Sepuluh bulan lalu, Anna dijebak suaminya sendiri demi ambisi untuk perempuan lain. Tanpa sadar, ia dilemparkan ke kamar seorang pria asing, Kapten Dirga Lakshmana, komandan muda yang terkenal dingin dan mematikan. Aroma memabukkan yang disebarkan Dimas menggiring takdir gelap, malam itu, Anna yang tak sadarkan diri digagahi oleh pria yang bahkan tak pernah mengetahui siapa dirinya.
Pagi harinya, Dirga pergi tanpa jejak.
Sepuluh bulan kemudian, Anna melahirkan dan kehilangan segalanya.
Dimas dan selingkuhannya membuang dua bayi kembar yang baru lahir itu ke sebuah panti, lalu membohongi Anna bahwa bayinya meninggal. Hancur dan sendirian, Anna berusaha bangkit tanpa tahu bahwa anak-anaknya masih hidup. Dimas menceraikan Anna, lalu menikahi selingkuhan. Anna yang merasa dikhianati pergi meninggalkan Dimas, namun takdir mempertemukannya dengan Kapten Dirga.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aisyah Alfatih, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
07. apa jangan jangan ...
Matahari pagi menyelinap pelan melalui jendela ruang makan panti. Aroma teh melati bercampur dengan wangi bubur bayi yang baru disiapkan oleh Bu Ratna. Anak-anak panti sudah berlarian di halaman, tertawa kecil, sementara di meja panjang, Kapten Dirga duduk bersama Bu Ratih dan Anna.
Suasana pagi itu terasa tenang, tapi juga anehnya terasa begitu hangat. Anna menunduk, matanya sembab karena kurang tidur, tapi ada cahaya lembut di wajahnya yang tak sempat terlihat kemarin, cahaya yang lahir dari rasa damai yang baru ia temukan.
Bu Ratna datang membawa teko teh, lalu menatap sekilas ke arah Bu Ratih, memberi isyarat halus.
“Bu Ratih, ada yang perlu saya sampaikan,” ucapnya pelan.
Bu Ratih menatapnya penuh tanya. “Ada apa, Ratna?”
Bu Ratna menatap Anna sejenak, lalu kembali pada Bu Ratih dan Dirga.
“Tadi malam … saya mendengar tangisan bayi. Saya bangun dan … melihat Bu Anna sudah ada di ruang bayi. Dia sedang menggendong dan … menyusui bayi itu.”
Dirga spontan menegakkan duduknya. Matanya sempat beralih pada Anna, yang kini menatap ke bawah, wajahnya memerah. Ia ingin menjelaskan, tapi tak tahu harus mulai dari mana. Bu Ratih terdiam beberapa detik. Lalu senyum hangat muncul di wajahnya. “Begitu, ya…”
Ia menarik napas lembut, menatap Dirga dengan bijak.
“Dirga, menurutku … ini bukan hal buruk. Bukankah bayi itu sulit menerima susu formula? Tuhan mungkin memang sudah menyiapkan jalan lain.”
Dirga menatap Bu Ratih, seolah ingin memastikan maksudnya.
“Maksud Ibu … Anna menjadi ibu susu bayi itu?”
Bu Ratih mengangguk mantap. “Ya, Anna baru saja melahirkan. Kemungkinan ASI-nya masih aktif. Dan kalau memang dia mau, bayi itu bisa mendapatkan asupan terbaik dari ibunya sendiri, meski bukan darah kandung.”
Dia menatap Anna dengan lembut. “Bagaimana menurutmu, Nak?”
Anna tertegun, suaranya gemetar saat menjawab.
“Aku … aku akan sangat senang, Bu. Aku tidak tahu kenapa, tapi setiap kali melihat bayi itu … dada aku terasa hangat. Aku ingin merawatnya, menyusuinya … seperti anak saya sendiri.”
Dirga menatap wajah Anna dalam diam. Ada sesuatu di balik kata-kata sederhana itu ketulusan yang membuat dadanya sesak entah kenapa. Bu Ratih tersenyum, lalu menepuk tangan Anna.
“Kalau begitu, mulai hari ini, kamu boleh menjadi ibu susunya. Anggap saja ini cara Tuhan menghiburmu setelah kehilangan. Siapa tahu, bayi ini juga menemukan ibunya yang hilang.”
Bu Ratna yang berdiri di belakang mereka ikut mengusap matanya pelan. Anna menunduk, air mata haru menetes di pipinya.
“Aku janji … aku akan merawatnya dengan sebaik mungkin.”
Beberapa jam setelah sarapan, ponsel di saku seragamnya berdering. Dirga beranjak ke luar ruangan, menjauh dari suara anak-anak panti yang bermain.
[Halo, Kapten Dirga?] suara di seberang terdengar jelas, dokter yang semalam ia mintai bantuan untuk menyelidiki catatan kelahiran di rumah sakit tempat Anna dirawat.
“Ya, Dok. Bagaimana hasilnya?” tanya Dirga dengan nada tegas.
[Saya sudah memeriksa seluruh data pasien yang melahirkan hari itu,] jawab sang dokter. [Ada satu wanita yang melahirkan normal, bayi kembar laki-laki dan perempuan. Namun ... catatan rumah sakit menyebutkan kedua bayinya meninggal beberapa jam setelah lahir.]
Dirga terdiam, keningnya berkerut tajam. “Kembar? Laki-laki dan perempuan?”
[Benar, Kapten. Hanya ada satu pasien dengan data seperti itu. Nama ibunya ... Nyonya Anna.]
Darah Dirga seolah berhenti mengalir. Tangannya mengepal tanpa sadar.
“Anna?” ulangnya pelan, memastikan ia tidak salah dengar.
[Iya,] jawab dokter itu. [Tapi yang janggal, catatan medisnya terlalu singkat. Tidak ada dokumentasi lengkap tentang jenazah bayi atau surat kematian resmi. Saya sendiri merasa aneh, makanya saya menghubungi Anda dulu. Anda ... mengetahui sesuatu, Kapten?]
Dirga menarik napas dalam-dalam, matanya menatap ke arah bangunan panti yang tampak teduh dari kejauhan. Ia teringat bayi mungil yang tadi pagi berada di pelukan Anna dan bayi yang menurut Bu Ratih adalah kembar, laki-laki dan perempuan.
“Dokter,” katanya akhirnya, suaranya berubah tegas, “tolong kirimkan salinan catatan lahir bayi itu ke saya, segera!”
[Baik, Kapten.]
Telepon berakhir, tapi dada Dirga terasa sesak. Perlahan, ia menatap ke arah jendela ruangan bayi di ujung koridor.
“Jangan-jangan…” bisiknya pelan, “bayi itu … bukan milik siapa pun selain milik dia ...”
ayo basmi habis semuanya , biar kapten dirga dan anna bahagia
aamirandah ksh balasan yg setimpal dan berat 🙏💪
kejahatan jangan dibiarkan terlalu lama thor , 🙏🙏🙏
tiap jam berapa ya kak??
cerita nya aku suka banget🥰🥰🙏
berharap update nya jangan lama2 🤭🙏💕