi takdir mengharuskan dengan papanya kembali

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Siti Gemini 75, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Antara Mama Dan Cita Cita

Bu Henny duduk termenung di balkon kamarnya, tatapannya kosong menyapu hamparan taman yang mulai remang ditelan senja. Pikirannya berkelana jauh, menyelami lorong-lorong masa lalu yang kelam, penuh luka yang nyaris membuatnya kehilangan akal sehat. Bayangan pahit itu datang silih berganti, menghantui setiap sudut ingatannya. Namun, ketika wajah Eri Aditya Pratama, putra semata wayangnya, hadir dalam benaknya, seberkas kekuatan kembali menyala. Eri, permata hatinya, masih sangat membutuhkan kasih sayang dan perhatiannya. Demi Eri, Bu Henny memantapkan diri untuk tegar, mengubur dalam-dalam setiap perih yang mendera.

Ini semua Bu Henny lakukan, semata-mata agar bisa membesarkan dan membahagiakan Eri, satu-satunya alasan ia bertahan. Meskipun jalan yang harus ditempuh tidaklah mudah, terjal dan penuh onak duri, Bu Henny tak pernah menyerah. Dengan perjuangan dan usaha yang tak kenal lelah, ia membanting tulang, memeras keringat, hingga akhirnya Eri bisa menempuh pendidikan di perguruan tinggi. Eri berhasil meraih gelar S1, dan kini, selangkah lagi, ia akan melanjutkan studinya ke jenjang S2 di kota Bandung.

Bu Henny menghela napas panjang, dadanya terasa sesak oleh beban yang tak terucapkan. Setiap kali menatap wajah Eri, ia seolah melihat cermin yang memantulkan wajah Prasetyo, suaminya, di masa muda. Wajah Eri memang sangat mirip dengan ayahnya, lelaki yang telah meninggalkannya sejak Eri masih berusia dua tahun. Luka itu masih menganga, terasa perih setiap kali disentuh.

Malam itu, seperti malam-malam sebelumnya, Pak Prasetyo, suaminya, pulang larut malam. Jam dinding sudah menunjukkan pukul dua dini hari ketika Bu Henny mendengar suara deru mobil memasuki halaman rumah. Dengan langkah gontai, ia bergegas membukakan pintu untuk suaminya.

"Pulangnya kok malam banget sih, Mas?" tanya Bu Henny lembut, berusaha menyembunyikan kekhawatiran yang berkecamuk di hatinya. Ia berharap, sapaan hangatnya dapat mengusir kekakuan yang belakangan ini seringkali menyelimuti hubungan mereka.

"Aku sibuk, banyak pekerjaan di kantor!" jawab Pak Prasetyo singkat, bahkan terkesan dingin. Tanpa menatap wajah istrinya, ia melangkah masuk, aura lelah terpancar jelas dari setiap gerakannya.

"Apa perlu aku buatkan minum, Mas? Mungkin teh hangat bisa sedikit menyegarkan?" tanya Bu Henny lagi, mencoba mencairkan suasana yang terasa membeku. Ia ingin mengembalikan kehangatan yang dulu selalu hadir di antara mereka.

"Tidak usah!" jawab Pak Prasetyo ketus, tanpa menoleh sedikit pun. Ia langsung menuju kamar mandi, meninggalkan Bu Henny yang terpaku di ambang pintu.

Bu Henny menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan gejolak aneh yang tiba-tiba menyeruak di dalam hatinya. Sikap dingin suaminya yang tidak seperti biasanya membuatnya bertanya-tanya. Ada apa gerangan? Mengapa Prasetyo berubah begitu drastis? Ini sudah hampir jam dua malam, dan tidak biasanya suaminya pulang selarut ini. Kecurigaan mulai merayap di benaknya, namun segera ditepisnya. Ia berusaha berpikir positif, mungkin Prasetyo benar-benar sedang dilanda kesibukan yang luar biasa.

Waktu terus berlalu, hari berganti minggu, minggu berganti bulan. Namun, sikap Pak Prasetyo tak kunjung berubah. Ia semakin sering pulang larut malam, bahkan tak jarang tidak pulang sama sekali. Komunikasi di antara mereka semakin menipis, nyaris tak ada lagi percakapan hangat, apalagi canda tawa. Bu Henny merasa seperti orang asing di rumahnya sendiri.

Malam itu, Pak Prasetyo kembali pulang larut malam. Namun, kali ini, Bu Henny menyaksikan pemandangan yang menghancurkan seluruh sendi kehidupannya. Ia tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Saat itu, Pak Prasetyo pulang dengan seorang wanita cantik, seorang perempuan muda yang bergelayut manja di pundak suaminya. Tawa renyah perempuan itu menusuk jantung Bu Henny, merobek-robek setiap jalinan cinta yang selama ini ia rajut dengan susah payah.

"Siapa perempuan ini, Mas?" tanya Bu Henny dengan suara bergetar, berusaha mengendalikan emosi yang nyaris meledak. Perasaannya campur aduk, antara marah, sedih, kecewa, dan tidak percaya.

"Aku Dinda, kekasih Mas Prasetyo!" jawab perempuan itu dengan nada sinis, tanpa sedikit pun rasa malu. Ia bahkan semakin mengeratkan pelukannya di lengan Pak Prasetyo, seolah menantang Bu Henny untuk melawan.

Bu Henny tersentak mendengar pengakuan perempuan itu. Dunianya seolah runtuh seketika. Ia menatap suaminya, mencari jawaban di balik sorot matanya.

"Apa benar yang dikatakan perempuan ini, Mas? Apa benar kamu mengkhianatiku?" tanya Bu Henny lagi, air mata mulai menggenang di pelupuk matanya. Ia berharap, Prasetyo akan membantah semua itu, mengatakan bahwa ini hanyalah kesalahpahaman.

Namun, Pak Prasetyo hanya diam, membisu seribu bahasa. Ia tidak berani menatap wajah istrinya, seakan-akan ada keraguan besar yang menghantuinya.

Melihat Pak Prasetyo hanya diam tak menjawab, perempuan bernama Dinda itu semakin berani. Ia makin bergelayut manja pada Pak Prasetyo sambil berkata, "Ayo dong, Mas, katakan padanya bahwa kamu sangat mencintaiku dan akan segera menikahiku! Jangan biarkan dia terus menghalangi kebahagiaan kita!"

Pak Prasetyo tampak kebingungan sejenak, bimbang antara menuruti keinginan perempuan itu atau mempertahankan rumah tangganya. Namun, karena terus didesak oleh Dinda, akhirnya Pak Prasetyo pun berkata dengan suara lirih, "Iya, Henn, aku memang mencintainya dan akan segera menikahinya! Aku sudah tidak bisa lagi bersamamu."

"Keterlaluan kamu, Mas! Kamu tega melakukan hal ini padaku! Ke mana janji-janji yang dulu pernah kamu ucapkan? Ke mana cinta yang dulu pernah kamu berikan?" teriak Bu Henny histeris, air matanya tumpah ruah membasahi pipinya. Ia tidak menyangka, lelaki yang sangat dicintainya, lelaki yang telah menjadi bagian dari hidupnya selama bertahun-tahun, tega mengkhianatinya dengan cara yang begitu menyakitkan.

Namun, teriakan itu seakan-akan hanya dianggap angin lalu yang tiada berarti. Pak Prasetyo sudah dibutakan oleh cinta terlarangnya.

"Sudahlah, Henn, jangan banyak bicara lagi! Kalau kamu tidak suka aku menikahinya, kamu boleh pergi dari rumah ini! Aku sudah tidak tahan lagi hidup bersamamu!" kata Pak Prasetyo tanpa merasa bersalah dan peduli sedikit pun. Ia bahkan mengusir Bu Henny dari rumah yang telah mereka bangun bersama.

Sedangkan perempuan yang bersama Pak Prasetyo itu hanya diam, namun sorot matanya memancarkan kemenangan. Ia tersenyum sinis, seolah mengejek Bu Henny yang sedang terpuruk dalam kesedihan.

Mengingat kejadian itu, tanpa terasa air mata kembali mengalir deras di pipinya yang putih mulus. Luka itu masih terasa segar, seolah baru kemarin terjadi.

"Ma... kenapa Mama menangis?"

Sebuah suara lembut mengagetkannya, membuyarkan lamunannya tentang masa lalu yang pahit. Bu Henny tersentak, menoleh ke arah sumber suara.

“Kamu Er, Mama kira siapa!" jawab Bu Henny dengan suara serak, berusaha menyembunyikan kesedihannya. Ia mengusap air matanya yang mengalir tanpa terasa, tak ingin Eri melihatnya menangis.

"Tidak ada apa-apa, Sayang. Mama hanya sedang kelilipan," jawab Bu Henny berbohong, mencoba meyakinkan putranya.

Eri diam, tidak mau mendesak kenapa Mamanya menangis. Ia tahu betul, seberapa berat beban yang dipikul oleh wanita yang masih kelihatan cantik itu, meski usianya sudah hampir kepala lima. Baginya, wanita itu adalah dewi kayangan yang selalu melindunginya, yang selalu memanjakannya dengan kasih sayang yang tulus, tidak seperti Papanya yang meninggalkannya demi mengejar cinta yang semu. Ia memang sudah diberitahu oleh Bu Henny tentang perselingkuhan ayahnya dengan wanita lain yang bernama Dinda itu.

Bu Henny menceritakan semua itu kepada Eri setahun yang lalu, tepatnya ketika Eri menanyakan tentang ayahnya. Eri ingin tahu siapa ayahnya sebenarnya, kalau memang sudah meninggal, di mana kuburannya, agar ia bisa berziarah ke makamnya.

Karena desakan Eri itulah yang membuat Bu Henny akhirnya menceritakan semua tentang ayahnya, tentang perselingkuhannya, tentang pengkhianatannya. Hal itu pulalah yang membuat Eri sangat mencintai dan menyayangi Mamanya, namun di sisi lain, Eri juga menjadi pribadi yang posesif, terlalu melindungi Mamanya.

Untuk beberapa saat, mereka terdiam, larut dalam pikiran masing-masing. Suasana di balkon itu terasa hening, hanya suara desiran angin yang sesekali terdengar.

"Eri nanti berangkat ke Bandung, Ma!" ucap Eri kemudian, memecah kesunyian yang mencekam.

"O, iyaaa, Mama sampai lupa!" jawab Bu Henny tersenyum, berusaha menyembunyikan rasa sedihnya karena akan berpisah dengan putranya.

Bu Henny kemudian bangkit dari duduknya dan berjalan menuju kamar Eri. Ia ingin membantu putranya mempersiapkan segala sesuatu untuk keberangkatannya ke Bandung.

Eri pun mengikuti langkah Mamanya menuju kamarnya.

Sesampainya di kamarnya, Bu Henny berkata, "Sini Mama bantu memasukkan barang-barang yang akan dibawa ke Bandung! Biar lebih rapi dan tidak ada yang ketinggalan."

"Tidak usah, Ma, biar aku sendiri saja, bisa kok!" jawab Eri mencegah agar sang Mama tidak membantunya. Ia tahu, Mamanya pasti lelah setelah seharian bekerja. Namun, Bu Henny tetap memaksa untuk membantunya memasukkan barang-barangnya yang akan dibawa Eri ke Bandung.

Meskipun sebenarnya hati Bu Henny sedikit berat berpisah dengan putra satu-satunya itu, namun demi cita-cita sang putra, Bu Henny rela berpisah. Ia ingin Eri meraih semua impiannya, menjadi orang sukses yang bisa membanggakan dirinya.

Eri memasukkan barang-barangnya ke koper dengan teliti. Ia memastikan, semua perlengkapan kuliahnya sudah terbawa.

"Apa sudah masuk semua dan nggak ada yang ketinggalan, Er?" tanya Bu Henny memastikan.

"Aku rasa nggak ada, Ma!" jawab Eri tersenyum.

"Syukurlah kalau nggak ada yang ketinggalan!" kata Bu Henny lega.

"Doakan Eri berhasil dalam kuliah sampai lulus dan bisa membuat Mama bangga nanti!" pinta Eri dengan nada penuh harap.

"Iyaaa, Mama akan selalu mendoakan kamu agar kamu berhasil meraih cita-citamu! Mama akan selalu mendukungmu, apa pun yang terjadi," janji Bu Henny dengan tulus.

"Makasih banget, Ma! Eri sayang banget sama Mama!" ucap Eri sambil memeluk erat Mamanya.

"Mama juga sayang banget sama kamu, Sayang!" balas Bu Henny sambil mencium kening putranya.

"Jangan lupa telpon Mama kalau sudah sampai di sana, sampaikan salam Mama pada Bude Hera dan keluarga ya, Er!" pesan Bu Henny.

"Insya Allah, Eri tidak akan lupa pesan Mama!" jawab Eri mantap.

Setelah dirasa cukup apa yang akan dibawa ke Bandung, Eri keluar dari kamar sambil membawa kopernya, diikuti Bu Henny. Sesampainya di luar, Pak Dahlan, supir pribadi mereka, sudah menunggu.

"Kita berangkat sekarang, Pak!" kata Eri pada Pak Dahlan, supir pribadinya.

"Iyaa, Mas, siap!" jawab Pak Dahlan dengan gaya lucunya.

Pak Dahlan kemudian membantu Eri memasukkan barang-barangnya ke dalam bagasi mobil.

"Hati-hati kalau nyetir, Pak, jangan ngebut, santai aja yang penting selamat sampai tujuan!" kata Bu Henny pada sopir pribadinya itu. Ia khawatir, Pak Dahlan akan ngebut karena ingin cepat sampai di Bandung.

"Ya, Bu, saya akan hati-hati! Ibu tenang saja," jawab Pak Dahlan meyakinkan.

"Eri berangkat ya, Ma!" kata Eri sambil memeluk dan mencium tangan Mamanya untuk yang terakhir kalinya. Ia merasa berat meninggalkan Mamanya sendirian di rumah.

"Jangan lupa pesan Mama, pandai-pandailah menjaga sikap di tempat orang! Jaga diri baik-baik, jangan sampai sakit," pesan Bu Henny dengan nada khawatir.

"Jangan khawatir, Ma, Eri akan ingat pesan Mama!" jawab Eri tersenyum.

Setelah berkata begitu, Eri kemudian masuk ke dalam mobil. Ia melambaikan tangannya ke arah Mamanya, memberikan senyuman terbaiknya.

Tak berapa lama, mobil itu pun meninggalkan rumah besar itu, mengantar tuan mudanya menuju kota kembang Bandung untuk menuntut ilmu, mengejar impian, dan meraih masa depan yang gemilang. Bu Henny menatap mobil itu hingga menghilang dari pandangan. Ia berharap, Eri akan berhasil dalam studinya dan menjadi kebanggaan keluarga.

\*\*\*\*\*\*\*\*\*\*\*

 

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!